Di Inggris, ada satu ungkapan yang selalu diucapkan oleh keluarga kerajaan, yaitu perubahan. Slogan ini bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi sebuah janji untuk mengikuti perkembangan zaman. Janji ini sekarang diusung oleh Pangeran William, pewaris takhta Inggris, yang baru-baru ini melakukan wawancara dengan aktor Eugene Levy, yang disebut-sebut sebagai wawancara paling terbuka yang pernah ia lakukan.
Dalam momen yang santai, Pangeran William mengajak Eugene Levy berkeliling kastil dengan skuter, menunjukkan sisi dirinya yang lebih modern dan mudah didekati. Ia tidak ragu berbicara tentang pentingnya tradisi sambil menikmati segelas cider manis di pub lokal. Sikapnya yang bijaksana dan modern ini menunjukkan keseriusannya untuk membawa perubahan.
Namun, yang paling mengejutkan dari wawancara tersebut adalah pernyataannya yang blak-blakan: ia berjanji akan mengubah monarki ketika ia menjadi raja. Pernyataan ini sontak menarik perhatian publik.
Meski begitu, janji ini bukanlah hal baru. Ada kesan seperti mengulang sejarah. Kita pernah mendengar cerita yang sama ketika Raja Charles naik takhta. Pada saat itu, ia juga menjanjikan reformasi besar-besaran, termasuk keluarga kerajaan yang lebih ramping, lebih transparan, dan mengurangi kemegahan. Ia ingin upacara-upacara dibuat lebih sederhana, jumlah staf dipangkas, dan arak-arakan disesuaikan kembali agar lebih relevan dengan zaman.
Namun, seperti yang kita lihat, monarki masih tetap berkilau dengan kemewahan yang sama. Balcony di Istana Buckingham masih ramai, dan biaya yang ditanggung oleh pembayar pajak tidak berkurang. Maka, pertanyaan pun muncul: Apakah janji-janji perubahan ini benar-benar akan terealisasi, atau hanya retorika yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya?
Pada akhirnya, di balik janji-janji perubahan itu, kemegahan monarki tetap tidak tergoyahkan. Mahkota masih berkilau sama terangnya, dan balkon istana masih dipenuhi oleh anggota keluarga kerajaan yang melambaikan tangan kepada publik. Yang lebih penting, beban finansialnya tidak berkurang. Laporan menunjukkan bahwa keluarga kerajaan Inggris menelan biaya sekitar $686 juta dari pembayar pajak setiap tahun. Ini menimbulkan pertanyaan krusial: Jika reformasi adalah kata favorit mereka, apakah yang kita lihat saat ini benar-benar sebuah reformasi, atau hanya sebuah ilusi?
Inilah paradoks yang menarik dari monarki. Mereka menjual diri sebagai simbol yang tak lekang oleh waktu dan abadi, tetapi pada saat yang sama, mereka harus terus-menerus menunjukkan diri sebagai institusi yang relevan dan modern. Perumpamaannya mirip dengan sebuah smartphone, seperti iPhone, yang setiap tahun mengeluarkan versi baru yang tidak jauh berbeda dari versi sebelumnya. Jadi, jika perubahan benar-benar yang mereka inginkan, mengapa tidak mengambil langkah radikal? Mengapa tidak membongkar monarki sepenuhnya? Pertanyaan ini adalah hal yang tidak pernah dijawab secara langsung oleh siapa pun di dalam istana.
Namun, bagi banyak orang Inggris, monarki konstitusional adalah simbol yang tak tergantikan. Monarki berfungsi sebagai penopang stabilitas dalam sistem politik Inggris, mewujudkan kesinambungan yang kuat. Monarki adalah maskot nasional yang mempersatukan bangsa, kurang memecah belah daripada politisi dan lebih abadi daripada tim sepak bola.
Ada juga argumen emosional yang kuat. Meskipun masyarakat sering mengeluhkan biayanya yang fantastis, jutaan orang masih setia menonton siaran langsung saat keluarga kerajaan melambaikan tangan dari balkon. Momen-momen ini lebih dari sekadar tradisi; mereka adalah reality TV yang melibatkan seluruh bangsa. Ini menunjukkan bahwa monarki memiliki nilai yang melampaui logika finansial, sebuah ikatan emosional yang sulit dipecahkan.
Di balik semua tradisi dan citra modern, ada satu pertanyaan fundamental yang jarang dibahas: Monarki adalah institusi yang tidak dipilih. Meskipun monarki berada di pusat sistem demokrasi Inggris, ia tidak pernah harus bertanggung jawab secara demokratis. Pangeran William mungkin berbicara tentang memodernisasi mahkota, tetapi seberapa modern sistem ini jika posisi tertinggi di negara ini masih ditentukan oleh hak kelahiran?
Dan yang tak bisa diabaikan adalah masalah uang. Biaya monarki mencapai ratusan juta dolar setiap tahun. Para pembayar pajak menanggung biaya keamanan, pemeliharaan istana, dan gaji staf untuk sebuah keluarga yang mengklaim hanya sebagai simbol. Namun, mengapa sebuah simbol membutuhkan istana megah dan semua kemewahan itu?
Selain itu, Inggris hari ini adalah negara yang sangat berbeda dari 50 tahun yang lalu. Inggris adalah negara multikultural dan beragam. Gagasan tentang seorang pewaris mahkota yang secara otomatis duduk di atas rakyatnya terasa usang dan tidak sesuai dengan realitas saat ini.
Lalu, apa arti tradisi? Tradisi tidak bisa menjadi satu-satunya alasan untuk mempertahankan sesuatu. Jika logika itu diikuti, Inggris mungkin masih akan terjebak dengan kekaisaran, perdagangan budak, atau bangsawan yang tidak terpilih—semua hal yang pernah menjadi tradisi. Oleh karena itu, jika niatnya benar-benar untuk modernisasi, memangkas monarki saja tidak cukup. Mungkin sudah saatnya untuk mengakhirinya.
Meskipun demikian, ada kesan bahwa wacana ini mungkin hanya sebatas wacana. Sepertinya, pembubaran monarki tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kita dihadapkan pada situasi di mana Raja Charles ingin monarki “diperbarui,” sementara Pangeran William menjanjikan monarki yang “berubah.” Kedua janji itu terdengar sangat mirip, seperti sekuel film dengan sedikit perbedaan pada judulnya. Intinya, janji-janji tersebut seolah mengulangi cerita yang sama.
Apakah strategi ini akan berhasil? Kemungkinan besar, setidaknya untuk saat ini. Monarki Inggris memiliki naluri bertahan hidup yang sangat kuat, setajam naluri partai politik mana pun. Monarki tahu kapan harus sedikit “membungkuk” atau beradaptasi agar tetap berdiri tegak. Sementara itu, rakyat Inggris—meskipun sering menggerutu—tampaknya belum menemukan alasan yang cukup kuat atau urgensi untuk menyingkirkan monarki sepenuhnya.