Kamis, Maret 28, 2024

Pendekatan “Baru” terhadap Ayat-Ayat Jihad

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
omar
Omar Mateen, Muslim AS keturunan Afghanistan, yang diduga kepolisian sebagai pelaku penembakan di Orlando, Florida. REUTERS

Setiap kali terjadi tindakan terorisme yang dilakukan oleh seorang atau kelompok Muslim, seperti penembakan di Orlando, Florida, AS, yang menewaskan 49 orang, perhatian kembali tertuju pada ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an. Tentu saja anggapan ini menyesatkan karena teks kekerasan tidak dengan sendirinya menyebabkan perilaku kekerasan.

Namun demikian, perlu diakui, pembacaan kita tentang ayat-ayat jihad memang kerap memberi ruang bagi pikiran berorientasi kekerasan. Apakah kita mendukung atau menolak peran kitab suci memicu kekerasan, sebenarnya cara kita membaca ayat-ayat jihad memungkinkan teks keagamaan menjustifikasi perilaku terkutuk itu.

Yang saya maksud di sini ialah model bacaan yang melihat ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis. Seperti jamak diketahui, kaum Muslim umumnya memahami bahwa sebagian ayat turun di Mekkah dan sebagian lain di Madinah. Dari cara baca semacam itu, maka ambivalensi sikap al-Qur’an mulai terdeteksi.

Ambivalensi yang dimaksud ialah kontradiksi posisi etis al-Qur’an tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim memperlakukan “yang lain”, yang solusinya kerap membenarkan kekerasan.

Tipologi Ayat Jihad
Ditilik dari kronologi al-Qur’an, para ulama mengembangkan empat tipologi ayat-ayat jihad yang merefleksikan perkembangan gradual sikap al-Qur’an terhadap kelompok agama lain. Pertama, ayat-ayat yang tidak konfrontatif. Ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk kategori ini mengajak kaum Muslim supaya menahan diri dari sikap konfrontatif dan sebaliknya menekankan pentingnya dialog.

Misalnya, QS 15:94 menjelaskan strategi dakwah persuasif dengan cara menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan perseteruan dengan kaum musyrikun. Ayat selanjutnya dari surat yang sama bahkan memerintahkan kaum Muslim untuk tidak melayani atau melawan saat diolok-olok.

Namun, ayat yang paling banyak dikutip para da’i yang menggambarkan dakwah persuasif tersebut ialah QS 16:125: “Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan cara terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Kedua, ayat-ayat yang mengizinkan dilakukan perlawanan sebatas pembelaan diri. Banyak ayat yang secara eksplisit, misalnya, mengatakan, “Telah diizinkan [berperang] bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.” (QS 22:39). Perang sebagai bentuk bela-diri ini boleh juga dilakukan karena terjadi pengusiran dari kampung halaman (22:40).

Perlu segera dicatat, ayat-ayat dalam kategori ini bersifat ristriktif dalam pengertian bahwa walaupun peperangan diperbolehkan, tapi dilarang melampaui batas. Simaklah, misalnya, ayat ini, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (2:190).

Ketiga, kelompok ayat-ayat ini membolehkan perang bilamana dianggap perlu, bukan sekadar karena pembelaan diri. Banyak ayat jihad dalam al-Qur’an bisa digolongkan ke dalam tipe ini, yang mengizinkan kaum Muslim memulai peperangan dengan alasan tertentu.

Menarik dicatat, walaupun inisiatif perang bisa datang dari kaum Muslim, toh mereka harus mengikuti aturan yang berlaku yang diwariskan dari masa pra-Islam. Sejak sebelum datangnya Islam, orang-orang Arab mengenal waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang dianggap begitu sakral sehingga disepakati tidak boleh terjadi pertumpahan darah. Ketentuan tersebut dapat dibaca, misalnya, dalam ayat berikut: 2:191 dan 217.

Terakhir, ayat-ayat perang tanpa syarat. Dari lensa kronologi, fase terakhir dalam misi kenabiannya Muhammad melancarkan perang tanpa syarat untuk menundukkan Arabia di bawah kekuasaannya. QS 2:216 menegaskan bahwa perang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim, walaupun mereka membencinya.

Memang banyak ayat jihad ditujukan melawan kaum musyrik, tapi ahlul kitab juga masuk dalam radar ayat-ayat kategori keempat ini. QS 9:29 memerintahkan agar kaum ahlul kitab diperangi kecuali apabila mereka membayar jizyah dalam keadaan hina-dina.

Bacaan Alternatif
Problem pembacaan ayat-ayat jihad dari lensa kronologi segera muncul ke permukaan. Dari empat sikap al-Qur’an tersebut, manakah yang sekarang berlaku? Para ulama menggambarkan teori abrogasi (nasakh) untuk mengatasi kemusykilan tersebut. Mengikuti logika kronologi, mudah dipahami jika para ulama berpendapat bahwa ayat-ayat perang tanpa syarat dianggap telah menghapus hukum tiga kelompok ayat sebelumnya.

Kini menjadi jelas bahwa pembacaan al-Qur’an secara kronologis membuka ruang bagi berlakunya ayat-ayat jihad sebagai norma hubungan lintas agama. Memang, sebagian kalangan menolak implikasi dari teori abrograsi, tapi mereka lupa bahwa kesimpulan tersebut merupakan konsekuensi logis dari pembacaan kronologis.

Beberapa sarjana Muslim mencoba menawarkan argumen apologetik menolak teori abrograsi. Misalnya, mereka berargumen bahwa sejatinya ayat-ayat yang tampaknya mengedepankan toleransi dan dakwah persuasif perlu diposisikan sebagai norma, sementara ayat-ayat jihad hanya berlaku dalam situasi perang. Dengan kata lain, ayat-ayat toleransi seharusnya menyinari pembacaan kita terhadap ayat-ayat jihad.

Pandangan paling radikal dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Taha asal Sudan yang menjungkir-balikkan teori abrogasi ulama klasik. Alih-alih menjadikan wahyu yang turun belakangan sebagai menghapus yang terdahulu, Taha justru menganggap ayat-ayat Mekkah-lah yang bersifat universal dan berlaku umum.

Sementara itu, ayat-ayat Madinah dianggap partikularistik yang berlaku hanya dalam konteks tertentu. Sungguh tragis bahwa Taha akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya di tiang gantungan!

Bahkan Taha pun masih terjebak dalam kerangkeng pembacaan kronologis. Karena itu, diperlukan pembacaan “baru” sebagai alternatif dari kronologi yang sudah kadung membentuk pemahaman kita terhadap ayat-ayat jihad. Kata “baru” ditulis dalam tanda petik karena sebenarnya tidak sepenuhnya baru.

Dalam kesarjanaan mutakhir, pembacaan al-Qur’an secara kronologis telah banyak dipersoalkan. Sebab, secara historis, sebenarnya kita tidak dapat memastikan kronologi sejarah turunnya al-Qur’an itu.

Kolega saya, Reuven Firestone (Jihad: The Origin of Holy War in Islam), mengusulkan supaya ambivalensi ayat-ayat jihad tidak dibaca sebagai bentuk perkembangan gradual sikap al-Qur’an, melainkan merefleksikan posisi faksi-faksi tertentu pada zaman Nabi Muhammad. Sikap etis al-Qur’an yang cenderung bertentangan itu tak perlu lagi dibaca secara kronologis karena beragam posisi tersebut boleh jadi ada secara bersamaan.

Dengan kata lain, sikap faksi-faksi masyarakat di zaman Nabi terhadap perang terefleksi dalam al-Qur’an. Ada sebagian kelompok masyarakat yang mengedepankan sikap damai dan toleransi, tetapi ada juga yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mewujudkan aspirasinya.

Dari ayat-ayat tampak bahwa jumlah masyarakat yang enggan terlibat dalam perang cukup signifikan. Al-Qur’an menyebut mereka membenci perang, walaupun sudah diperintahkan. Sementara, sekelompok lain masih memperlihatkan kesetiaan mereka pada tradisi pra-Islam, termasuk soal perang pada bulan dan tempat tertentu yang dianggap suci (haram).

Semua faksi itu menyandarkan sikap mereka pada teks-teks otoritatif sebagai wahyu Ilahi. Dalam konteks ini, keterkaitan (interplay) antara teks dan audiens awalnya berlangsung secara dinamis. Artinya, apa yang terjadi sesungguhnya bukan pengaruh satu arah dari teks kepada audiensnya, melainkan dua arah sekaligus. Di satu sisi, teks mempengaruhi audiens, tapi di sisi lain audiens menyebabkan teks merekam sikap faksi-faksi di zamannya.

Kita perlu menyelami kompleksitas hubungan al-Qur’an dengan audiensnya. Agar kita juga paham bahwa kaitan ayat-ayat kekerasan dengan perilaku kekerasan saat ini bukanlah hubungan linear yang sederhana.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.