Kamis, Maret 28, 2024

Apa Kabar Pasal Penghinaan dalam Revisi UU ITE

Roni Saputra
Roni Saputra
Direktur LBH Pers Padang.
Terdakwa kasus penghinaan dan pencemaran nama baik warga Yogyakarta di media sosial, Florence Saulina Sihombing mendengarkan putusan hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa (31/3). Mahasiswa S2 UGM tersebut divonis hukuman 2 bulan penjara, masa percobaan selama 6 bulan serta denda sebesar Rp10 juta rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU ITE No 11/2008. ANTARA FOTO/Pradita Utama/sgd/ss/pd/15
Terdakwa kasus penghinaan dan pencemaran nama baik warga Yogyakarta di media sosial, Florence Saulina Sihombing, mendengarkan putusan hakim di PN Yogyakarta, Selasa (31/3/2015). Florence divonis hukuman 2 bulan penjara, masa percobaan 6 bulan serta denda Rp 10 juta karena melanggar pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU ITE No 11/2008. ANTARA FOTO/Pradita Utama

Hampir sebulan Komisi I DPR RI menyetujui untuk membahas revisi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun hingga saat ini tidak terdengar gegap gempita terkait dengan pembahasan revisi UU tersebut di DPR. Seolah revisi UU ini tenggelam oleh isu reklamasi Teluk Jakarta, pro-kontra Ahok, dan operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam tataran isu, revisi UU ITE ini memang tidak terlalu populer. Namun secara substansi revisi UU ITE merupakan bagian penting bagi Indonesia sebagai negara demokrasi. UU ITE sejatinya merupakan bentuk komitmen Indonesia melawan kejahatan di dunia maya (cybercrime), namun malah dimanfaatkan sebagai alat untuk membungkam kebebasan berekspresi di dunia maya.

Hal ini terjadi karena munculnya keinginan pembuat undang-undang untuk memasukkan semua tindak pidana tradisional yang terjadi melalui media komputer atau sistem komputer. Salah satu perbuatan itu adalah penghinaan.

Pasal penghinaan dalam UU ITE adalah pasal yang paling sering digunakan dalam sejarah pemberantasan kejahatan siber di Indonesia di bawah rezim UU ITE. Selain itu, banyak pegiat media sosial yang harus berakhir di tangan polisi, bahkan beberapa di antaranya mendekam di balik jeruji penjara.

Berdasarkan hasil riset Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sejak tahun 2009 hingga 2015, terdapat 20 kasus yang diadili oleh pengadilan dengan dakwaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Terkait dengan penjatuhan pidana terhadap terdakwa penghinaan di internet, hasil penelitian ICJR ternyata menunjukkan bahwa meski Penuntut Umum sering menuntut hukuman penjara, tuntutan hukum penjara tersebut rata-rata hanya 5,1 bulan (dari ancaman maksimal 6 tahun), dan pengadilan menjatuhkan rata-rata hukuman penjara selama 3,7 bulan.

Fakta dari tuntutan dan putusan pengadilan di atas sebenarnya membuktikan bahwa penghinaan di dunia maya tidak berdampak luar biasa sebagaimana yang selama ini digambarkan oleh pemerintah atau politisi.

Kesengajaan proses legislasi dengan menempatkan penghinaan sebagai bagian dari kejahatan dunia maya sebenarnya menggambarkan kondisi riil dari pemerintah yang anti kritik. Padahal dari praktik hukum, pasal penghinaan dalam KUHP masih mampu menjangkau penghinaan berdimensi “penyebaran informasi melalui media elektronik” seperti kasus Lelly Burhanudin di Pengadilan Negeri Sorong (2012) karena telah mengirimkan pesan pendek (SMS) yang menghina dan kasus Syamsuddin S.Pd di Pengadilan Negeri Rengat (2012) dengan kasus yang sama.

Karena itu, penting untuk meninjau ulang keberadaan Pasal 27 ayat (3). Sebab, selain membuka ruang untuk menafsirkan penghinaan menurut kepentingan, Pasal 27 ayat (3) juga tidak mampu menjelaskan kepada publik bagian mana yang menjadi delik inti (bestanddeel delict) dari pasal itu, serta ketidakjelasan atas subjek hukum yang ingin dilindungi.

Sebagai bagian dari rumpun hukum Eropa kontinental, sebaiknya pembuat undang-undang perlu untuk melihat bagaimana pengaturan penghinaan di dunia maya dalam sistem hukum Belanda. Belanda tidak membedakan antara penghinaan tradisional dan penghinaan modern (di dunia maya). Hanya ada satu aturan yang mengatur delik penghinaan di Belanda, yaitu hanya di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).

Menurut Meiji, salah seorang profesor dari Universitas Amsterdam, ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejah 1978. Saat ini tuntutan pidana lebih banyak dilakukan terhadap orang atau kelompok orang yang menyebarkan kebencian atau diskriminasi. Biasanya hukuman yang diberikan adalah denda, bukan pidana pejara.

Berdasarkan pendapat Meiji di atas, setidaknya terdapat gambaran bahwa tidak ada halangan bagi KUHP Belanda untuk menjangkau penghinaan dalam dimensi apa pun. Selain itu, penerapan penghinaan tidak lagi dalam lingkup yang luas melainkan dipersempit dalam wilayah penyebaran kebencian dan perlakuan diskriminasi.

Dengan kata lain, penggunaan pasal penghinaan tidak untuk pembatasan kebebasan berekspresi, tetapi untuk menghambat penyebaran kebencian dan diskriminasi. Sebagai bagian dari negara modern, sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan untuk menghapus delik penghinaan sebagai bagian dari kejahatan dunia maya. Cukuplah penghinaan diatur dalam KUHP, apalagi saat ini dalam politik kodifikasi, RUU KUHP juga tidak menempatkan penghinaan sebagai bagian dari kejahatan siber.

Asumsi bahwa penghinaan memiliki dampak luar bisa dapat dipandang sebagai bentuk ketakutan yang kurang wajar. Hal ini didasari bahwa penghinaan berakibat pada tercemarnya nama baik jika penghinaan itu terjadi di media sosial, maka cara yang terbaik untuk memulihkan nama baik adalah dengan menghapus sumber dari penghinaan itu dan disertai dengan permintaan maaf. Apalagi saat ini media sosial mempunyai mekanisme penghapusan itu. Apabila penghinaan itu menimbulkan kerugian, maka pembayaran atas kerugian harus dilakukan.

Untuk melindungi hak reputasi dan menjamin pelaksanaan kebebasan berekspresi, maka dalam revisi UU ITE proses dekriminalisasi terhadap penghinaan di internet harus dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya ini sejalan dengan politik kodifikasi hukum pidana di Indonesia.

Selain itu, penerapan sanksi pemidanaan berupa pemenjaraan terhadap penghinaan perlu dipikirkan untuk dihapuskan dan diganti dengan jenis pemidanaan lain berupa pemulihan nama baik. Ini bisa dilakukan melalui pola ganti rugi dan atau menjalankan pidana kerja sosial, dengan mengedepankan konsep keseimbangan dalam pemidanaan.

Hal ini setidaknya didasari oleh pemikiran bahwa tujuan pemidanaan penghinaan adalah memulihkan nama baik yang tercemar, kerugian yang dialami korban akibat penghinaan dapat diganti oleh pelaku, dan memberikan kesempatan yang luas bagi pelaku untuk dapat memperbaiki perilakunya ke arah yang lebih baik.

Dengan demikian, pelaku dapat melanjutkan kehidupannya sehari-hari tanpa harus kehilangan kemerdekaan untuk melaksanakan pekerjaan. Biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membina pelaku jauh lebih murah dibandingkan pelaku harus dipenjara. Yang tak kalah penting, beban lembaga pemasyarakatan yang overload dapat dikurangi dengan tidak perlu melakukan penahanan terhadap pelaku penghinaan.

Roni Saputra
Roni Saputra
Direktur LBH Pers Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.