Sabtu, Oktober 12, 2024

Canialogi yang Tidak Nyambung

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[ilustrasi: http://www.kerygmateenz.com]

Kritik Cania Citta Irlanie dalam satu “Canialogi”-nya di Geotimes atas argumen-argumen Deddy Corbuzier adalah hal yang sangat menggelikan. Sebab, beberapa kritiknya nyaris tak ada nyambung-nyambungnya sama sekali.

Bertajuk Sesat Pikir Deddy Corbuzier Soal Kuliah Tidak Penting, Cania mencoba mempreteli satu per satu argumen mantan pesulap yang berperawakan tinggi besar nan botak itu melalui vlognya. Bagi Cania, apa yang disampaikan Deddy dalam “8 Alasan Kuliah Tidak Penting” adalah sesuatu yang sangat sarat akan kesesatan berpikir.

Sepakat. Ada sejumlah hal yang memang Deddy bangun secara serampangan. Kalau tidak direspons, cepat atau lambat, maka itu akan menjadi penyakit, menyebar bak virus mematikan, terutama bagi generasi masa depan. Misalnya, soal kuliah di perguruan tinggi atau universitas yang, menurut Deddy, tidak mengajarkan mahasiswa untuk berpikir. Seperti kata Cania, ini adalah bentuk over-generalisasi.

Pun demikian ketika Deddy mengklaim bahwa kebanyakan orang-orang sukses adalah mereka yang justru tidak atau berhenti kuliah—seperti Mark Zuckerberg mungkin. Tapi, tanpa fakta dan data yang valid, pernyataan Deddy ini jelas bisa kita kategorikan sebagai sebuah fallacy, logika yang menyesatkan.

Hanya saja, di luar kritik Cania itu, tetap ada beberapa hal yang bagi saya tidak nyambung dalam kritiknya. Dan ini, jika tidak direspons, juga akan bisa jadi momok berbuah fatal.

Pertama, tentang “sesuatu yang tidak spesial”. Menurut Cania, Deddy mengasumsikan bahwa sesuatu yang tidak spesial itu adalah hal yang sama artinya dengan ketinggalan zaman. Karena itu, sesuatu yang tidak spesial tadi menjadi hal yang tidak penting lagi. Pada ini, Cania ambil contoh tentang penggunaan merek telepon cerdas.

Hari ini mungkin ada jutaan hingga puluhan juta orang yang pakai Samsung dan i-Phone, bahkan seri terbaru. Terus, apakah kedua merek telepon cerdas raksasa itu ketinggalan zaman, gitu?

Cania juga menyoalnya dari sisi aksesibilitas. Bahwa dulu hanya segelintir orang saja yang bisa menggunakan internet. Sekarang, hampir semua orang bisa mengaksesnya. Lantas, tanya Cania, apakah itu membuktikan bahwa internet jadi tidak penting, bisa disebut sudah ketinggalan zaman?

Oh my god. Bisa-bisanya Cania mengkritik Deddy semacam itu. Ini satu bukti bahwa Cania sebenarnya tidak terlalu memahami apa yang dia tengah kritik. Ia tidak paham betul apa yang dimaksud Deddy dengan “sesuatu yang tidak spesial” dalam konteks perkuliahan. Cania keliru memahami Deddy tentang pandangannya soal “kuliah yang sudah ketinggalan zaman”. Itu tampak dari analogi yang diberikan Cania yang salah kaprah.

Dulu, kata Deddy, anak kuliahan yang ketika lulus mendapat ijazah dan gelar adalah ia yang spesial di lingkungan masyarakatnya. Itu benar, sebab tidak semua orang bisa meraihnya. Hanya mereka yang pintar atau dari kalangan keluarga berduit sajalah yang bisa mendapatkan kesempatan istimewa semacam itu.

Tapi itu dulu. Sekarang, nyaris semua orang sudah bisa meraihnya dengan mudah. Karenanya, ketika ada orang yang masih beralasan bahwa “saya ingin kuliah agar jadi sarjana dan bisa menjadi orang spesial di lingkungan masyarakat saya”, maka itu jelas pandangan yang sudah kolot, ndeso alias ketinggalan zaman.

Bukankah yang spesial adalah ketika kita memiliki sesuatu yang tidak/belum banyak orang bisa dapatkan dan miliki dalam hidupnya? Apa yang membedakan saya yang punya gelar S.Fil, misalnya, dengan semua teman saya yang juga mendapat gelar yang sama? Apa spesialnya lagi gelar itu? Keter-spesial-an di sini sudah buyar. Tidak ada lagi pembeda yang khas. Semuanya sudah lazim.

Aksesibilitas, di mana nyambungnya soal ini? Deddy toh tidak menyoalnya. Yang dia permasalahkan hanyalah kenaifan dalam berpikir, alasan orang kuliah yang hanya mengejar agar dirinya bisa tampil spesial, bukan tentang yang lain-lain. Jadi, jangan melebarkan permasalahan ke hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya. Itu sesat pikir juga namanya.

Yang lain, masih tentang kuliah yang “ketinggalan zaman”, benar bahwa ilmu pengetahuan hari ini bisa didapat dari mana saja. Tidak hanya dari bangku kuliah, tidak dari dosen-dosen/pengajar di kampus, tetapi sudah bisa diakses secara mudah di internet.

Lagi pula, ketika yang dimaksud kuliah itu adalah mencari ilmu pengetahuan, seperti kata Luthfi Assyaukanie di status Facebook-nya, maka perguruan tinggi atau universitas kiranya tidak lagi relevan. Sebab, di zaman internet, akses ke arah itu sudah terbuka luas. Bahkan, ilmu pengetahuan terbanyak yang bisa orang dapat sekarang justru berada di luar tembok-tembok kampus.

Saya sepakat dengan Luthfi. Perguruan tinggi atau universitas hari ini sudah kehilangan raison d’etre-nya. Eksistensinya sudah tidak sama kayak dulu lagi. Makanya, ketika orang masih beranggapan bahwa perguruan tinggi adalah gudangnya ilmu pengetahuan, pandangan inilah yang dimaksud Deddy sebagai hal yang sudah ketinggalan zaman. Dan ini, sialnya, tidak mampu dicerna oleh host paling bla bla bla di jagat maya itu!

Terkait soal argumen Deddy tentang “kuliah mahal” yang kemudian membuat kuliah terkesan jadi tidak penting di matanya, saya kira Cania lagi-lagi keliru memahami maksud Deddy. Cania justru membelokkan itu ke hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali, seperti beralih mempertanyakan korelasi antara barang-barang mahal dengan sesuatu yang tidak penting. Apa hubungannya?

Padahal, yang dimaksud Deddy adalah tentang tujuan membayar mahal-mahal sesuatu yang tidak diyakini bisa memberi manfaat apa-apa pada si subjek. Jika kita yakin kuliah tidak memberi manfaat, kata Deddy, maka untuk apa harus kuliah? Mending uang-uang itu dipakai saja untuk hal-hal lain seperti berbisnis.

Lagi pula, alasan utama orang diterima bekerja di suatu perusahaan, misalnya, adalah pengalaman, bukan selembar ijazah. Ya, meski itu tetap bisa jadi salah satu penguatnya, dan masih ada beberapa tempat yang menganggapnya sebagai syarat utama, pun itu hanya seupil. Tapi jangan naif, pengalaman si subjeklah yang jadi ukuran utamanya, bukan hal lain apalagi sebatas selembar bukti yang meski sudah terlegalisir secara resmi sekalipun. Itu tetap tidak bisa jadi jaminan.

Tentang “kuliah murah”, Cania pikir bahwa argumen ini adalah upaya Deddy membantah argumennya sendiri terkait “kuliah mahal”. Aduh, saya yang salah tanggap atau Cania yang menyimak vlog Deddy hanya sepotong-sepotong?

Ingat, Can, maksud Deddy tentang “kuliah murah” di sini tak lepas kaitannya dengan konsep “ketinggalan zaman” di awal tadi. Ketika kuliah sudah murah bahkan gratis, maka semua orang bisa dengan mudah mengaksesnya. Kalau semua orang sudah bisa mengaksesnya, itu berarti bahwa yang spesial di mata masyarakat kita dulu semakin akan hilang. Di sana ketinggalan zaman yang dimaksud Deddy menemui bentuknya paling riil.

Untuk soal “salah jurusan”, saya rasa ada benarnya. Kita tak boleh membuang-buang materi hanya untuk menjalani sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti kata Deddy, “Anda pikir Anda bisa sukses dengan hal yang Anda tidak suka?” Omong kosong.

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.