Dunia anak-anak di Indonesia selalu punya isu. Ia menjadi perhatian dan konsentrasi berbagai pihak karena anak-anak merupakan golongan manusia yang rentan diterpa krisis. Krisis lagu anak, candu media sosial, pelecehan seksual, dan perisakan, misalnya, seringkali menimbulkan kewaspadaan dan gerakan sukarela di keluarga dan di berbagai institusi pendidikan.
Tahun ini—dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional—seribuan orang akan mengikuti Forum Anak Nasional 2017 (FAN 2017). Berbagai kegiatan yang diadakan di Indonesia tahun ini berpayung satu tema, yaitu “Cinta Tanah Air Melalui Kebhinekaan Dalam Keberagaman Budaya Menuju Persaudaraan dan Kerukunan”.
Kegiatan FAN 2017 di Pekanbaru pekan ini mengikutsertakan 748 orang peserta, 525 orang terpilih dari kabupaten/kota seluruh Indonesia, 68 orang mentor yang mewakili 34 provinsi, dan 66 anak perwira penghubung yang merupakan alumni Forum Anak.
Barangkali tak banyak orang yang tahu mengenai seluk beluk Forum Anak. Forum tersebut merupakan lembaga sosial bagi anak-anak di bawah naungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Anggotanya adalah para perwakilan dari kelompok kegiatan anak seluruh Indonesia. Di dalam berbagai aktivitas yang digalakkannya, forum ini berupaya berperan sebagai media untuk mendengar dan memenuhi aspirasi, keinginan, dan kebutuhan anak dalam proses pembangunan.
Adanya forum anak adalah kabar baik sebab merupakan salah satu upaya hominisasi atau upaya pemanusiaan. Lewat sebuah perkumpulan, anak-anak belajar mendewasakan diri. Poin penting pertama, perkumpulan anak-anak dapat turut menangkal hal-hal yang sifatnya abstrak. Mulai dari masalah kemandirian hidup, radikalisme, dan intoleransi—seperti yang selama ini sudah digaungkan.
Forum Anak Nasional mengharapkan anak-anak dapat menjadi anak agen perubahan (agent of change). Mereka dapat menjadi pelopor dan pelapor apabila melihat hal-hal yang tidak layak dialami oleh anak-anak.
Poin penting kedua, mulai berserikat adalah berarti anak-anak dimungkinan untuk bertemu dan saling mengenal satu sama lain. Pertemuan wajah itu memungkinkan anak untuk mengenal keragaman; bahwa ada orang lain dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda. Bersama dalam suatu forum kemudian menumbuhkan simpati dan menjauhkan mereka dari keterkejutan terhadap perbedaan.
Bukan tak mungkin kebiasaan berkumpul sudah kikis pada anak-anak—terutama setelah anak dapat dengan bebas menggunakan gadget. Berdasarkan survei terhadap 2.500 orangtua di Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina, 98% responden memperbolehkan anaknya menggunakan telepon pintar atau tablet. Sebagian orangtua menjadikan gadget sebagai tameng supaya anak-anak tenang dan tidak merepotkan.
Namun, gadget juga digunakan sebagai media edukasi. Meskipun sebetulnya survei yang sama menunjukkan bahwa anak lebih memilih menggunakan gadget untuk hiburan selama lebih dari 1 jam pada setiap kali penggunaan.
Kelekatan anak dengan gadget sangat mungkin membuat pertemuan di dunia nyata menjadi langka. Maka, memang, berserikat adalah salah satu jalan untuk mendidik anak-anak bahwa pluralitas itu sesuatu yang nyata, niscaya, dan harus dihargai. Forum Anak membuat anak-anak tahu bahwa berkumpul, berdiskusi, dan mengutarakan pendapat bisa jadi mengasyikkan sekaligus berbuah manis.
Buah manis yang hendaknya dipetik itu di antaranya adalah terciptanya tempat tinggal ramah anak. Tahun 2013, salah satu agenda Forum Anak Nasional adalah mendorong kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk menuju Kota Layak Anak. Pemerintah kabupaten/kota didorong untuk terarah pada upaya transformasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan.
Bentuk transformasi itu meliputi kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Memang, tidak hanya anak-anak yang harus dipenuhi haknya. Seluruh warga pun begitu. Namun, nyatanya anak—yang sedang bertumbuhkembang—justru senantiasa dikecualikan atau dianggap tak punya suara. Singkatnya, suara anak-anak adalah suara orangtua mereka. Sebab, oleh anggapan bahwa anak belum matang dalam berpikir, anak-anak seringkali tak diikutsertakan dalam pembangunan sebuah kota.
Masalahnya, anak-anak selama ini identik dengan bermain. Maka, kota yang layak anak dianggap sekadar kota yang menyediakan tempat bermain. Anggapan itulah yang membuat taman-taman dibangun. Supaya anak-anak bisa bermain. Namun selama ini, kota dibuat manusia dewasa tanpa mengikutsertakan anak.
Anak-anak akan dibolehkan bereaksi hanya ketika tempat bermain mereka sudah selesai dibuat. Anak-anak menjadi senang karena bisa bermain di tempat bermain yang dipilihkan untuk mereka. Padahal, anak-anak dapat mempersembahkan pandangan tentang tempat bermain mereka—atau kota, bahkan negara—melalui perspektif mereka.
Menjadi terlibat memungkinkan anak belajar tentang pilihan yang tersedia, konsekuensi atas pilihan mereka, dan risiko-risiko yang ditimbulkan. Bayangkan jika sebuah kota menyediakan tempat bagi perwakilan anak-anak untuk berserikat dan berdiskusi tentang perkembangan kotanya, tentu kota itu mendewasakan. Kota itu semacam tempat bermain sambil belajar.
Kalau anak banyak belajar tentang risiko atas pilihan mereka, tentu dalam hidup mereka terbiasa mempertimbangkan segala hal. Berkaitan dengan itu, mari kita kenang pemberitaan belakangan ini ketika oknum dalam pemerintahan beberapa kota—di antaranya Pemerintah Kota Makassar, Kendari, Bogor—terbukti melakukan korupsi.
Anak-anak adalah masa depan kota. Kalau mereka terbiasa memperjuangkan hak plus terlatih berpikir masak-masak, tentu mereka takkan mengambil apa yang bukan miliknya.
Baca juga:
Pedofilia Anak lewat Facebook dan Relasi Kuasa