Belakangan beredar berita yang dilansir Tirto.Id tentang keluarga eks kombatan dan simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Suriah asal Indonesia yang mengaku ingin pulang. Mereka yang kini berada di pengungsian milik Pasukan Demokratik Suriah (SDF) setelah basis pertahanan terakhir ISIS di Baghouz luluh lantah, mengaku hidup dalam kondisi sengsara.
Menurut saya, pemerintah Indonesia harus serius menanggapi permintaan mereka. Pemerintah harus mengizinkan mereka kembali. Karena sejauh mereka belum terbukti melanggar Undang-undang kewarganegaraan, maka masih berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak kembali dan tinggal di negara ini.
Seseorang dapat dikatakan kehilangan status WNI apabila menjadi anggota militer negara lain dan menyatakan sumpah setia kepada negara lain. Sementara, dalam kasus ini belum ada bukti nyata demikian. Mereka adalah keluarga kombatan. Harus dibedakan dengan kombatan. Mereka juga belum terbukti menyatakan sumpah setia kepada negara lain atau dalam hal ini jika ISIS memang dianggap sebagai negara berdaulat.
Karena, kita tidak bisa mengeneralisasi dalam menilai niat mereka bergabung ke ISIS. Ada yang benar-benar militan, mereka itulah kombatan yang rela mati di sana dan tidak mau kembali. Ada pula yang berangkat karena tertipu, ketidaktahuan, paksaan, sampai alasan ekonomi semata. Golongan kedua ini tidak bisa dikatakan telah sukarela bersumpah setia pada ISIS, sehingga masih WNI.
Justru dalam kasus ini permintaan agar dapat kembali pulang mengindikasikan mereka masih mengakui Indonesia sebagai negaranya.
Menurut saya, sebagai bangsa besar dengan ideologi yang sudah teruji menang melawan serangkaian upaya makar di masa lalu, semestinya tidak perlu takut menerima mereka kembali. Lagi pula, kita mempunyai badan bernama Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) yang telah diperkuat fungsi dan wewenangnya dengan UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme.
Melalui BNPT, negara bisa mengevaluasi kembali mereka setelah tiba di Indonesia. Menanyakan secara langsung alasan mereka pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Seandainya ternyata mereka pergi lantaran paksaan atau hal lain yang tidak berhubungan dengan militansi ideologi ISIS, maka bisa dilakukan upaya deradikalisasi guna memperkuat komitmen mereka pada Pancasila untuk kemudian mengembalikannya ke masyarakat seperti saat sebelum berangkat.
Sebaliknya, jika di antara mereka terbukti penganut militan ideologi ISIS dan kembali semata guna mengubah ideologi Pancasila atau melakukan tindakan teror, maka bisa diambil tindakan hukum kepada mereka sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kita sudah memiliki seluruh instrumennya dalam UU Pemberantasan Terorisme.
Jadi, poin yang ingin saya tekankan di sini adalah, pemerintah mesti merespons permintaan mereka secara konstitusional dan intelektual. Jangan baper duluan. Jangan mengedepankan prasangka buruk dan langsung menghakimi mereka sepihak. Mereka ini kan cuma ibu-ibu yang ingin membawa keluarganya pulang.
Saya kira pemerintah harusnya lebih mengkhawatirkan bahaya persebaran ideologi komunisme ketimbang para WNI keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS. Komunisme jelas menjadi ideologi terlarang di negeri ini sesuai dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Kenyataannya, meskipun penyebaran ideologi komunisme telah dilarang, tapi penganutnya kini semakin banyak. Sampai jutaan. Mereka semua pun bebas-bebas saja menyebarkan ideologinya di ruang publik tanpa mendapat tindakan dari pemerintah. Berbeda dengan umat Islam yang sedikit bersuara membela agamanya langsung dicap radikal, teroris.
Padahal, yang terbukti telah melakukan dua kali upaya pemberontakan di negeri ini dan mengakibatkan banyak warga jadi korban adalah para penganut ideologi komunisme. Bukan umat Islam yang justru menerima ideologi Pancasila.
Pertanyaannya, kenapa pemerintah tidak gelisah dengan hal itu? Apa jangan-jangan itu masuk bagian agenda mereka? Ini harus dijawab oleh pemerintahan saat ini.
Sekali lagi, jangan khawatir terhadap sesuatu yang sebenarnya masih ada dalam jangkauan kita untuk menanganginya. Sementara ada sesuatu yang benar-benar terlarang dan hadir dalam jumlah jutaan tidak dipersoalkan. Saya kira ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah.