Ada yang menarik dari kebiasaan masyarakat China, khususnya kebudayaan mereka di meja makan dan sepasang alat bantu makan bernama sumpit. Dalam tradisi masyarakat China, Jepang, Korea, dan beberapa negara di benua Asia, sumpit digunakan untuk mengambil atau memindahkan makanan (dengan cara menjepit) dari piring ke piring yang lain, atau mendulang makanan ke dalam mulut.
Bentuk sumpit menyerupai dua batang tongkat berukuran kecil, dengan diameter dan panjang sama (serasi).
Sumpit dalam bahasa asli pemakainya (China) disebut “kuai zi”, atau “chopstick” (dalam bahasa Inggris). Sebagian masyarakat Indonesia juga sudah familiar dengan sumpit. Biasanya, alat ini digunakan terutama ketika menyantap jenis makanan seperti mie ayam di warung-warung yang mudah ditemukan di pinggir jalan, di kota hingga di desa.
Memang, sebagian besar masyarakat di berbagai negara di dunia telah memilih sendok, garpu, dan pisau untuk melengkapi peralatan jamuan makan, namun sumpit tetap menjadi alat paling penting di meja makan di lingkungan masyarakat China. Rasa-rasanya, hingga waktu yang lama sumpit tidak akan tergantikan.
Dengan sepasang sumpit di salah satu tangan dan tangan lainnya memegang piring atau mangkuk, orang China bisa melahap makanan dengan cepat dan gesit. Bagi saya, kebiasaan yang demikian unik.
Suatu hari, saya satu meja makan bersama seorang teman yang asli orang China. Kami sama-sama menikmati menu makan siang, termasuk di antaranya daging ayam dengan bumbu masakan China. Teman saya tadi melahap paha ayam dengan menggunakan sumpit. Selama makan, tangannya bisa tidak menyentuh makanan, sedikit pun, kecuali dengan memainkan sumpit.
Berbeda dengan saya, jangankan menyantap daging paha ayam dengan menggunakan sumpit, memakai sendok dan garpu saja akan sedikit kerepotan. Saya butuh memegangnya langsung. Sumpit sebagai peralatan makan juga memiliki makna kesederhanaan, efisien, dan praktis. Di China, sumpit umumnya terbuat dari kayu atau bambu dan ada juga yang terbuat dari plastik. Bentuknya dari waktu ke waktu sama, memanjang, tidak mengalami perubahan atau modifikasi yang rumit.
Berawal dari kesan ini, saya kemudian menghubung-hubungkan budaya makan menggunakan sumpit dengan karakter dan kebiasaan orang China di ruang kerja, atau di lapangan.
“Di meja makan saja, mereka gesit, apalagi kalau di lapangan,” pikir saya dalam hati. Tetapi, memang demikian adanya.
Di meja makan, masyarakat China menampilkan kesederhanaan melalui peralatan makan yang digunakan. Selain itu, dalam pengamatan saya, orang China tidak suka berlama-lama dalam menghabiskan porsi makanan yang diambil.
Apakah hal yang demikian ini kemudian mempengaruhi atau telah dipengaruhi oleh budaya mereka, yang bekerja dengan sangat keras dan disiplin. Hal ini telah menjadi pemikiran saya tersendiri.
Namun, meskipun sederhana, budaya sumpit tidak meninggalkan sisi keindahan dan nilai-nilai yang sarat dengan pengajaran.
Dalam berbagai kesempatan makan bersama, saya mendapatkan sumpit dengan hiasan dan pewarnaan yang sedap dilihat. Misalnya, adanya goresan, gambar atau pewarnaan pada sumpit yang menimbulkan kesan estetis. Pada jamuan makan, di antara hidangan yang beraneka ragam, sumpit yang masih baru terbungkus rapi. Bungkusnya pun banyak rupa. Ada yang terbuat dari kain berhias rumbai-rumbai, kertas, plastik, hingga kotak kecil yang terbuat dari kayu.
Di luar itu, budaya sumpit juga dikelilingi dengan nilai-nilai ajaran luhur yang sarat dengan nasihat bermutu dalam kehidupan, khususnya dalam urusan bermasyarakat dan berumah-tangga. Misalnya, tata cara memegang sumpit, meletakkannya, hingga bagaimana mengambil makanan yang benar dan santun dengan menggunakan sumpit.
Menurut Wang Xu (40), dosen pendidikan bahasa China di Universitas Heilongjiang, masyarakat China menggemari hal-hal yang genap atau sepasang. Terkait dengan angka, mereka menyukai angka dua, empat, dan seterusnya. Dengan berpasangan, orang akan bisa melakukan hal-hal yang lebih, ketimbang ketika sendirian.
Sumpit akan selamanya sepasang, atau selalu berjumlah dua bilah. Hanya ketika sepasang, sumpit akan berdaya-guna. Sumpit yang hanya sepotong, tidak bisa digunakan dengan sempurna. Demikian juga dalam kehidupan manusia. Berdasarkan penelusuran saya, ada banyak makna dan pesan dari kebudayaan sumpit di tengah masyarakat China.
Dengan demikian, ekspresi orang China di meja makan yang tampak cepat dan terburu-buru tetap dalam batas-batas beretika dan memperhatikan pentingnya keharmonisan dalam masyarakat dan keluarga.
Melalui pengamatan budaya sumpit ini, saya mencatat beberapa hal. Jenis perabotan yang dipilih atau digunakan oleh satu masyarakat di satu negara tidak hanya menyangkut persoalan kemajuan atau kesejahteraan semata. Khusus pada keteguhan masyarakat China dalam menjaga nilai dan budaya yang telah diwariskan oleh para pendahulunya sejak lima ribu tahunan yang lalu, di sana ada karakter yang khas.
Saya melihat, pada bangsa yang mau mewarisi dan mempelajari kebudayaan nenek moyangnya terdapat kedaulatan berfikir. Bangsa yang demikian memiliki karakter dan mental yang mau berusaha untuk menjadi unggul, di tengah pesaingan global.
Bangsa dengan ajaran nilai dan kebudayaannya adalah dua namun sejatinya satu, artinya keduanya tidak bisa dipisahkan.
Satu bangsa bisa saja ‘membajak’ kebudayaan bangsa lain. Meskipun akhirnya mata dunia akan mengenal kebudayaan tersebut hanya sebagai miliknya, namun tetap saja bangsa ‘pembajak’ itu tidak memiliki akar (pengetahuan) yang telah menumbuhkan kebudayaan tersebut, pada waktu paling awal.
Misalnya, pernah tersiar kabar hingga ramai di media sosial, bangsa tetangga kita, Malaysia, mengakui kesenian Reog Ponorogo sebagai kebudayaannya. Atau, sebagaimana juga ramai dibicarakan, terdapat sekelompok orang di benua Eropa yang mulai menggemari kesenian gamelan, dan lain sebagainya.
Kalaupun di kemudian hari bangsa-bangsa ‘peniru’ kebudayaan ini berhasil mengelabuhi orang-orang di luar sana dengan mengatakan bahwa budaya ini dan itu adalah miliknya, tetap saja mereka akan gagal menjelaskan asal usul pengetahuan (kebudayaan) itu. Kecuali, bila mereka mau menciptakan epistemologi kebudayaan yang ‘palsu’.
Atas dasar inilah, bangsa Indonesia harus menjaga kebudayaannya. Maka, dalam konteks ini, keberhasilan dan keteguhan bangsa China dalam menjaga dan melestarikan pengetahuan dan kebudayaannya adalah satu keunggulan dan kecerdasan tersendiri. Tidak hanya berhenti di situ, mereka juga berhasil mewariskan kepada generasi muda di era sekarang ini. Menarik, bukan?
Kesan lain adalah watak cekatan dan kerja keras yang dimiliki oleh mayoritas masyarakat China. Sejauh ini, saya melihat orang China enggan melayani permintaan (tolong) di luar wilayah kerjanya. Mereka terlihat begitu serius, fokus menghadapi pekerjaan yang di bidangnya. Sampai-sampai, mereka tidak (mau) mengetahui kondisi yang ada di sekitarnya. Dalam beberapa kesempatan, saya juga bertanya kepada masyarakat setempat, mengapa orang China memiliki motivasi (etos) kerja yang tinggi.
Jawabannya hampir semuanya sama. Kalau mereka tidak kerja sungguh-sungguh, mereka kuatir akan menjadi orang yang miskin, menjadi orang yang tertinggal, dan akhirnya sengsara. Pada akhirnya, mereka rela dan berani mengambil risiko dengan kerja keras untuk terhindar dari kondisi buruk.
Apakah cara pandang yang demikian juga berhubungan dengan cara makan yang cepat, semua menjadi semakin menarik untuk dicermati. Saya menuliskan pengalaman ini bukan bermaksud mengunggulkan orang lain, atau silau dengan budaya orang. Saya semata-mata ingin berbagi pengalaman dan pemandangan kepada pembaca. Tidak lebih.
Percayalah, sejak lama saya berkesimpulan bahwa bangsa Indonesia memiliki cara tersendiri, semacam pengetahuan yang khas, untuk bisa tampil sebagai bangsa unggul di masa yang akan datang. Namun demikian, generasi mudanya tidak boleh terlalu bangga dan merasa besar, sehingga tidak mau belajar dari keberhasilan dan kegagalan bangsa lain di dunia.