Rabu, Oktober 16, 2024

Pendidikan di Era Disrupsi (Catatan Karya Yudi Latif)

Fachry Ali
Fachry Ali
Kolumnis/Pengamat Sosial Politik

Yudi Latif lebih muda 10 tahun dari saya. Dan walau saya, tentunya, lebih awal menulis, Yudi jelas jauh lebih produktif.

Dua bulan lalu, saya diminta membahas bukunya tentang Pancasila. Sistem gagasannya dalam buku Pancasila itu menarik, terutama ketika ia membahas aspek ‘civil religion’-nya ideologi negara itu.

Dalam hal ini, Yudi sangat terbantu drngan pemikiran sosiolog Robert Bellah.
Semalam, saya juga diminta membahas buku terbarunya, ‘Pendidikan yang Berkebudayaan’. Seperti buku sebelumnya, Yudi mengungkapkan keseriusannya dalam berpikir tentang bangsa ini.

Sumbangan terbesarnya dalam buku ‘Pendidikan’ ini adalah susunan argumentasinya yang ‘kokoh’ tentang dasar kebudayaan bangsa. Salah satu yang saya tangkap adalah frasa menariknya tentang Nusantara dan laut yang melingkunginya.

‘Nusantara’, kata Yudi, ‘adalah file tentang ingatan kosmopolitanisme.’ Sementara lautan adalah ‘sarana atau media globalisme kuno.’ Ini tentunya bukan redaksi persis Yudi, tentunya. Melainkan, parafrase yg saya buat.

Saya suka dengan frasa itu karena bisa meringkas (dan menyederhanakan) konsep kebudayaan Yudi di dalam buku ini. Dengan ini, Yudi ingin mengatakan bahwa kebudayaan nasional, di samping yang telah berkembang pada tingkat domestik, adalah hasil dialog dengan pihak luar —yang distrukturkan oleh corak geografis bersifat Nusantara dan dikelilingi lautan itu. Dari sini pula, Yudi mendapat perspektif meletakkan pengertian ‘puncak-puncak kebudayaan daerah’ yang menjadi dasar ‘kebudayaan nasional’.

Mengambil frasa Sukarno tentang pengertian ‘suku’ (untuk suku bangsa) sebagai ‘kaki’ —menurut pengertian Jawa— maka, etnik-etnik yang bergabung ke dalam bangsa (Indonesia) menjadi landasan kokoh penyangga bangsa.

Mengapa? Karena ‘suku bangsa’ dengan sendirinya menjadi aneka ‘kaki’ kokoh menyangga struktur bangsa secara keseluruhan. Kekokohan ini terlihat pada pandangannya bahwa ‘puncak-puncak’ kebudayaan daerah adalah ekspresi cita rasa dan tradisi lokal, yang sudah pasti beragam itu, yang hidup dan secara efektif membimbing sistem tindakan masing-masing masyarakatnya.

Efektivitas ini dalam kehidupan sehari-hari telah membuat tak ada alasan bagi masyarakat mencari alternatifnya. Maka, kekokohan bangsa terletak pada daya hidup ekspresi cita rasa dan tradisi masing-masing ‘kaki’-nya itu.

Dalam konteks inilah Yudi bicara tentang pendidikan. Baginya, secara konseptual dan ideal, pendidikan tidak bisa direduksi kepad usaha menciptakan kemampuan teknikal belaka. Dengan terus terang, sikap ini diproyeksikan kepada ‘kesibukan’ pengambil keputusan tentang teknologi 4.0.

Baginya, sesuai dengan sifat teknologi yang berkembang pesat, para pengambil keputusan akan cenderung menangkap gejala pada tingkat permukaan dan secara terus menerus akan berhadapan dengan ‘disrupsi’ —karena teknologi akan terus berkembang, bahkan dalam wujud yg kian cepat.

Dengna mengatakan ini, Yudi ingin menyampaikan bahwa yang dibutuhkan dalam proses pendidikan adalah menciptakan metode pengajaran untuk mereproduksi manusia-manusia otonom dan kreatif. Seperti juga kebudayaan nasional yang mampu sintas (survive), arah utama pendidikan pada esensinya adalah menciptakan manusia-manusia kreatif dan otonom. Dengan itu, betapa pun ia harus berhadapan dengan serangkaian disrupsi (akibat perkembangan teknologi) secara terus-menerus, bangsa ini akan selalu siap.

Fachry Ali
Fachry Ali
Kolumnis/Pengamat Sosial Politik
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.