Kamis, April 25, 2024

Literasi dan Agenda Politik Kebudayaan

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)

Ini sudah jelang akhir tahun 2017, tahun yang baik dalam upaya pengembangan literasi di Indonesia. Sejak pertengahan tahun ketika program Pustaka Bebas Bea (PBB) diresmikan oleh pemerintah dan PT POS Indonesia (PERSERO), gerakan literasi di daerah-daerah mulai naik daun. Kebutuhan bacaan dikemukakan di publik. Dengan kata lain, bacaan dan ruang belajar telah dianggap sebagai prioritas baru masyarakat Indonesia.

Kita tak bisa memungkiri bahwa akses internet yang sampai ke pelosok membuat program literasi—yang digagas pemerintah maupun swasta—berkembang pesat. Hatta, peresmian gedung baru Perpustakaan Nasional menjadi markah bahwa pemerintah serius menghadapi kebutuhan masyarakat akan bacaan dan ruang yang sehat untuk belajar.

Memperkenalkan generasi muda pada buku-buku memang harus serius dan masif. Meski banyak pihak yang bergerak sukarela, namun pertalian simpul juga patut diutamakan. Masyarakat harus tahu bagaimana komitmen para pegiat literasi, pun begitu halnya dengan kedua golongan itu.

Hal itu untuk menjawab keresahan saya menyaksikan fenomena belakangan ini. Masih saja ada pihak yang menganggap bahwa mereka yang sekadar kumpul-kirim buku bacaan tanpa turun langsung ke TKP (baca: mengajar baca tulis dan hal-hal kreatif lain) adalah orang-orang yang tunduk pada keterbatasan—yang adalah kurang baik. Tuduhan itu semacam membelah-belah aktivisme literasi pada sekat yang tak perlu.

Pelajar mengamati koleksi benda pos yang dipamerkan dalam Bali Philately Exhibition (Baliphex) 2017 di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Jumat (17/11). Pameran Filateli tersebut memamerkan ratusan koleksi benda pos seperti prangko, surat dan kartu pos bersejarah hingga yang terbaru dari Indonesia dan berbagai negara lain. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/ama/17

Pengembangan literasi sebagai sebuah proyek besar mesti mengandaikan tiap golongan saling paham dan mendukung. Bahkan kalau perlu, saling tuntut untuk memenuhi apa-apa yang dibutuhkan. Maka, tanpa agenda politik kebudayaan, program literasi memang tak akan jamak faedahnya. Niscaya kita akan menjalani kesia-siaan yang menghabiskan dana berlimpah. Untuk bea kirim gratis ke sekitar 400 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) saja—meski tidak bisa diperoleh angka bea kirim yang pasti—tentu luar biasa jumlahnya.

Budaya pada Mulanya

Dengan agenda besar itu, literasi menjadi bagian dari melestarikan kebudayaan masyarakat Indonesia. Dengan catatan: kebudayaan dimaknai lebih dalam dari sekadar bentuk-bentuknya yang di era ini hanya menyorong pada bentuk wisata indera: bangunan bersejarah, kesenian, dan panggung-panggung pertunjukan.

Lebih dari itu, kebudayaan harus dipahami sebagaimana mulanya. Sejak cultivation (pemeliharaan ternak, hasil bumi dan upacara religius—yang darinya diturunkan istilah cult) hingga pasca nasionalisme abad ke-19 yang akhirnya melahirkan istilah “budaya rakyat” dan “budaya nasional”.

Budaya dipahami sebagai hubungan timbal-balik manusia sebagai individu maupun kolektif dengan ruang dan waktu di sekitarnya. Dalam konteks kekinian, masyarakat diarahkan untuk ikut serta berkreasi tentang sistem pikiran, alat-alat, dan sistem tingkah laku yang kuasa menjawab tantangan zaman.

Menghargai yang Struktural

Demi kemakmuran literasi, pertama-tama kita memang tidak bisa melecehkan proses struktural. Indonesia yang hampir bebas dari buta huruf sekarang ini juga tidak akan berhasil tanpa penyegaran dalam kerangka makro. Di dalamnya termasuk jua pendasaran etis dalam menghadapi masyarakat yang buta tentang apa-apa yang tertulis. Kalau presiden dan seperangkat pejabat negaranya tak peduli, persoalan buta huruf tidak akan beres, begitu kira-kira.

Gerakan pengembangan literasi butuh perubahan mendasar di masyarakat yang kuat budaya tutur lisan. Maka, diperlukan proses yang condong struktural; yang mengandaikan adanya sebuah rekayasa politik, ekonomi, dan sosial sekaligus. Infrastruktur dan suprastruktur didesain sedemikian ideologis. Lembaga-lembaga ditata sehingga sanggup mengatur individu.

Dukungan pemerintah Indonesia terhadap pengembangan literasi sudah berada pada orbit ini; pada lintasan yang menekankan basis yang sifatnya etis dan ideologis. Hal ini diperkuat keyakinan para pengelola TBM dan pegiat literasi di Indonesia ketika menyampaikan 8 Bulir Pesan Literasi kepada Presiden Jokowi. Hampir seluruh poin menuntut perubahan struktural di dalam institusi penerbit, toko buku, BUMN, dan pemerintah daerah.

Namun—seperti yang lazim terjadi—kita rentan jatuh ke dalam sloganisme. Di antara basis etis dan ideologis terdapat ngarai dalam. Literasi semacam dijadikan tumbal untuk korban-korban jatuh di sisi yang lain. Kurikulum di sekolah terus disempurnakan, berujung pada kebingungan pengajar.

Kualitas guru dikembangkan dengan berbagai cara, berujung pada berbagai problem sertifikasi. Regulasi buku-buku murah dan mudah, namun sirkulasinya jelek di negara kepulauan ini. Begitulah, aspek-aspek manusiawi bisa luput. Sering kita lupa bahwa manusia bisa terkejut dan tidak bisa buru-buru dalam perubahan.

Bila rekayasa struktural terlampau jauh mengatur bidang hakiki manusia, ia akan melukai otonomi individu. Nah, maka, anggaplah pengembangan literasi membutuhkan sebuah interaksi budaya yang sanggup menanggung ekspresi-ekspresi masyarakat yang so random.

Mengembangkan yang Kultural

Itu berarti proses kultural. Ia berciri pendekatan pada kedaulatan individu, dengan mengasumsikan perubahan nilai dalam suatu transformasi nilai ke arah kemajuan. Individualitas sungguh menonjol dalam proses ini. Dampaknya, muncul ekspresi yang sifatnya berpihak pada hak-hak asasi manusia.

Di Indonesia, gerakan-gerakan sosial bisa berjalan karena setiap kelompok masyarakat diberi basis kesederajatan. Untuk literasi, beberapa komunitas mengumpulkan donasi buku-buku untuk menjadi semacam agen di antara TBM dan warga perorangan.

TBM dan perpustakaan jalanan juga sedia tidak hanya sebagai ruang fisik, tapi juga mengakomodasi perluasan akses dan kesempatan dalam kegiatan dan ekspresi budaya. Pengelola menyiapkan diri untuk dijadikan ruang berkesenian dan diskusi berbagai golongan dengan segala pasalnya.

Sebuah agenda politik kebudayaan akan berjalan jika dengan jelas menempatkan tradisi dan sejarah sebagai kaki-kakinya. Untuk itu, perubahan-perubahan struktural harus menyangga yang kultural: terbuka terhadap diskursus sejarah negeri ini. Dengan cara itu, pengakuan pada keragaman identitas budaya diberi ruang dan dijamin kelestariannya.

Pelaksanaan jargon-jargon terkait pengembangan literasi bisa dituntaskan dengan mengakui kedaulatan tiap individu dan narasi kelompok-kelompok kecil. Keharusan kita adalah mengembangkan telos perkembangan literasi menjadi tak hanya sekadar kemampuan baca dan tulis. Namun juga penyaringan informasi atau—lebih luas lagi—kontrol sosial, perubahan lingkungan, sistem nilai, etika, juga penggarapan kesadaran individu.

Kolom terkait:

Jokowi, Kecintaan pada Literasi, dan Tragedi YLBHI

Jokowi, Literasi, dan Proyek Besar Buku

Ketika Pajak dan Api Memadamkan Literasi

Senjakala Literasi Kita

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.