Rabu, Oktober 16, 2024

Pendidikan Anti-Korupsi di Persimpangan Jalan

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

game-kpk

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mendampingi anak-anak sekolah bermain dalam peluncuran Playday Boardgames Anti Korupsi di KPK, Jakarta, Jumat (15/4). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

Di Hari Pendidikan Nasional (2 Mei), satu hal yang harus kita tekankan adalah pendidikan anti-korupsi. Sebagai salah satu pos pemerintah yang anggarannya paling besar, justru kependidikan harus menjadi sorotan utama dalam hal ini.

Salah satu program Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pendidikan anti-korupsi. Pada 2014, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pernah menerbitkan modul pendidikan anti-korupsi untuk perguruan tinggi (PT), hasil kerja sama dengan KPK. Sampai detik ini sudah banyak PT terkemuka yang berupaya mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi dengan kurikulum mereka. Namun, sejak DIKTI dipisah dari Kementerian Pendidikan, ternyata langkah berbeda dalam implementasi pendidikan anti-korupsi sudah diambil.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sebagai induk Dirjen DIKTI yang baru,  tetap memasukkan pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum PT. Namun Kementerian Pendidikan menolak memasukkannya, dan justru mengintegrasikannya ke dalam kegiatan ekstrakurikuler. Alasan Menteri Pendidikan Anies Baswedan adalah karena hal itu akan membebani siswa, dan sikap anti-korupsi bisa dilakukan pada ranah ekstrakurikuler.

Hal ini terkesan paradoks dan kontradiktif, karena kedua Kementerian tersebut mengambil kebijakan yang berbeda, padahal substansinya sama. Seharusnya kebijakan pendidikan anti-korupsi konsisten pada semua Kementerian tanpa kecuali. Pemerintah semestinya kompak dalam menghadapi musuh bersama yang bernama korupsi ini.

Menurut pakar pendidikan, Fahriza Marta Tanjung, ada gejala-gejala korupsi di lingkungan sekolah yang sudah menjadi rahasia umum. Gejala-gela tersebut antara lain jual-beli kursi di sekolah favorit, jual beli nilai di sekolah, “lelang” jabatan kepala sekolah, pemangkasan bantuan pemerintah oleh oknum pemerintah daerah, dan penyalahgunaan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) oleh oknum pimpinan sekolah.

Hal ini sangat memprihatinkan dan seharusnya menjadi catatan bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan terutama KPK yang memang mengaudit, mengawasi, dan menyidik penyimpangan pada transaksi keuangan negara, mengingat anggaran pos pendidikan yang sangat besar. Sebelum kita mengeksekusi kebijakan anti-korupsi untuk mengatasi penyimpangan tersebut, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah berangkat ke “hulu” untuk optimalisasi pendidikan anti-korupsi di sekolah.

Pendididikan anti-korupsi bisa disisipkan pada mata pelajaran lain, seperti agama atau pendidikan dan kewarganegaraan (PKN). Hal ini tidak akan membebani siswa karena hanya memerlukan reformulasi materi kurikulum, bukan penambahan yang signifikan. Dalam konteks Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP), sebenarnya urgensi kurikulum berbasis anti-korupsi di sekolah harus diteliti secara komprehensif terlebih dulu sebelum mengeksekusi kebijakan terkait.

Jika benar-benar serius mengembangkan pendidikan anti-korupsi, sebaiknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan kajian PEP dengan KPK, dan Kementerian Riset dan Teknologi sebelum memutuskan apa-apa. Jika hasil kajiannya sudah konklusif, baru diumumkan ke publik.

PT sudah banyak melakukan kajian integrasi pendidikan anti-korupsi dengan kurikulum sekolah. Salah satunya oleh Lukman Hakim, peneliti bidang kurikulum. Instrumen yang dikembangkan sebenarnya bisa juga digunakan oleh Kementerian Pendidikan. Akan jauh lebih baik ketika Indonesia sudah darurat korupsi, maka ego sektoral antar-kementerian bisa dikesampingkan untuk duduk bersama dalam memformulasikan kebijakan lintas kementerian.

Di luar tembok sekolah dan kampus, situasi negara ini sudah memprihatinkan karena banyak kasus korupsi yang belum tuntas. Skandal Bank Century dan Hambalang, misalnya, masih menyisakan banyak pertanyaan. Belum lagi kasus pengemplangan BLBI, RS Sumber Waras, dan lainnya.

Korupsi adalah extraordinary crime, setara dengan penyalahgunaan narkoba dan terorisme. Mengapa hukumannya begitu ringan dibanding narkoba dan terorisme? Mengapa terpidana koruptor tetap bisa berbisnis di penjara, sementara terpidana narkoba dan terorisme dibawa ke alam baka? Hal ini bisa menjadi pertanyaan bagi siswa maupun mahasiswa di kelas, yang tidak mudah untuk dijawab.

Jawaban simplistik bahwa “karena memang peraturannya seperti itu” tidak akan memuaskan para muda-mudi yang haus akan kebenaran dan akan melahirkan apatisme atau malah pembangkangan.

Sesungguhnya sudah ada pemimpin yang mengusung kebijakan anti-korupsi, seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Tri Rismaharini. Mereka bisa menjadi teladan yang cukup baik bagi siswa sekolah. Namun, pada akhirnya pejuang anti-korupsi seperti Ahok akan berada di persimpangan jalan, di mana mengumbar emosi sudah tidak cukup lagi untuk melawan kejahatan.

Jalur penegakan hukum yang tajam setajam-tajamnya terhadap tikus-tikus yang merampok uang negara harus dilakukan. Contohnya, Eliot Ness beserta aparat harus berperang dengan geng Al-Capone di jalan-jalan kota Chicago. Di Hongkong, KPKnya harus berperang di jalan dengan para gangster pendukung koruptor. Berperang dalam arti menggunakan senjata api, bukan sekadar berdebat atau berwacana.

Presiden Joko Widodo juga mendapat sorotan karena kebijakannya terkait KPK. Revisi UU KPK sekarang masih ditunda, tapi memang terkesan ingin memperkuat koruptor. Absennya pasal penyadapan di UU KPK hanya akan memandulkan institusi anti-rasuah tersebut. Mandulnya KPK akan memandulkan pendidikan anti-korupsi di negara ini juga, sehingga akan membuat siswa dan mahasiswa tidak punya panduan untuk menghadapi korupsi nantinya. Hal ini akan berefek sangat buruk bagi generasi penerus kita.

Pendidikan anti-korupsi tidak cukup berhenti pada wacana keteladanan pemimpin, karena hal itu hanya menggantungkan sekolah kepada figur belaka. Ketaatan kepada hukum yang bersifat sistemik jauh lebih urgen. Sebab, hal itu yang dapat memberi efek jera kepada koruptor dan mencegah korupsi itu terjadi. Salah satu perwujudan dari peraturan atau hukum adalah desain kurikulum itu sendiri, yang selalu diturunkan dari perundang-undangan yang ada.

Instrumen penelitian untuk desain, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum sudah tersedia dan tervalidasi dengan sangat baik. Maka, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memulai kajian komprehensif integrasi pendidikan anti-korupsi kepada kurikulum sekolah dan PT, untuk kemudian dimplementasikan dalam bentuk kebijakan yang bersifat nasional dan lintas sektoral.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.