Beberapa saat yang lalu heboh perbincangan di media sosial mengenai seorang bocah remaja asal Sidoarjo yang melaporkan gurunya dengan tuduhan kekerasan fisik dalam institusi pendidikan. Sangat disayangkan berita ini justru menjadi bahan olok-olokan dari sebagian besar netizen Indonesia, bahkan sampai muncul hastag #duta cubit.
Mereka menganggap sang bocah terlalu berlebihan, lagi pula itu hanyalah sebuah cubitan di lengan. Bagi saya, tidak hanyalah karena foto bekas cubitan tersebut menunjukkan bahwa itu bukan cubitan biasa, dengan segala bekas memar berwarna biru yang ditinggalkan. Dan demi menaikkan jumlah klik, beberapa situs online berita sampai harus membeberkan identitas sang ayah sebagai seorang prajurit TNI AD agar netizen semakin memihak pada sang tenaga pendidik.
Sungguh miris membaca berita tersebut. Pertama, miris dengan masih terjadinya kekerasan di sekolah, kedua miris mendapati kesemerawutan logika masyarakat yang justru masih menganggap kekerasan sebagai jalan pendidikan.
Untuk mendukung posisi yang saya ambil, mari kita kupas permasalahan ini dari logika yang dipakai para netizen—yang tentu saja sebagian besar netizen adalah warga menengah atas ibu kota—terlebih dahulu. Dengan bermodal logika bahwa kekerasan digunakan untuk mendidik anak, lalu kekerasan jenis apakah yang diperbolehkan? Sampai sejauh apakah spektrum varian kekerasan yang diperkenankan digunakan?
Jika mengikuti logika masyarakat umum bahwa mencubit (baca: kekerasan) diperbolehkan, lalu mengapa Anda masih harus tersungut-sungut tatkala mendapati pelajar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang mati dalam lingkup pendidikan? Bukankah kekerasan bagian dari edukasi?
Dengan semena-mena mereka (para netizen) melihat bahwa sakitnya dicubit hanya akan berlangsung sementara. Jika demikian, apa bedanya dengan menendang anak didik di bagian perut, lagi pula sakitnya hanya akan sementara.
Logika “hanya sementara” persis seperti logika yang dipakai hakim Parlas Nababan dalam menangani pembakaran hutan. Dia berujar bahwa pembakaran hutan adalah tindakan legal, karena hutan akan bersemi kembali. Jika Anda termasuk yang tergelitik dengan logika hakim ini, seharusnya Anda juga berang pada kekerasan yang menimpa bocah yang dicubit tadi.
Logika kedua mengapa kekerasan pada bocah tersebut dianggap sebagai hal biasa adalah karena para orangtua—dalam hal ini tidak hanya orangtua biologis sang anak—masih jamak melihat anak sebagai properti mereka.
Anak dilahirkan demi memuluskan cita-cita orangtua, bahkan bangsa dan negara. Dengan dalih tersebut, anak menjadi tidak bebas, seringkali cita-cita anak ditentukan oleh para orangtuanya. Dengan tidak sesuainya etos sang anak dalam lingkup akademik, maka orangtua diperbolehkan menggunakan kekerasan untuk “meluruskan” jalan sang anak.
Dan sampai saat ini, kita hanya mendengar kata “durhaka” akan selalu diasosiasikan dengan anak. Dengan begitu bersemangat ada banyak jalan bagi anak untuk menuju durhaka. Namun, pernahkan kita mendengar kata durhaka dipadu-padankan dengan kata orangtua?
Dan alasan ketiga, nampaknya dipengaruhi oleh keengganan logika masyarakat kita untuk mengakui fase remaja. Masyarakat kita denial dengan masa remaja, apakah orangtua harus melela alias bertingkah untuk mengakui tahap remaja seseorang?
Usia remaja dianggap paling berbahaya karena manusia sedang mencari jati dirinya, dan seringkali kenakalan remaja diekspose secara berlebihan. Pada dasarnya kenakalan di semua usia bisa saja terjadi, hanya saja para orang dewasa sudah lebih cerdik untuk menyembunyikannya.
Tipologi nakal sendiri beragam. Mewarnai rambut, bertindik, dan bertato, contohnya, akan dianggap nakal di sebagian masyarakat. Padahal ketiga hal tersebut adalah hanya sebagian rupa dari ekspresi diri. Lalu menjadi pertanyaan mendasar, apa itu kenakalan? Seperti apa bentuk dan perwajahannya? Hemat saya, jika belum bisa menjawab, tidak perlu melabeli sang bocah remaja tersebut sebagai seseorang yang nakal.
Tuduhan anak nakal disasarkan pada sang bocah. Dan logika netizen berkesimpulan karena ia nakal, maka tak menjadikannya tak perlu dibela. Jika demikian, apakah setiap kasus pembunuhan pada gelandangan tak perlu diproses, karena hidup mereka akan semakin menambah masalah?
Lebih dari itu, kebencian masyarakat kita pada remaja sebetulnya sangat nyata terlihat, bagaimana sebagian besar buku di SD menampilkan keluarga bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak kecil, bukan remaja. Jikapun sang anak kecil memiliki kakak—kita banyak temui figur kakak di iklan televisi—bisa dipastikan ia adalah seorang perempuan, dan lagi-lagi sang kakak juga dicitrakan baik (baca: membantu ibu merawat ruang privat).
Pandangan ini pula yang dianak-pinakkan untuk melihat perempuan, bahwa perempuan harus selalu baik-baik. Tak pernah kakak laki-laki. Nampak kebencian yang mengakar dalam masyarakat kita pada remaja laki-laki, lebih-lebih perempuan.
Logika keempat adalah logika “cocokologi”, di mana jika seseorang memiliki orangtua yang berada dalam lingkar TNI, maka segala tindakan keluarga mereka akan arogan. Spotlight dari media yang memberitahukan bahwa keluarga sang bocah berasal dari sana menjadi sekam pembakar keberingasan netizen.
Empat kecacatan berlogika inilah yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan pada bocah tersebut. Maka, yang diperlukan adalah memperbaiki (baca: merawat) logika kita.
Terkait