Setelah pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak beberapa hari lalu, topik partisipasi pemilih masih menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Mengapa target partisipasi memilih dalam pilkada 2015 di banyak daerah sulit ditingkatkan?
Ini wajar ditanyakan mengingat atmosfir pilkada serentak tahun 2015 justru tidak terasa suasananya. Dibandingkan pelaksanaan pilkada sebelum ini, suasana “pesta demokrasi” begitu terasa: penuh dengan umbul-umbul, baliho, poster, stiker dan literatur drop yang bertebaran. Justru pilkada 2015 terasa biasa-biasa saja kalau tidak mau dikatakan dingin dan sunyi dari keramaian sebuah pesta demokrasi. Hal ini tentu mengurangi daya tarik pilkada itu sendiri di mata masyarakat sebagai pemilih.
Dalam konsepnya, pilkada adalah manifestasi suara publik dalam menunjukkan dukungannya kepada calon kepala daerah. Dukungan masyarakat kepada pasangan calon kepala daerah dengan suara terbanyak menjadi dasar penetapan pemenang dalam pilkada. Oleh karenanya, calon kepala daerah akan berlomba mendapat dukungan sebanyak mungkin untuk menjadi pemenang.
Syarat untuk mendapat dukungan yang banyak tentu berhubungan dengan partisipasi pemilih. Semakin tinggi angka partisipasi pemilih, maka semakin banyak pula dukungan kepada setiap pasangan calon. Dengan demikian, legitimasi kepala daerah yang mendapat suara terbanyak memerintah akan menjadi kuat.
Soal partisipasi pemilih dalam pilkada memang menjadi perhatian khusus bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia. Apalagi KPU sudah menetapkan target partisipasi pemilih yang cukup tinggi dalam pilkada serentak kali ini, yaitu sebesar 77,5 persen. Tidak mudah bagi KPU di daerah mewujudkan angka partisipasi pemilih sebesar itu. Apalagi dengan suasana kampanye yang sepi dengan informasi serta ajakan kepada pemilih merupakan kendala serius bagi KPU mencapai angka tersebut.
Memang, ada yang berbeda dengan pelaksanaan pilkada serentak kali ini. Kampanye sengaja dirancang tidak lagi gegap gempita dan semarak dengan teriakan dan yel-yel massa pendukung sebagaimana kampaye pilkada sebelumnya. Sesuai dengan Undang-Undang, pemilihan kepala daerah kampanye kali ini dirancang lebih tertib dan sederhana dengan mengedepankan aspek dialogis dengan masyarakat.
Walau tujuan dari kampanye seperti ini adalah untuk membiasakan calon kepala daerah dan masyarakatnya berinteraksi langsung dalam suasana dialog, tidak semua calon kepala daerah siap melaksanakan kampanye dengan metode dialog terbuka. Kecenderungan ini adalah dampak dari metode pencalonan yang semuanya ditentukan oleh partai politik.
Jamak diketahui publik bahwa dengan proses pencalonan kepala daerah yang didominasi oleh partai politik ini cenderung dilakukan secara tertutup. Tak jarang yang dipilih partai politik pada akhirnya adalah mereka yang memiliki modal banyak. Partai politik juga cenderung mengabaikan kemampuan personal dari calon. Akibatnya semangat dari metode kampanye dialog publik ini tidak sejalan dengan mekanisme rekrutmen calon kepala daerah yang didominasi partai.
Padahal jika model kampanye seperti ini dapat dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin terjalin kedekatan emosional pemilih dengan calon kepala daerahnya. Secara tidak langsung kedekatan emosional ini dapat mempengaruhi tingkat kehadiran mereka dalam pilkada. Sayangnya, cara kampanye seperti ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh tim kampanye calon kepala daerah.
Apalagi berdasarkan Peraturan KPU No.7 Tahun 2015 tentang kampanye pemilihan kepala daerah ini sudah mengatur penggunaan alat peraga kampanye bagi pasangan calon yang dibatasi dari segi jumlah, lokasi penempatan, dan materinya. Pengaturan ini jelas mempengaruhi suasana kampanye yang dirasakan saat ini. Padahal kampanye yang dilakukan pasangan calon menjadi faktor penarik bagi pemilih untuk bersedia datang menghadiri pilkada di hari pemilihan.
Tak sedikit masyarakat yang jauh dari pusat keramaian dan sumber informasi tidak mengetahui pasti siapa bakal calon kepala daerah yang akan mereka pilih. Ini adalah konsekuensi dari sedikitnya informasi yang diperoleh terkait dengan calon kepala daerah yang bertanding dalam pilkada. Padahal informasi tentang calon kepala daerah ini dapat diberikan melalui kampanye yang menjangkau semua segmentasi pemilih, khususnya di daerah pedesaaan. Terbatasnya metode kampanye yang bisa dilakukan oleh pasangan calon juga akan membatasi pengetahuan masyarakat tentang calon kepala daerah yang akan mereka pilih.
Oleh karenanya, tidak heran beberapa hari menjelang pelaksanaan pilkada masih banyak pemilih yang masih belum dapat menentukan pilihannya. Masih mengambangnya pilihan masyarakat ini tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Faktanya, banyak calon kepala daerah yang memang tidak mampu meyakinkan pemilih untuk memberikan suara kepadanya karena terbatasnya metode kampanye yang diatur oleh UU.
Akibatnya ini berdampak langsung pada keengganan pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) memberikan suara. Artinya, telah terjadi kecenderungan perubahan perilaku memilih dari pemilih yang mengambang (swing voter) kepada keputusan pemilih untuk tidak akan datang memilih (undecided voter) di hari pencoblosan. Jelas faktor ini juga akan berkontribusi pada rendahnya angka partisipasi pemilih.
Celakanya, banyak yang keliru memahami tingginya angka partisipasi pemilih sangat bergantung pada kerja KPU menyosialisasikan pilkada kepada masyarakat. Sesuai aturan yang ada, KPU jelas bertanggung jawab penuh keberhasilan setiap tahapan penyelenggaraan pilkada. Sementara pelaksanaan sosialisasi adalah bagian dari kegiatan KPU untuk melengkapi pelaksanaan tahapan yang harus diselenggarakannya.
Jika dicermati, peningkatan angka partisipasi pemilih ini seharusnya menjadi tanggung jawab mutlak partai politik di daerah. Karena partai politik memang menjadi aktor utama dalam pelaksanaan demokrasi. Namun, sayangnya, partai politik cenderung abai melaksanakan tanggung jawab ini. Faktanya, hampir tak ada partai politik yang melakukan sosialisasi pilkada secara khusus kepada konstituennya. Padahal sosialisasi pilkada ini sejalan dengan pelaksanaan fungsi partai politik melakukan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Jadi, dengan melihat kondisi tersebut, jangan heran kalau angka 77,5 persen sulit dicapai oleh KPU di daerah. Ini memang target yang sangat luar biasa dan menjadi prestasi sendiri bagi KPU di daerah jika bisa mewujudkannya. Kalaulah angka 77,5 persen ini bisa dicapai KPU, rasanya tidak berlebihan kalau kita meminta pemerintah dan masyarakat Indonesia memberi penghargaan khusus kepada KPU.