Jumat, Maret 29, 2024

Sumpah Pemuda: Papua yang Indonesia dan Jakarta yang Bukan

E.S. Ito
E.S. Ito
Novelis

papua

Bahasa menunjukkan bangsa. Ungkapan itu sering diartikan bahwa tutur bahasa seseorang menunjukkan tabiat atau tingkah lakunya. Dalam spektrum lebih luas, ungkapan itu juga bisa dimaknai bahwasanya bahasa menunjukkan identitas kelompok masyarakat atau suku bangsa.

Bahasa mungkin adalah identitas paling nyata dari sebuah imaji bernama bangsa. Ikatan yang membuat kita nyaman, terpaut dan merasa menjadi bagian tidak terpisahkan satu sama lain. Dan Bahasa Indonesia adalah proyek nasionalisme terbesar yang pernah kita bangun bahkan sebelum negara ini lahir.

Pergilah ke pelosok Papua, temui saudara-saudara kita yang ada di sana. Berbicaralah dengan mereka. Kita akan menemukan ikatan batin yang kuat karena mereka fasih berbicara dengan bahasa yang sama dengan kita, Bahasa Indonesia.

Hal yang sama tidak akan kita temui mungkin di pelosok Pulau Jawa. Di mana Bahasa Indonesia hanya digunakan untuk keperluan formal dan bukan bahasa sehari-hari. Atau menguping-lah di antara kelas menengah Jakarta yang menjemukan. Dengan segala keterbatasan, mereka ingin terlihat fluent berbahasa Inggris, bahkan dengan sesama anak bangsa sendiri.

Jika bahasa menunjukkan bangsa, maka siapa sebenarnya yang layak disebut bangsa Indonesia saat ini? Apakah kita di Jakarta ini yang ingin mengganti semua kosa kata Indonesia dengan Bahasa Inggris atau saudara-saudara kita di Papua yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai lingua franca mereka.

Bila kita jujur, tentu saudara-saudara kita itu jauh lebih Indonesia dibanding kita. Kitalah sebenarnya yang terus-menerus berusaha membedakan diri dengan saudara-saudara kita di Papua. Bukan karena mereka yang berbeda. Kitalah yang tiada henti merongrong identitas nasional. Sementara mereka justru terus merawatnya lewat bahasa.

Sebagian besar dari kita menganggap Papua sebagai proyek nasional yang belum selesai. Padahal kenyataannya tanah dan putra-putri Papua telah memberikan segalanya untuk Indonesia. Kita memberikan begitu banyak streotype negatif untuk saudara-saudara kita di Tanah Surga itu tanpa sedikit pun memberi ruang untuk mau belajar pada mereka. Pada akhirnya kita memandang Papua dengan konsep daulat raja, upeti diterima maka saudara ada.

Papua hanya akan jadi perbincangan di meja-meja café Jakarta manakala menyangkut masalah Freeport. Dalam persoalan tambang itu semua orang lantang berteriak nasionalisme. Tetapi begitu menyangkut hak-hak dasar masyarakat Papua, kita menganggapnya sebagai masalah lokal yang mungkin bisa diselesaikan oleh Peraturan Daerah atau paling tinggi Otonomi Khusus. Nasionalisme kita yang kabur perlahan-lahan mulai terkubur.

Menjadi Indonesia adalah keseharian saudara-saudara kita di Papua. Sementara kita di Jakarta berusaha keras untuk melepaskan identitas itu. Merekalah seharusnya yang paling pantas mengajukan pertanyaan pada kita, “Apa yang kitorang musti kerjakan agar sodara-sodara tetap jadi Indonesia?”

Baca:

Papua Bukan Cuma Freeport

Benang Kusut Freeport

 

E.S. Ito
E.S. Ito
Novelis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.