Pada masa pandemi COVID-19, akses transportasi publik menjadi kunci penting bagi mobilitas. Pemegang kebijakan melakukan pembatasan akses untuk mengurangi paparan virus. Walaupun demikian, tidak semua kebijakan betul-betul berpihak pada semua kalangan. Penggunaan aplikasi PeduliLindungi menjadi salah satu batu ganjalan yang membatasi aksesibilitas transportasi publik.
Kewajiban untuk menunjukkan status vaksinasi lewat aplikasi ponsel bernama PeduliLindungi jelas menyulitkan bagi sebagian orang. Tidak semua orang memiliki ponsel pintar. Banyak lapisan masyarakat tidak cukup mujur untuk memiliki gawai semacam itu. Harga ponsel mungkin bagi kaum berada tidak signifikan, namun bagi kelompok ekonomi tingkat rendah, itu bisa jadi uang makan mereka selama sepekan.
Di samping itu, mempunyai ponsel pintar pun tidak menjamin orang piawai dalam menggunakannya. Tidak sedikit orang yang masih gagap dalam menggunakan gawai. Mereka saja masih kikuk untuk menggunakan aplikasi bawaan apalagi aplikasi baru, seperti PeduliLindungi. Jangan bayangkan mereka lihai menggunakan ponsel seperti kita yang sudah terbiasa. Ini terjadi pada banyak orang termasuk lansia, kaum disabilitas, dan kelompok ekonomi rendah.
Permasalahan akses PeduliLindungi dalam konteks transportasi publik pun beragam. Seorang pria paruh baya di Bogor ditolak untuk masuk ke stasiun KRL karena tak punya ponsel. Ia tidak bisa menunjukkan status vaksinasi lewat PeduliLindungi. Walaupun petugas akhirnya memperbolehkan masuk pria tua tersebut, kejadian seperti ini menyedihkan. Coba bayangkan betapa beratnya bagi pria tua tersebut hanya untuk melakukan perjalanan.
Pada kondisi yang berbeda, pria tua tersebut bisa saja gagal untuk bermobilitas andai ia kurang beruntung. Nasib pria dan banyak orang lain sungguh apes jika harus bergantung pada satu aplikasi untuk bertransportasi. Ketidakberuntungan ini biasanya berasal dari fakta bahwa orang-orang ini tidak berlatar belakang ekonomi yang mapan. Jika mereka punya uang, mereka tentu tidak akan naik transportasi publik, bukan?
Kasus lain yang senada juga sempat terjadi. Seorang perempuan di Jabodetabek sempat ditolak saat memasuki stasiun KRL karena gagal menunjukkan status vaksinasi. Setelah dicek, perempuan tersebut ternyata tidak memiliki kuota untuk mengakses aplikasi. Situasi ini tentu menyedihkan bagi wajah transportasi publik. Perempuan tersebut mungkin hanya ingin bekerja, namun ia dihardik kenyataan bahwa dia tidak bisa pergi ke tempat kerja.
Kita tentu bisa saja menyalahkan orang-orang seperti pria tua dan perempuan bernasib nahas tadi. Kita bisa saja berpikir mereka tidak sepatutnya tidak melek dan mampu dalam mengakses PeduliLindungi. Namun, anggapan semacam ini hanya akan memperlebar celah sosial antara berbagai kelas ekonomi. Tiap orang sepatutnya memiliki kesempatan yang setara dalam bertransportasi tanpa memandang status ekonomi.
Problem ini bahkan belum mencakup betapa sulitnya akses aplikasi tersebut dalam banyak kesempatan. Itu masalah lain yang sebenarnya cukup menyulitkan juga. Penumpang diharuskan bergerak cepat saat masuk dan keluar stasiun. Kesulitan mengakses PeduliLindungi akan menghambat sirkulasi penumpang. Ini akan lebih rentan terjadi pada orang-orang yang tidak terpapar tekonologi secara konstan, seperti masyarakat ekonomi rendah.
Kejadian yang mengasingkan kelompok ekonomi rendah dalam konteks transportasi semacam ini bukan pola yang baru. Beberapa tahun yang lalu, MRT Jakarta sedang melakukan peluncuran layanan mereka. Mereka membuka secara publik sebagai periode uji coba. Sejumlah warga dari berbagai latar belakang pun akhirnya berduyun-duyun untuk merasakan layanan kereta bawah tanah pertama di Indonesia.
Warga yang datang bukan hanya dari kelompok ekonomi mapan melainkan juga kelompok miskin. Beberapa di antaranya bahkan baru pertama kali merasakan kereta secanggih MRT Jakarta. Tak lama, sejumlah pihak mengkritik keberadaan kelompok ekonomi terbatas tersebut di tengah peluncuran MRT Jakarta. Mereka menyebut kaum tersebut tidak layak karena tidak berperilaku sepantasnya penumpang kereta modern, seperti duduk di lantai.
Kritik-kritik seperti itu tentu mengalienasi warga dengan ekonomi kelas bawah. Ini seakan mencitrakan secara gamblang bahwa transportasi publik hanya untuk kelompok ekonomi berkelas tinggi. Transportasi publik tidak boleh digunakan oleh kaum papa. Kesimpulan semacam ini tentu membuat miris bagi kita. Ini belum ditambah kekhawatiran yang ditimbulkan oleh aplikasi PeduliLindungi.
Diskriminasi terhadap kaum miskin semakin nyata pada masa pagebluk. Syarat-syarat administrasi membuat mobilitas kelompok ekonomi tingkat rendah terbatas. Surat-surat semacam Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP) tidak relevan dengan kehidupan mereka. Tidak semua orang memiliki atasan dalam pekerjaan mereka. Maka, aplikasi PeduliLindungi seharusnya bisa membantu menjawab masalah ini, bukan menambah problem.
Belakangan, syarat-syarat adminstrasi sudah dikondisikan agar lebih mudah. Kartu vaksinasi sekarang menjadi pegangan utama dalam transportasi. Hanya saja, ini tidak serta merta menjawab persoalan soal akses yang terbatas. Validasi status vaksinasi dilakukan lewat PeduliLindungi walaupun opsi kartu vaksinasi dalam bentuk cetak pun diperbolehkan. Bentuk cetak dari kartu vaksinasi tentu lebih memakan waktu bagi petugas pemeriksa.
Pada akhirnya, transportasi publik terasa semakin membatasi gerak orang-orang yang minim paparan teknologi. Kaum dengan tingkat ekonomi rendah tak punya banyak akses yang layak terhadap teknologi. Mereka tidak punya kesempatan yang setara untuk bepergian lewat transportasi publik. Secara tidak langsung, mereka dianggap sebagai kaum kampungan nan gaptek yang dilarang mengakses transportasi publik lewat PeduliLindungi.
Yang perlu kita sadari adalah pagebluk ini sudah menghantam kaum ekonomi tingkat rendah dengan keras. Terbatasnya akses transportasi publik hanya akan menghimpit hidup mereka yang sudah merana. Pemegang kebijakan perlu berpikir ulang bagaimana akses transportasi bisa seinklusif mungkin. Tidak ada lagi pengasingan melalui PeduliLindungi bagi orang-orang yang tak berprivilese untuk melakukan perjalanan lewat transportasi publik.