Dalam bahasa bersayap, Jean Paul Sartre pernah menyebut kemerdekaan adalah sebuah “kutukan”. “Kutukan” bahwa kita harus memilih untuk memutuskan atau tidak. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah keputusan. Dalam peristiwa Rengasdengklok, barangkali keputusan untuk merdeka itu tergesa-gesa. Namun, keputusan yang terkesan tergesa-gesa itu terlihat segera matang kembali ketika kita dengan sepakat mengubah sila pertama pada Piagam Jakarta menjadi Pancasila seperti saat ini.
Dengan kata lain, dalam bahasa Sartre, kita telah menerima “kutukan” itu dengan sadar bahwa kita memang harus merdeka dalam keberagaman.
Sayangnya, saat ini, justru keberagaman itu sedang mengalami serangan demi serangan. Berbagai oknum berusaha mengobrak-abrik keberagaman itu dengan sangat gesit. Bahkan, aras pendidikan yang mestinya menjadi dapur pencetak watak dan karakter luhur bangsa tak luput dari serangan. Justru ada kesan bahwa pendidikan menjadi rumah pembibitan benih-benih kebencian yang paling subur.
Pendidikan menjadi rumah peternakan kedengkian paling mujarab. Akibatnya, anak didik yang semestinya ceria dengan keberagaman mendadak bosan dan muak. Ini bisa kita lihat dari kejadian demi kejadian di rumah pendidikan kita. Bergelimang kekerasan dan perundungan terjadi begitu rupa. Yang berbeda secara fisik, misalnya, seperti anak-anak disabilitas dirundung. Yang berbeda secara identitas lebih parah lagi: diusir, dicaci maki, ditolak keberadaannya.
Tak ada lagi welas asih dari anak-anak. Padahal, anak-anak adalah sosok yang mestinya lekat. Anak-anak adalah orang yang polos dan terbuka, juga jujur. Dan, berbagai penelitian menyebutkan bahwa sejatinya tak ada anak yang terlahir untuk membenci.
Bukan Pepesan Kosong
Erich From dalam karyanya, The Anatomy of Human Destructiviness (1973), tegas mengatakan hal itu: tak ada manusia yang terlahir agresif, merusak, dan mematikan. Kita terlahir bukan untuk mewarisi kearakter-karakter buruk seperti itu. Namun, lagi-lagi fakta di lapangan berbicara lain. Menurut Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) saja disebutkan bahwa 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah (2015). Padahal, John Hagen dalam Modern Crimonology sudah mengingatkan bahwa baik jahatnya seseorang tergantung lingkungannya.
Artinya, jika lingkungan saja sekolah sudah kacau, maka personal di lingkungan itu akan bermental kacau pula. Apa yang diingatkan John Hagen sama sekali bukanlah pepesan kosong. Kini, terbukti bahwa siswa-siswa kita menjadi mesin penyebar virus kebencian, kekerasan, dan kedengkian yang sangat efektif.
Dalam studi Endang Turmudi (2016), peneliti senior LIPI, misalnya, disebutkan bahwa ada 84,8 persen siswa kita yang setuju agar Pancasila ditukar dan 52,3 persen sepakat dengan kekerasan atas nama solidaritas agama. Hasil serupa juga kurang lebih didapatkan oleh studi Wahid Institute (2016).
Pertanyaannya, mengapa sampai sejauh ini, pada umur yang ke-72, kekerasan dan kebencian itu semakin deras mengalir dan mengular? Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Tetapi, faktor paling dominan saya pikir adalah hilangnya kemerdekaan anak-anak kita di sekolah. Mereka tidak diizinkan lagi berpikir dan bertindak merdeka. Sebuah kekuatan yang, entah dari mana, bisa saja dari orangtua, guru, atau tokoh agama, nyata-nyata telah memperbudak pikiran mereka. Pikiran mereka yang semestinya menerima banyak informasi dimonopoli sebuah kekuatan tersebut.
Akibatnya, kebencian mereka semakin memuncak kepada orang lain. Lantas, bagaimana memerdekakan pikiran siswa? Cara paling efektif adalah membuat arus informasi yang dulunya dimonopoli menjadi datang dari berbagai arah. Ini agar siswa tak lagi menerima kebenaran dari sebuah sudut pandang, tetapi juga dari berbagai sudut pandang lainnya.
Sudut pandang yang membuat mereka sadar bahwa sejauh mata memandang, ternyata keberagaman adalah keniscayaan. Ada berkulit putih, kuning, hitam. Ada berbahasa Batak, Jawa, Minang, Bugis. Ada yang suka bernyanyi, berpuisi, berpidato, merenung, dan sebagainya.
Nah, atas kesadaran bahwa anak harus merdeka untuk mendapatkan berbagai informasi, mendalaminya, lalu mencernanya dalam pikiran, maka tepat pada perayaan kemerdekaan tahun ini, kami dari TWF (Toba Writers Forum) sengaja datang ke pelosok Samosir untuk memberikan pelatihan literasi kepada siswa-siswa dari berbagai sekolah di Siallagan.
Kami melakukan pelatihan itu jauh dari kota karena kami sadar bahwa desa merupakan masa depan bangsa ini. Kami juga sadar betul bahwa nasib bangsa ini ada pada orang-orang muda.
Jika orang muda ini tidak diberikan kemerdekaan untuk berpikir dan mendapatkan berbagai sumber kebenaran, maka dipastikan, orang-orang muda ini kelak menjadi racun di masa depan.
Mereka akan mendaku, bahkan mengklaim sebuah kebenaran lalu menolak kebenaran-kebenaran lain. Lebih jauh dari itu, kami sadar bahwa tak lain tak bukan, orang-orang muda dan dan desa adalah dua hal penting untuk menjaga masa depan bangsa ini.
Ketika kini orang tua tengah sibuk cekcok dengan pertarungan politik yang memperalat agama dan ras, orang muda yang masih minim benturan politik bisa menjadi obat tawar. Ketika orang perkotaan sibuk dengan diri sendiri dan kepentingannya, orang perdesaan yang guyub bisa menjadi alternatif kebangunan.
Desa dan orang muda adalah perkawinan alami untuk sebuah generasi masa depan yang guyub. Sederhana saja untuk membuktikan ini. Lihatlah di kota-kota, siapa yang lebih semangat merayakan kemerdekaan kalau bukan orang muda? Mereka pergi naik gunung, ikut lomba ini-itu, dan sebagainya.
Lihat pula di negeri ini, di mana perayaan kemerdekaan ditunaikan paling semarak kalau bukan di perdesaan? Di kota-kota, perayaan kemerdekaan tak ubahnya ibarat perayaan hari libur. Tak ada yang spesial. Orang-orang kota lebih senang merayakan kemerdekaan dengan menonton televisi atau berburu diskon ke pusat-pusat perbelanjaan. Alih-alih hari kemerdekaan, hari Proklamasi cukup dimaknai sebagai hari libur untuk berburu diskon. Sebaliknya, orang-orang desa merayakan kemerdekaan dengan sangat ceria.
Mereka melupakan sepetak sawah hanya untuk ikut berpesta di tanah lapang. Mereka juga melupakan penat untuk ikut berpawai obor pada malam hari sebelumnya. Di kota-kota, hal seperti ini sangat jarang terjadi, untuk tidak menyatakan tidak pernah. Maka, dapat dipastikan bahwa siswa-siswa dari desa adalah gambaran masa depan paling ideal untuk bangsa ini. Ini karena mereka masih merdeka dalam berpikir, apalagi bertindak. Mereka masih toleran dan guyub. Karena itulah, mereka harus dirawat dan dibekali. Mereka perlu dijaga agar kebencian tidak menular.
Caranya adalah memerdekakan mereka dengan berbagai informasi. Teknisnya, kepada mereka disuguhkan buku-buku inspiratif, seperti puisi, dongeng, novel, dan sebagainya. Buku dengan beragam sumber akan membuat pikiran mereka semakin merdeka.
Kamis kemarin, di Jakarta, Presiden Joko Widodo meresmikan gedung Perpustakaan Nasional berlantai 27. Jokowi menyebutkan ide pembangunan perpustakaan semegah ini sudah ada dari Presiden Sukarno. Namun baru sekarang bangunan itu selesai direnovasi. “Ini dikerjakan 2 tahun 6 bulan dan selesai dengan kondisi yang sangat baik,” ujar Jokowi seperti dikutip detiknews.
Tak kepalang tanggung, biaya renovasi perpustakaan ini adalah Rp 465 miliar. Jokowi berharap bisa menumbuhkan minat baca masyarakat.
David Mc Clelland pernah menyebutkan bahwa Inggris semakin jaya karena sebaran buku. Karena itu, kita harus mengapresiasi orang-orang yang kini gigih menebar virus literasi dan menyebar buku ke pelosok-pelosok.
Apa yang mereka lakukan adalah sebuah pekerjaan besar untuk proyek mahabesar bangsa ini: merawat dan mengutuhkan kemerdekaan Indonesia. Mari pererat tangan melakukan proyek besar ini dan mengisinya dengan membaca buku-bukunya, bukan cuma gedungnya yang megah!