Menjadi terkenal dan mendapat perhatian dari banyak kalangan masyarakat mungkin menjadi mimpi utopis banyak orang. Para penghasil karya ingin karya-karyanya (berupa tulisan, musik, desain, lukisan, atau pemikiran-pemikiran di bidang sosial, politik, agama dan bidang-bidang lainnya) bisa dinikmati lebih luas dari sekadar lingkaran diri sendiri. Tetapi kadang mereka lupa, ketika nama pembuatnya mulai dikenal dan diperhatikan, ketika karya-karya olahannya menjadi konsumsi penikmat dengan spektrum yang lebih luas, karya tersebut hampir sepenuhnya sudah di luar kendali pembuatnya.
Orang-orang yang mengonsumsi, bebas untuk melakukan pujian, kritik, atau membanding-bandingkan dengan karya lain dengan maksud menambah wawasan atau hanya sekadar melihat apakah ada indikasi plagiarisme di salah satu karya tersebut.
Sebagai salah seorang penghasil karya, giliran sosok Afi Nihaya Faradisa yang kini mendapat kesempatan untuk merasakan kerlap-kerlip sinar ketenaran tersebut. Sejak tulisannya yang berjudul Warisan itu viral di berbagai media, namanya selalu menjadi buah bibir banyak orang, bahkan menjadi daya jual tersendiri bagi acara-acara bertajuk talkshow di televisi.
Setelah tulisan tersebut, beberapa hari kemudian Afi kembali menelurkan tulisan lain yang tidak kalah viral berjudul Belas Kasih dalam Agama Kita. Tetapi di luar ribuan tanda suka dan komentar yang diperoleh Afi pada tulisan ini, teori tentang kehilangan kendali akan tulisan di ruang publik seperti disebut di atas, mulai kelihatan wujudnya.
Orang-orang yang merasa familiar dengan isi tulisan tersebut, mulai melakukan proses membanding-bandingkan, sampai akhirnya ditemukan kemiripan atau bisa disebut kesamaan, dengan tulisan yang lebih dulu diunggah oleh Maya Handayani di laman Facebooknya yang berjudul Agama Kasih pada 30 Juni 2016.
Kepastian mengenai apakah tulisan Afi tersebut merupakan bentuk plagiarisme atau bukan, tentu saja masih bisa diperdebatkan. Tetapi satu hal yang sudah pasti kita setujui bersama adalah segala bentuk tindakan plagiarisme tentu tak bisa dibenarkan. Selain merampas hak cipta dan hak kepemilikan penuh penulis akan tulisannya, tindakan plagiarisme juga pada akhirnya akan membunuh kreativitas dan keaslian tulisan pelakunya sendiri.
Menanggapi tuduhan tersebut, Afi sendiri telah memberikan klarifikasinya melaui laman facebooknya baru-baru ini (https://www.facebook.com/afinihaya/posts/825144464311480). Tetapi sebagai pembaca, saya merasa, Afi sama sekali tidak memberikan jawaban yang jelas akan posisinya dalam kasus ini.
“Apakah aku pernah melakukan plagiasi? Ya. Kita semua pernah. Siapa yang tidak pernah melakukannya? Mulai dari tugas sekolah sejak SD, makalah kuliah, ujian, sampai caption foto di media sosial.”
Kalimat tanggapan dari Afi di atas, bagi saya, sangat susah ditentukan ingin merujuk kepada tindakan yang mana. Di satu sisi, Afi mengakui bahwa dia pernah melakukan tindakan plagiarisme, tetapi di sisi lain, kita tidak tahu pasti, apakah tindakan plagiarisme yang dimaksud itu adalah tindakan plagiarisme sebelum-sebelumnya atau ikut mencakup tulisannya yang berjudul Belas Kasih dalam Agama Kita itu.
Dia hanya mengatakan “pernah”, di mana kata “pernah” ini, secara kebahasaan, hanya merujuk pada kejadian di masa lalu.
Selain itu, pernyataan Afi di atas juga sedikit menjurus pada salah satu bentuk logical fallacy, yaitu bandwagon atau argumentum ad populum karena melakukan pembelaan dengan memanfaatkan kuantitas orang yang melakukannya. Padahal, plagiarisme tetap saja bukanlah perbuatan baik, walau perbuatan tersebut dilakukan oleh banyak orang.
Kalimat-kalimat lain dalam pernyataan klarifikasi Afi juga belum bisa mengirimkan sinyal kepastian tentang benar-tidaknya Afi melakukan plagiarisme.
“Kalaupun kita mengklaim punya hak cipta atas suatu gagasan yang brilian, maka gagasan tersebut tetaplah akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari.
Tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli.”
Saya pribadi sangat setuju dengan pernyataan tersebut, karena setiap proses pembentukan opini, pandangan atau keberpihakan, itu semua merupakan hasil perahan dari apa yang kita dengar, lihat atau rasakan. Tetapi saya rasa Afi pun harusnya mengerti bahwa kata-kata “akumulasi dari segala hal yang berhasil kita serap sehari-hari” itu, hanya berbicara dalam tataran ide ataupun cara pikir, bukan menyalin sama persis, lebih dari dua paragraf, kata-kata yang kita dengar itu kemudian menyisipkan kata-kata baru sedikit supaya terlihat agak berbeda.
Selain itu, ketika kita mengamini pernyataan “tak ada gagasan yang benar-benar murni, asli”, seharusnya kita juga memberikan penghormatan kepada pihak lain yang ikut membangun kerangka tulisan kita itu dengan mencantumkan atau menyebutkan nama penulis tersebut.
Tetapi di balik semua semua kontroversi dan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut kepastian itu, ada hal-hal penting yang akhirnya dilupakan dan tertutupi. Terlepas dari konteks plagiarisme atau bukan, di tangan Afi, pesan dari tulisan tersebut menggema lebih kuat dan lebih jauh. Afi bagaikan amplifier yang menyalurkan musik-musik damai tulisan tersebut menjadi lebih terdengar di telinga masyarakat.
Kejadiannya bisa kita ibaratkan sebagai berikut. Pada suatu hari, seorang dokter di Indonesia berhasil menemukan obat kanker baru yang sangat ampuh khasiatnya. Melihat kondisi dunia yang sedang dilanda penyakit kanker, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian tertarik dengan obat tersebut dan mengambil serta mengembangkannya tanpa seizin dokter di Indonesia tadi. Di tangan WHO, obat tersebut kemudian diproduksi secara massal dan disalurkan kembali untuk mengatasi penyakit kanker di seluruh bagian dunia.
Perbuatan WHO tanpa seizin dokter penemu obat dalam cerita tersebut tentu saja menyalahi aturan. Tetapi di tangan WHO, ada lebih banyak jiwa yang akhirnya bisa tertolong di seluruh bagian dunia.
Saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa Afi Nihaya Faradisa lebih terkenal daripada penulis aslinya. Tetapi dengan banyaknya perhatian yang sekarang tertuju kepada Afi, maka pesan-pesan damai dari tulisan tersebut dapat menyentuh lebih banyak hati dan nurani masyarakat Indonesia yang sedang meradang saat ini.
Melalui Afi juga, tulisan terebut bukan sekadar tulisan biasa, tetapi menjadi suara yang mewakili anak-anak muda bangsa ini yang masih optimistis, peduli, dan percaya bahwa harapan menjadi bangsa yang lebih baik lagi belumlah sirna.