Stuntman atau pemeran pengganti dalam pembukaan Asian Games, ibadah haji yang diwarnai gerakan politik #2019GantiPresiden, dan (tragedi) penolakan kehadiran Neno Warisman di beberapa tempat, adalah tiga peristiwa politik yang belakangan ini menjadi trending topic di berbagai media. Ketiganya patut kita cermati dan ambil pelajaran.
Aksi Presiden Joko Widodo dalam scene film pendek dengan mengendarai motor yang atraktif untuk mengawali pembukaan Asian Games mengundang decak kagum bukan hanya dari para pendukungnya, tapi juga dari masyarakat yang “netral” termasuk dari para tamu dari mancanegara –sebagaimana yang tergambar dalam liputan media, termasuk media asing.
Tapi, di mata para pembencinya (para oposan), Jokwi dianggap telah melakukan tiga kesalahan besar: pertama, melakukan penipuan karena berakting dengan pemeran pengganti (stuntman); kedua, memanfaatkan pembukaan Asian Games untuk panggung pencitraan (kampanye); dan ketiga, karena stuntman yang disewanya berkebangsaan asing, maka Jokowi dianggap benar-benar pro-asing!
Pembukaan Asian Games merupakan panggung hiburan yang berisi ragam kreativitas anak negeri. Jika untuk adegan yang membahayakan ada yang mengecamnya karena menggunakan pemeran pengganti, apalagi untuk seorang presiden, mungkin karena yang bersangkutan kurang paham dunia hiburan.
Pemeran pengganti untuk tindakan yang membahayakan adalah hal yang lumrah, bahkan wajib. Bintang-bintang besar di panggung hiburan seperti film atau yang sejenisnya sudah biasa memanfaatkan pemeran pengganti yang profesional untuk adegan-adegan ekstrem yang membahayakan.
Mungkin ada yang masih ingat dengan cerita nabi Muhammad SAW pada saat diancam mau dibunuh oleh musuh-musuhnya. Untuk mengecoh para pembunuh, Nabi meminta agar sepupunya, Ali Bin Abi Thalib, menjadi stuntman yang menempati tempat tidurnya sehingga beliau selamat dari ancaman pembunuhan.
Juga tentang ibadah kurban pada setiap Idul Adha, yang berawal dari kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan Allah (melalui tiga kali mimpi) untuk menyembelih anak yang disayanginya, Nabi Ismail AS, sebagai tanda kesetiaan dan ketaatan pada Allah. Apa yang terjadi seandainya Allah tidak menjadikan kambing sebagai pemeran pengganti? Nabi Ismail akan mati di tangan ayahnya sendiri.
Jadi, pemeran pengganti itu, bukan hanya terjadi dalam adegan film atau aksi sulap ekstrem yang dilakukan Demian Aditya, bahkan para Nabi pun ada yang sudah merasakan manfaat adanya pemeran pengganti. Kalau ada cerita tindakan membahayakan yang tidak memakai pemeran pengganti, itulah kisah Nabi Ibrahim yang dihukum bakar oleh Raja Namrud. Tapi yang diganti Tuhan bukan sosok Ibrahimnya, melainkan zat apinya, dari panas diganti dingin sehingga Ibrahim tetap selamat.
Lalu tentang ibadah haji yang disertai gerakan politik #2019GantiPresiden. Ya, haji dan politik memang sangat erat kaitannya. Pada tahun ke-7 Hijriyah, Nabi Muhammad dan para sahabatnya pernah menunaikan haji dengan penuh semangat (lari-lari kecil) padahal mereka dalam kondisi kelelahan. Itulah cara haji Nabi untuk menunjukkan kekuatan bagi lawan-lawannya. Ini jelas haji politik. Apakah hajinya sah? Tentu saja, karena yang melakukan adalah Nabi yang senantiasa berada dalam bimbingan-Nya.
Menurut Aqib Suminto (1991), pada tahun 1927, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi haji untuk lebih memperketat pengawasan terhadap jemaah haji yang diikuti pula dengan surat edaran pemerintah tentang pengketatan paspor jemaah dan pengawasan ketat terhadap mereka yang baru kembali dari tanah suci. Mengapa demikian? Karena haji dianggap sebagai sarana yang paling efektif untuk menggalang kekuatan politik untuk melawan penjajahan.
Mungkin, dengan menyertakan gerakan politik #2019GantiPresiden, ada yang berharap hajinya seperti yang dilakukan Nabi, atau seperti haji para pemimpin negeri ini di jaman kolonial. Wallahu ‘alam! Allah yang maha mengetahui apa maksud dari gerakan haji politik dari para oposan Presiden Jokowi ini. Yang pasti, mereka ini memang sangat gemar menjadikan agama sebagai alat politik. Beragama untuk politik, bukan politik untuk agama.
Kemudian, mengapa ada orang-orang yang berusaha menolak kehadiran Neno Warisman untuk mendeklarasikan gerakan #2019GantiPresiden? Bagi para pendukung Neno, mereka dianggap barbar, tidak paham arti kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Bisa jadi. Tapi bagaimana jika pertanyaannya dibalik, mengapa tidak boleh menolak gerakan politik?
Pada hakikatnya, menolak gerakan politik juga bagian dari hak berpolitik warga negara. Apalagi menolak gerakan yang disertai ujaran-ujaran kebencian. Aparat keamanan (kepolisian) punya alasan yang kuat untuk mencegah gerakan ini karena dianggap potensial menimbulkan kericuhan atau bahkan kerusuhan.
Karena proses Pemilu sudah dimulai, seharusnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga punya kewajiban untuk melarang gerakan ini karena jelas-jelas bermuatan materi kampanye dini.
Setelah kita cermati, lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari ketiga peristiwa politik ini?
Pertama, sungguh benar pepatah Arab mengatakan, “wa ainur-ridha an kulli aibin kalilah, kamaa anna aina as-sukhti tubdi al-masawiya” yang artinya kira-kira, “mata yang diliputi rasa cinta akan melihat kebaikan dalam setiap keburukan, seperti juga mata yang diliputi rasa benci akan melihat keburukan pada setiap kebaikan.” Seburuk apa pun kondisi psikologis seorang calon presiden akan tetap baik di mata para pemujanya. Bahkan tidak pernah shalat pun tetap dianggap saleh. Sebaliknya, sebagus apa pun hasil kerja presiden, akan buruk semua di mata para pembencinya.
Kedua, dalam menghadapi Pemilu, setiap kelompok pasti akan berupaya meraih kemenangan. Bagaimana caranya? Ada yang melakukannya dengan elegan, ada yang tidak. Ada yang menempuh cara-cara yang rasional, ada yang irasional atau bahkan seperti kehilangan akal. Silakan Anda menilai, termasuk yang manakah ketiga gerakan itu.
Ketiga, pada setiap kompetisi, selalu ada pemenang dan pecundang. Para pemenang akan fokus pada bagaimana memacu diri untuk meraih prestasi sehingga akan mudah sampai pada titik yang dituju, sementara para pecundang biasanya lebih fokus mencari kelemahan-kelemahan lawan sehingga melupakan kelemahan-kelemahan dirinya.
Akhirnya, semua terpulang pada diri kita masing-masing, mau bersikap rasional dan objektif ataukah irasional dan subjektif. Kita bebas menentukan pilihan, akan berada di barisan para pemenang atau pecundang.