Jumat, Maret 29, 2024

Pembolehan Poligami Bagi PNS Meminggirkan Perempuan

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Salah satu harapan memilih Joko Widodo sebagai presiden untuk periode 2019-2024 adalah adanya peningkatan hak-hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dukungan kaum perempuan sangat signifikan dalam memenangkan Jokowi.

Namun, mengapa Tjahjo Kumolo mengeluarkan pernyataan yang mengagetkan soal dibolehkannya Aparatus Sipil Negara untuk melakukan poligami asalkan bukan dengan sesama ASN? Bagaimana implikasi lanjutnya jika si ASN memiliki istri lebih dari satu misalnya soal tunjangan keluarga dan fasilitas yang lain apakah istri-istri dan anak-anak semua mendapatkannya?

Pernyataan Thahjo di atas ditanggapi oleh Arief Puyono dari Partai Gerindra dengan menyurati presiden Jokowi untuk mencabut PP. No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Sipil. Alasanya, PP ini lebih melegitimasi penindasan kaum perempuan dengan ayat-ayat poligaminya. Demikian argumen Arief Puyono.

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritasnya Muslim, persoalan poligami ini memang selalu menjadi diskusi publik karena di dalam Islam persoalan poligami itu diperbolehkan. Bagi kalangan perempuan yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan, poligami dianggap sebagai bentuk obyektifikasi perempuan, menjadikan perempuan sebagai sasaran ketidakadilan.

Catatan saya kali ini akan mengulas bagaimana sesungguhnya persoalan poligami itu didiskusikan di dalam literatur Islam baik klasik maupun modern dari masa ke masa. Ayat al-Qur’an yang biasanya dirujuk sebagai dasar kebolehan laki-laki Muslim untuk poligami sampai batas 4 istri adalah surat al-Nisa’: 3, “wan kihu ma taba lakum minan nisa’i matsna wu sulatsa wa ruba, fa in khiftum alla ta’dilu fa wahidah au ma malakat aimanukum.”

Mayoritas ulama klasik dalam pelbagai argumentasinya rata-rata menyatakan kebolehan bagi poligami. Poligami itu boleh, asal didasarkan pada keadilan. Poligami di dalam Islam itu sesungguhnya revolusi besar dalam penghargaan kaum perempuan, karena sejak Rasulullah ada pembatasan 4 dari tak terbatas.

Tafsir berbeda soal poligami dari cara penfasiran para ulama masa lalu mulai muncul pada abas 19 M. Tafsir yang berbeda itu dikemukakan oleh al-Imam Muhammad Abduh. Beliau adalah tokoh pembaharu Islam terbesar sepanjang zaman. Lahir di Mesir dan belajar agama sejak dini, Abduh adalah tokoh pergerakan dunia Islam Bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani.

Jika al-Afghani adalah pembuka pintu tajdid, melakukan perlawanan atas kolonialisme, maka Abduh adalah penjelas gerakan tajdid ini. Abduh menyerukan “tahrir al-aql” (pembebasan nalar) dan “tajdid al-dini al-islami” (pembaharuan yang bersifat keagamaan).

Apa yang dipahami oleh Abduh tentang ayat poligami di atas? Al-Imam Muhammad Abduh mengemukakan beberapa pokok pikiran.

Pertama, poligami itu bukan hal yang hanya ditemui di dunia Timur (Arab dan sebagainya), namun juga ditemui di dunia Barat. Raja-raja Eropa zaman dulu banyak yang mempraktikkan poligami.

Kedua, sejarah kemunculan sistem perkawinan poligami ini sangat terkait jumlah perempuan yang semakin meningkat dan jumlah laki-laki yang semakin menurun karena perang.

Ketiga, sistem poligami di dalam dunia Islam sebenarnya sistem yang berbeda dengan dunia pra-Islam dimana poligami di dalam Islam itu dibatasi. Ini anti tesis dunia-pra Islam Arab dimana poligami dibolehkan tanpa batas yang ditentukan (fa laqad kana al-ta’addud mubahan duna haddin mahdudin). Batas yang ditawarkan oleh Islam adalah empat yang itu merupakan sebuah lompatan besar dari ketidakadabatasan.

Keempat, poligami dimaksudkan oleh ayat di atas sebagai upaya untuk memperingatkan dari perbuatan dzalim. Banyak orang pada masa lalu yang menjadi pengasuh anak-anak yatim untuk menikahi anak-anak yatim tersebut karena ingin menguasai harta mereka. Karenanya, al-Qur’an mengingat maka jika mereka mengawini anak yatim maka mereka harus adil.

Kelima, poligami mensyaratkan keterwujudan keadilan yang mutlak (tahaqqaqul adli al-mutlak). Jika diduga tidak mampu mewujudkan keadilan yang mutlak maka monogami saja. Imam Muhammad Abduh di sini menggunakan bahasa diduga artinya belum dilaksanakan. Ada perasaan bahwa kita tidak bisa berbuat adil saja sudah tidak boleh melakukan poligami. Keadilan di ini yang dimaksud bukan keadilan yang bersifat bendawi saja namun keadilan yang bersifat maknawi –rasa cinta.

Karenanya, Abduh pernah ditanya, “hal yajuzu man’u al-ta’addud?” Jawaban Syaikh Muhammad Abduh menyatakan: “na’am.” Alasannya adalah keadilan mutlak di ini itu syarat wajib yang harus terpenuhi dalam poligami dan mewujudkan keadilan itu hal yang harus ada. Di sini Abduh berani melarang poligami.

Berdasarkan pemikiran Abduh di atas, prinsip perkawinan yang dikehendaki oleh al-Nisa’ ayat 3 di atas adalah monogami. Tidak hanya Muhammad Abduh, Thahir al-Haddad, seorang mujaddid dari Tunisia juga memiliki pemikiran yang sama dengan Abduh.

Dalam kitabnya, Imra’atuna fi al-Syariah wa al-mujtama’ (1930) menyatakan jika poligami tidak memiliki dasar di dalam Islam. Dia menganjurkan bahwa poligami zaman sekarang sudah waktunya dihilangkan. Bahkan pemikiran Thahir al-Haddad inilah yang sekarang ini menjadi dasar pemikiran mengapa di dalam hukum Tunisia, poligami itu tidak diperbolehkan.

Nasr Hamid Zayd dalam kitabnya Dawa’ir al-khauf berargumen jika pelarangan poligami itu memiliki kedudukan yang sama dengan pelarangan perbudakan. Jika zaman sekarang mengawini budak itu dilarang, maka mengawini lebih dari satu istri juga dilarang karena keduanya disebut dalam ayat yang sama, “wa ankihu ma taba lakum minan nisa’ matsna wa sulatsa wa ruba’ fa in khiftum alla ta’dilu fawa khidatan au ma malakat aymanukum.”

Sebagai catatan, negara Tunisia yang memiliki kedalam keislaman yang lebih tinggi dari Indonesia mengambil kebijakan bahwa poligami tidak diperbolehkan, sementara Indonesia masih membuka bahkan membolehkan poligami bagi ASNnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Tjahjo. Nampaknya, cara pandang yang digunakan oleh rezim ini adalah cara pandang yang mementingkan laki-laki.

Bagaimana Pak Jokowi, apakah anda setuju dengan pernyataan menteri bapak? Jika bapak setuju, mungkin bapak akan mendapat apresiasi dari ASN yang memang sudah lama ingin memiliki istri lebih dari satu, namun yang pasti pendukung Bapak yang lebih banyak lagi akan kecewa.

Terkait

Catatan Syafiq Hasyim

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.