Ada yang teramat fatal dari lontaran “maaf” Afi Nihaya Faradisa. Yang harusnya menjadi medium pembebasan dirinya sebagai yang hidup, lontaran “maaf”-nya justru dipelintir sedemikian rupa menjadi medium penyombongan diri. Kesombongan intelektual, itu yang menonjol dari “maaf”-nya.
Awalnya saya menyambut bangga seketika mendengar informasi bahwa Afi, secara pribadi, akhirnya mau meminta maaf atas salah yang telah ia perbuat. Melalui akun Facebook-nya, Afi mengakui bahwa tudingan plagiarisme itu benar. Ia mengaku salah karena sudah mengklaim Agama Kasih Mita Handayani sebagai tulisannya—hanya mengganti, Belas Kasih dalam Agama Kita.
Sayangnya, ketulusan meminta maaf kepada publik itu tidak tampak dari lontaran “maaf” Afi. Sekali lagi, yang justru menonjol adalah kesombongan intelektual. Lantas, pembebasan diri yang seperti apa yang hendak Afi capai dari lontaran “maaf”-nya yang tidak jelas nan bertele-tele itu?
Kita memang harus mengakui, pinjam paham dari Hannah Arendt, bahwa hanya melalui saling maaf-memaafkanlah, saling bebas-membebaskan dari apa yang telah terjadi, salah yang telah dilakukan, baik sengaja ataupun tidak, manusia menjadi manusia bebas. Dengan kalimat lain, melalui maaf, manusia membuka lembaran baru dan menjadi manusia baru—meski sebenarnya tak sesederhana itu.
Tapi pada Afi, apakah dirinya hendak membuka lembaran baru untuk kemudian menjadi manusia baru itu? Simaklah kata-katanya ini:
“Apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya. Kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Mulai dari tugas sekolah sejak SD, makalah kuliah, ujian, sampai caption foto di media sosial. Kalaupun kita mengklaim punya hak cipta atas suatu gagasan yang brilian, maka gagasan tersebut tetaplah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari. Tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli.” (Afi, 3/6/2017).
Maaf-maaf saja, saya geram membaca untaian kata-kata manis penuh duri itu. Afi memang mengakui salah yang diperbuatnya. Tapi salah yang diakuinya itu kembali diredam dengan menembak siapa saja yang berada di luar selain dirinya.
Apa maksudnya “kita semua pernah” dan “siapa yang tidak pernah melakukannya?” kalau bukan satu bentuk penyerangan Afi ke pihak lain? Dengan kata-kata semacam itu, jelas Afi tak hendak mengakui kesalahan dirinya sendiri. Hematnya, tak ada permintaan maaf dari dirinya. Justru Afi tetap ngotot bahwa dirinya sebenarnya tak bersalah dalam kasus plagiarisme itu.
Ditambah lagi dengan yang ini:
“Tanpa mengesampingkan apa-apa, SATU kelemahan yang tidak menyakiti siapa pun kemudian menjadi masalah besar yang lebih penting untuk diurusi daripada memperbaiki hidup mereka sendiri. Tapi, terlepas dari semuanya, Afi tetaplah Afi, anak yang sudah menulis diary sejak SD, menulis artikel dan berbicara di depan publik sejak SMP, dan tidak hanya suka membaca buku-buku pelajaran saja.”
“Saya tak plagiat lho,” kurang lebih begitu yang ingin Afi sampaikan kepada publik pembacanya.
Tapi tak masalah. Meski saya, mungkin juga kita, benar-benar geram dibuatnya, kita tetap harus bisa memaklumi sikap dangkal semacam ini dari Afi. Mengutip komentar Abdul Gaffar Karim, pemandu Talkshow Kebangsaan Afi di UGM beberapa waktu lalu, yang menyetir kata-kata temannya, Ashari Cahyo Edi:
“Kalaupun ada bayi berani belajar berjalan sebelum umurnya, harusnya kita sudah punya cukup alasan berbahagia; kalaupun ia belajar jalannya keliru-keliru, ya itu wajar. Yang kecil, yang mencoba lalu mungkin dicap keliru, harusnya tetap didorong dan dibina. Kultur membinasakan—naming, shaming—atas kekeliruan dalam budaya belajar kita jangan diteruskan.”
Atau kata-kata Dekan Fisipol UGM yang juga ia kutip dalam tulisannya di FB, Afi: Sebuah Proxy?:
“Afi, bagaimanapun hanya seorang anak SMA, yang mungkin belum diajari oleh guru-gurunya tentang apa itu plagiarisme. Jangan sampai karena perbedaan politik, persoalan itu digunakan sebagai alat oleh orang-orang yang tak suka untuk membunuh potensinya.”
Meski dua kutipan kata-kata itu bisa dijadikan alasan pemakluman kita pada Afi, bagi saya sendiri, toleransi pada plagiarisme tak boleh pandang bulu. Mau kecil ataupun besar, muda ataupun tua, jongos ataupun bos, semua tak ada pengecualian.
Tak ada memang di antara kita yang tak pernah luput dari salah. Seperti kata Afi, “I’m not perfect, and I will never be.” Benar. Itu benar sekali. Tapi apakah hanya dengan berkata seperti itu lalu semua harus sudah selesai? Tidak.
Untuk menyelesaikan ini, jika benar Afi mau membuka lembaran baru dan menjadi manusia baru seperti seru Arendt, maka lontaran maaf tanpa apologi-lah yang Afi butuhkan. Afi harus meminta maaf, bukan dalam konteks kasus plagiarisme lagi, melainkan meminta maaf atas maafnya sendiri.
Dengan begitu, Afi tak hanya akan terbebas dari kasus plagiarisme yang melilitnya sebelumnya, tapi maaf tanpa apologi itu juga akan membebaskan Afi dari kesombongan intelektual, sebuah penyakit kronis yang punya daya mematikan cukup hebat.
Dan untuk yang lain, termasuk juga bagi saya secara pribadi, fenomena Afi ini cukup berharga. Pengalamannya bisa kita jadikan sebagai bahan ajar. Apalagi sebagai penulis, kasus Afi menyadarkan kita akan satu hal: “menulis butuh proses, tak ada yang instan.”
Terimakasih, Afi. Mari bersama kita bangun bangsa ini tanpa mengembelinya dengan kesombongan intelektual.