Belum lama ini, Quacquarelli Symonds (QS), sebuah lembaga yang fokus dalam bidang survei pendidikan dan perguruan tinggi internasional, kembali merilis daftar peringkat perguruan tinggi sedunia. Pemeringkatan ini melibatkan perguruan-perguruan tinggi dari berbagai negara yang diurutkan sampai kepada peringkat 959.
Tak ada hal yang mengejutkan dari hasil pemeringkatannya di tingkat sepuluh besar. Selalu saja diisi oleh MIT, Stanford, Harvard, dan Caltech di podium tertinggi secara bergantian, diikuti dengan perguruan-perguruan tinggi dari Inggris, yaitu Cambridge, Oxford, University College London, dan Imperial College London.
Sebelum daftarnya dirilis pun, nama-nama tersebut sudah dipastikan bakal selalu ada, sama pastinya dengan kemungkinan klub sepak bola Real Madrid masuk final liga champion.
Namun, tidak demikian kondisinya dengan peringkat di luar sepuluh besar. Di peringkat sebelas, sebuah catatan impresif ditorehkan perguruan tinggi asal Singapura, Nanyang Technological University (NTU). Untuk pertama kalinya, NTU berhasil mengalahkan rival senegaranya, National University of Singapore (NUS), yang kini berada di urutan ke-15.
Selain itu, NTU juga berhasil mencatatkan namanya sebagai perguruan tinggi Asia pertama yang pernah menduduki peringkat setinggi itu dalam sejarah pemeringkatan oleh QS, melampaui pencapaian Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan negara-negara maju lainnya di kawasan Asia.
Pencapaian NTU ini begitu mengagumkan karena, melihat rekam jejaknya di tahun 2010, NTU tidak lebih dari sebuah universitas medioker yang hanya mampu menempati peringkat ke-74 dunia. Tetapi hanya dalam kurun waktu tujuh tahun, NTU ternyata berhasil mentransformasikan dirinya menjadi sebuah high-class university yang berpusat pada pengembangan sains dan teknologi.
Setelah berbicara banyak tentang NTU dan perguruan tinggi luar negeri, sekarang saatnya menyapa perguruan-perguruan tinggi di negeri sendiri. Dalam daftar pemeringkatan yang sama, dibutuhkan sedikit usaha lebih untuk mencari perguruan tinggi dengan bendera Indonesia di sampingnya.
Mungkin tangan akan sedikit pegal dan berkeringat untuk scroll down terus-menerus sampai kepada peringkat ke-200. Di sini kita akan menemukan Universitas Indonesia (UI) di peringkat ke-277, scroll down lagi, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat ke-331, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di peringkat ke-401.
Melihat peringkat tersebut, selain tangan yang lelah, kepala juga mungkin akan mulai pusing dan kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul seketika. Bagaimana mungkin tidak satu pun perguruan tinggi Indonesia berada dalam jangkauan peringkat 250 terbaik dunia?
Berdasarkan data perguruan tinggi di Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang meliputi sekolah tinggi, universitas, institut, akademi dan politeknik, jumlahnya ada 4495 perguruan tinggi. Seandainya ada satu persen saja dari jumlah tersebut yang mampu mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan NTU, setidaknya Indonesia sekarang telah memiliki 45 perguruan tinggi yang menghiasi daftar 100 perguruan tinggi terbaik dunia.
Belakangan ini, pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi ternyata mulai mengambinghitamkan jumlah besar tersebut sebagai penyebabnya. Dengan mengambil Tiongkok sebagai negara pembanding, Direktur Jenderal Kelembagaan Kemristekdikti Patdono Suwignjo menyatakan, “Lebih baik perguruan tinggi di Indonesia sedikit tetapi berkualitas, ketimbang banyak seperti saat ini, namun kurang berkualitas.”
Pernyataan tersebut mungkin saja benar karena dengan jumlah perguruan tinggi yang lebih sedikit, pengelolaannya pun lebih mudah dan tidak menyerap biaya banyak. Tetapi pertanyaan sebenarnya adalah, apakah jumlah besar tersebut merupakan penyebab primer?
Jika mau mengunakan sampel yang lebih variatif, kita dengan cepat bisa tahu bahwa perihal “jumlah”, kenyataannya hanyalah penyebab sekunder atau tersier. Dalam laporan Washinton Post, jumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat pada tahun 2015 mencapai 5.300 perguruan tinggi yang meliputi universitas dan community college, baik itu berbentuk negeri atau swasta. Tetapi ternyata Amerika tetap bisa memasukkan minimal 20 perguruan tinggi tersebut dalam daftar 100 besar perguruan tinggi terbaik dunia. Lalu, di mana bedanya dengan Indonesia?
Alih-alih bertumpu pada masalah jumlah semata, kenapa tidak mempertimbangkan hal-hal yang telah lama kita ketahui bersama, walaupun mungkin terdengar sangat klise, yaitu perihal concern (perhatian) dan prioritas.
Di negeri ini, perihal pendidikan atau perguruan tinggi, tidak sekalipun pernah menempati kasta tertinggi perhatian dan kekhawatiran pemerintah serta masyarakat. Agama dan politik masih saja menjadi primadona dan buah bibir layaknya kaum Brahmana. Sedangkan pendidikan tergeletak lemas di sudut-sudut gelap dan berdebu, mengambil status paria, yang jangankan diberi perhatian, dianggap ada saja mungkin tidak.
Di negeri ini, semua orang tahu kalau Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sedang menjalani masa hukuman penjara karena tuduhan penistaan agama, bahkan anak-anak kecil yang tahu arti politik saja tidak, sudah ikut menyanyikan “Bunuh si Ahok sekarang juga” saat pawai menyambut Ramadhan.
Di sisi lain, semua orang juga tahu, kalau ada seorang ulama yang sedang “mengungsi” di luar negeri dan selalu “malu-malu” pulang untuk menjalani pemeriksaan.
Tetapi ada berapakah diantara kita yang juga tahu mengenai sosok-sosok rektor UI, ITB, atau UGM? Bagaimana rekam jejaknya, kontribusinya, dan kebijakan-kebijakannya untuk memajukan dan mengembangkan perguruan tinggi tempatnya bekerja? Pernahkah kita memberikan teguran, kritik atau meminta pertanggungjawaban mereka atas hasil kinerjanya?
Berjuta-juta orang dapat dengan mudah naik pitam dan tersinggung ketika secuil kata-kata dalam kitab sucinya dikutip dan dianggap melecehkan, tetapi kenapa kita tidak ikut tersinggung juga ketika, setelah 72 tahun merdeka, perguruan tinggi kita tidak pernah menerbitkan satu orang pun peraih penghargaan Nobel?
Kenapa kita tidak sama naik pitamnya dengan kenyataan bahwa sekarang kita harus selalu “menghamba” di perguruan tinggi Amerika dan Inggris untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bermutu dan diakui dunia?
Mengutip pernyataan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”, maka sudah seharusnya kita menaruh harapan perubahan bangsa ini di tangan pendidikan dan institusinya.
Di warung-warung kopi, isu revitalisasi pendidikan tinggi seharusnya dibahas secara intensif, seintensif topik tentang Ahok atau Rizieq. Masalah perbaikan laboratorium dan fasilitas penelitian perguruan tinggi, juga ikut didiskusikan secara bergairah di kelompok arisan ibu-ibu.
Peningkatan etos kerja dosen dan guru digulirkan secara terus-menerus dalam cuitan-cuitan media sosial menggantikan topik persekusi atau PKI. Hingga suatu saat nanti, giliran NTU dan dunialah yang akan menceritakan keberhasilan transformasi pendidikan dan perguruan tinggi kita.