Sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudji Astuti terkait permainan kotor yang dilakukan oknum pemerintahan kerap membuatnya geram. Bukan sekali dua ia langsung meluapkan emosinya di hadapan para awak media. Termasuk kasus yang saat ini sedang mencuat, yaitu adanya permainan dalam pelaksanaan impor garam. Kasus ini bermula karena persoalan waktu lamanya proses bongkar muat peti kemas (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Belakangan setelah ditelusuri pihak kepolisian, kasus ini ternyata merembet ke persoalan impor garam yang banyak melibatkan sejumlah kementerian. Mengenai persoalan ini, ada tiga kementerian terkait yang berkecimpung. Di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Sejauh ini pihak kepolisian sudah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dwelling time.
Menanggapi hal tersebut, Susi ingin lebih menertibkan impor garam. Menurutnya, jika mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan, pengadaan impor garam semestinya tidak boleh dilakukan dalam satu bulan sebelum panen dan dua bulan sesudah panen. Namun, peraturan itu seringkali tak diindahkan pejabat pemerintahan terkait.
Karenanya, untuk membenahi karut marut impor garam ini, Susi berkeinginan pengadaan impor garam agar melalui satu pintu di bawah PT Garam dan Asosiasi Petani Garam. Ini dimaksudkan agar tidak ada lagi tarik menarik kepentingan yang menyebabkan kerugian, yang dampaknya terutama dialami oleh para petani garam dalam negeri. Akibat adanya garam impor, harga jual produksi garam nasional anjlok di pasaran.
“Saya ingin membantu petani garam. Adanya impor garam ini membuat mereka banyak yang kecewa, karena tidak adanya good will dari pemerintah. Padahal, sebenarnya pemangku kepentingan kita sudah diberdayakan,” kata Menteri Susi beberapa waktu lalu.
Namun demikian, Susi tidak bisa serta merta mewujudkankan keinginannya itu. Ia lebih dulu harus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan. Karena kewenangan itu ada pada instansi tersebut. Selain itu, juga pada Kementerian Perindustrian sebagai pihak yang mengatur industri garam nasional.
Tentu keinginan Susi sebenarnya baik, namun tujuan ini perlu ada kemauan dan keseriusan dari pemerintah, termasuk dukungan Presiden Joko Widodo, untuk mempersempit proses impor garam di bawah satu kementerian saja. Presiden mesti turun tangan, karena seringkali kepentingan politik justru menghalangi berbagai upaya dalam membenahi kesemrawutan selama ini.
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Abdul Halim, izin impor garam supaya berada di bawah satu kementerian. Yang paling tepat ialah di Kementerian Perikanan dan Kelautan. Sebab, persoalan mengenai garam, dari mulai produksi, kualitas dan pengembangannya, ada di kementerian tersebut. Karenanya, Kementerian Perikanan dan Kelautan bisa dipastikan lebih paham dalam hal ini. Namun begitu, kementerian ini juga perlu mengembangkan kinerja petani garam dengan meningkatkan produksi serta kualitasnya. Dengan begitu, produksi garam nasional mampu memenuhi standar yang dibutuhkan industri.
“Ini menjadi tugas Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk lebih mengembangkan para petani garam. Selain produksi, tentu kualitas juga harus diperhatikan,” kata Halim.
Kemudian, setelah produksi dan kualitas meningkat, yang harus dilakukan adalah berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian. Kementerian tersebut perlu mengeluarkan aturan, yang dimaksudkan agar industri nasional wajib menggunakan hasil produksi garam dalam negeri dalam kegiatan produksinya. Dengan demikian, harga jual garam produksi dalam negeri bisa meningkat dan stabil. Selain itu, tentu upaya ini bisa menyelesaikan persoalan impor garam selama ini.
“Karenanya, untuk mendukung produksi garam nasional, perlu ada harmonisasi kebijakan antara kementerian terkait. Sangat ironis kalau kita terus-menerus mengimpor garam dari luar. Padahal, kita memiliki lautan yang begitu luas. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa kita sebenarnya bisa swasembada garam,” tuturnya. [*]