Simfoni 9 adalah simfoni terakhir Ludwig van Beethoven yang selesai digubah pada tahun 1824. Padahal simfoni sepanjang 75 menit itu dituntaskan pada saat Beethoven telah menjadi tuli sepenuhnya. Itu artinya, simfoni yang menjadi mahakarya dunia itu dapat dinikmati oleh para pendengar musik klasik, tetapi tidak oleh sang maestronya sendiri. Dan, penting untuk dicatat bahwa mahakaryanya itu sama sekali tidak membuat Beethoven mendadak kaya raya alias menjadi jutawan, melainkan tetap miskin dan menanggung banyak derita.
Lantas, bagaimanakah sebuah mahakarya dapat tercipta di tengah keterbatasan sang maestro yang dalam hal ini tidak dapat mendengar sama sekali? Pelajaran apa yang dapat diambil dari karya penciptaan sedahsyat itu, khususnya saat pandemi masih membatasi sendi-sendi kehidupan di masa kini?
Bukan kebetulan bahwa bakat atau talenta musik dari Beethoven memang sungguh unik. Kemampuannya untuk mengolah rasa begitu menakjubkan dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dengan mengawali karir sebagai pianis, Beethoven mampu menunjukkan bahwa musik bukan sekadar penghiburan tanpa makna.
Maka, dengan ketekunan dan kedisiplinan yang luar biasa, Beethoven membuktikan bahwa dengan dan bersama nada, irama, serta birama dalam musik dapat menghadirkan tarian jiwa yang menampilkan keharmonisan raga dalam hidup sehari-hari. Itulah mengapa ketika menjadi konduktor atau pemimpin orkestra, Beethoven seperti menyajikan sebuah tarian dari gerak-gerik tangan dan seluruh tubuhnya yang begitu energik, namun syahdu. Dengan kemampuan itulah, Beethoven mampu mengorkestrasi para pemain dan pendengar mahakarya musik klasiknya secara dialogis.
Meski tanpa indera pendengaran sama sekali, mahakaryanya yang hingga saat ini masih kerap dipertunjukkan telah menggugah dunia musik global bahwa rasa yang bersumber dari hati adalah oase jiwa yang tak pernah kering. Dan tepat pada titik inilah, musik yang merupakan perpaduan antara bunyi dan suara adalah setara dengan satunya antara kata dan perbuatan. Jadi, perpaduan dan kesatuan ini adalah kunci dalam mengolah rasa yang tidak hanya sekadar dipelajari, namun juga ditekuni dalam dinamika jatuh-bangun yang tidak hanya sekali, tetapi justru berkali-kali. Masuk akal jika Beethoven yang tuli justru dapat mendengar dengan baik dan mempersembahkan mahakarya musik klasiknya untuk keharmonisan hidup bersama.
Senada dengan Beethoven, sastrawan Pramoedya Ananta Toer (PAT) yang juga mengalami ketulian justru mampu menciptakan Tetralogi Pulau Buru yang terkenal di seluruh dunia, yaitu Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Seperti ditunjukkan oleh Rudolf Mrazek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happy Land. Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (YOI, 2006), bahwa mahakarya sastra itu sempat dilarang di masa rezim militer Orde Baru dan sempat dikandidatkan untuk mendapatkan penghargaan nobel yang bergengsi itu.
Ketulian PAT yang diakibatkan oleh siksaan selama menjadi tahanan politik Orde Baru tidak membuatnya patah semangat, tetapi justru semakin menggugah rasa hatinya untuk tetap berkarya di tengah keterbatasan. Dengan “menulikan”, atau lebih tepatnya mengabaikan, segala yang telah membuatnya hancur berantakan, PAT justru mampu mengolah daya cipta, karsa, dan rasanya menjadi sebuah mahakarya sastra. Mahakarya yang mengisahkan bagaimana sebuah bangsa berjuang menemukan identitasnya yang tidak sekadar puas bermental pribumi atau inlander, melainkan merdeka sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjarifoeddin.
Dari kedua sosok di atas, tampak bahwa keterbatasan fisik dalam bentuk ketulian tidak menyurutkan langkah untuk tetap berkarya. Karya yang justru mampu menjadi mahakarya itu begitu dihargai dan dihormati oleh setiap bangsa di seluruh dunia. Buktinya, Simfoni 9 Beethoven masih tetap dimainkan dalam setiap orkestra dan tetralogi Burunya PAT telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa. Inilah mahakarya yang mampu melampaui keterbatasan dan layak untuk dijadikan pelajaran dalam membangun hidup bersama. Paling tidak ada dua pelajaran penting yang dapat diambil dari padanya.
Pertama, terkait dengan niat yang menjadi landasan dasar dari terciptanya sebuah mahakarya. Niat yang menjadi bahan bakar utama untuk mengembangkan segala talenta atau bakat dengan tekun dan semangat pantang surut langkah itu telah membentuk kepribadian yang tidak lagi takut melampaui batas.
Kepribadian seperti itu setara dengan para pejuang belia di masa Revolusi 1945-1949 yang dalam bukunya Benedict Anderson berjudul Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Marjin Kiri, 2018) ditampilkan pada sosok para santri atau anak-anak putus sekolah berumur belasan tahun yang tidak takut dengan apapun atau siapapun. Tak heran jika para pemoeda itu sungguh rela mengorbankan nyawanya tanpa pamrih demi membela dan mempertahankan kedaulatan bangsanya yang sebelumnya belum pernah dibayangkan. Dengan landasan niat yang tulus dan ikhlas itulah, segala rintangan dan tantangan berani dihadapi, bahkan dilampaui, meski nyawa adalah taruhannya.
Kedua, perihal kesadaran yang menjadi dering peringatan kritis bagi setiap pribadi untuk selalu jeli dan waspada terhadap segala perubahan dan perkembangan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kesadaran itu, masuk akal jika selama masa pembuangan di Pulau Buru, PAT dapat menjalani kehidupannya tanpa beban, bahkan masih mampu menciptakan sebuah mahakarya dengan dukungan dari sesama tapol di Pulau Buru. Contohnya, untuk mendapatkan kertas, salah seorang tapol membuatnya dari kertas semen, dan untuk memperoleh alat-alat tulis, telur-telur ayam hutan dijadikan alat barter dengan para petugas keamanan. Dengan bahan-bahan itulah, PAT mampu menghadirkan mahakarya yang tak ternilai harganya dan berdampak di luar batas seperti ditunjukkan Beethoven melalui Simfoni 9.
Maka, di tengah pandemi yang semakin tidak menentu ini, pelajaran hidup di luar batas dari dua mahakarya di atas menjadi catatan berharga yang sayang sekali jika diabaikan. Sebab dari sanalah pembangunan karakter sebagai bangsa yang bermental tangguh dan berdaya tahan luar biasa dapat dikerjakan. Tentu, untuk dapat mewujudkannya, diperlukan proses belajar yang sekali jadi alias instan belaka. Tetap dibutuhkan langkah demi langkah untuk menciptakan karya, apalagi mahakarya, yang tidak mudah usang dan dibuang di tengah zaman yang semakin menggelisahkan ini.