Pandemi tak hanya merontokkan ekonomi. Tapi juga FPI. Karena melanggar protokol kesehatan, imam besar FPI ditahan. Kemudian FPI dibubarkan.
Pimpinan puncak FPI, imam besar Habib Rizieq Shihab (HRS) sudah mendekam di hotel prodeo. Penyebabnya, HRS diduga melanggar Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Tak hanya itu. Di akhir tahun, 30 Desember 2020, karena kegiatan Front Pembela Islam yang melanggar UU larangan kerumunan massal dan karantina; juga aktivitasnya yang menyebarkan kebencian dan anarkisme — pemerintah mengumumkan pembubaran FPI.
Tak tangung-tanggung, pembubaran FPI yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta (30/12/20) tersebut didampingi Menkumham Yassona Laoly, Mendagri Tito Karnavian, Kepala KSP Moeldoko, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menkominfo Johnny G Plate, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Kepala BIN Budi Gunawan, Kepala PPATK Dian Ediana Rae, dan Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar. Luar biasa jumlah pendampingnya.
Menjadi pertanyaan kenapa Mahfud MD melibatkan Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) Dian Ediana Rae dalam konfrensi pers itu? Mahfud menjelaskan: PPATK akan menelusuri aliran dana kepada FPI. Ini artinya, kegiatan FPI selama ini ada bohirnya. Sang bohir perlu diciduk untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Yaitu mendanai kegiatan ormas yang mendukung ISIS (Islami Stated of Iraq and Syria), melawan negara, dan anarkis tadi.
Nama panjang HRS sendiri sudah terkenal ke seluruh dunia. Facebook, misalnya, telah menyamakan nama Habib Rizieq Shihab dengan Adolf Hitler, pemimpin fasisme Jerman yang mengobarkan Perang Dunia Dua. Bila nama Habib Rizeq Shihab atau Adolf Hitler muncul di laman akun FB (siapa pun), robotnya langsung memblok akun yang menulis tokoh kontroversial itu.
Celakanya, karena robot antiteroris FB hanya mengendus nama tokoh yang dianggap berbahaya — tanpa menganalisis status itu pro atau kontra terhadap sang tokoh — maka cukup banyak Facebooker yg akunnya diblok. Padahal isi statusnya mengritik habis dan tak suka akhlak HRS.
Admin FB mungkin merasa benar. Hanya saja kurang selektif memblok akun yang memuat nama tokoh-tokoh teroris sehingga merugikan Facebooker. Tapi, itulah upaya admin FB untuk menyingkirkan HRS yang tercatat sering membuat kerusuhan.
Kita tahu, pelarangan aktivitas FPI termuat dalam surat keputusan bersama (SKB) enam menteri/kepala lembaga dengan Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020.
Ini SKB terbesar dalam sejarah RI. Ia melibatkan 10 institusi dan layak masuk MURI . SKB jumbo itu berisi larangan kegiatan penggunaan simbol FPI, atribut FPI , dan penghentian seluruh kegiatan FPI. Dengan adanya SKB itu, pemerintah melarang seluruh aktivitas FPI di seluruh Indonesia dalam bentuk apa pun.
Hal itu menurut Mahfud, karena FPI sejak tanggal 20 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas dan organisasi biasa. Ini karena surat keterangan terdaftar (SKT) ormas FPI sudah habis dan tidak diperpanjang. Sehingga FPI tidak mempunyai legal standing. Ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82 PUU 11/2013 tertanggal 23 Desember 2014.
Merusak Soetta
Kedatangan HRS di Jakarta Selasa 17 November 2020 setelah “melarikan diri” ke Saudi Arabia tahun 2017, menimbulkan kekacauan. Ribuan massa FPI yang menyambut kedatangannya, tak hanya memblokade akses ke bandara Soetta dan merusak fasilitas umum di sana; tapi juga melanggar protokol kesehatan (Prokes) sekaligus mengacaukan ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.
Disiplin PSBB ini sangat penting mengingat laju penularan Covid-19 di Jakarta tinggi sekali. Penyebabnya publik ibu kota tidak disiplin mematuhi PSBB dan Prokes 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker).
Dalam kondisi seperti itulah, para penyambut HRS di Soetta beraksi: melanggar kerumunan, melanggar Prokes, dan melanggar PSBB. Tragisnya, 4 hari setelah mudik, 14 November 2020, HRS mengundang orang untuk memenuhi acara walimatul ursh anaknya. Ribuan orang datang ke Petamburan, Tanah Abang, Jakpus menghadiri perhelatan itu, seakan-akan dalam situasi normal.
Tanggal 13 November 2020, HRS dan massa FPI juga menghadiri acara maulid Nabi di Tebet Jaksel dan Megamendung, Bogor. Tragisnya, kedua acara itu pun melanggar Prokes, 3M, dan PSBB.
Semua bentuk kerumunan itu berakibat fatal. Di Tebet, 5 orang terdeteksi positif covid dari 97 orang yg diperiksa pasca kerumunan. Padahal jumlah massa yang hadir ribuan. Di Megamendung, ditemukan 20 kasus positif dari 559 orang yang dites. Sedangkan di Petamburan, 30 positif. Di ketiga kerumunan itu, massa yang hadir ribuan orang. Dan mereka tidak tercatat.
Ada yang meragukan, apakah mereka yang terpapar virus berasal dari kerumunan itu? Sulit menjawabnya. Tapi merujuk penambahan kasus positif di Jakarta pasca kedatangan HRS dan tiga kerumunan tersebut, sangat mungkin tiga pengumpulan massa tadi kontribusinya besar dalam kenaikan jumlah orang terpapar virus corona di Jakarta.
Namun yang paling mencemaskan publik: ribuan orang yang datang ke tiga acara tersebut berasal dari berbagai daerah dan tidak tercatat. Sehingga sulit melacaknya ke mana saja pergi dan possibly menularkan virus. Padahal, sangat mungkin mereka ada yang tertular virus, dan kemudian menjadi agen penyebar covid di mana-mana. Mengerikan!
Lantas apakah massa FPI menyadari bahwa kerumunan itu berbahaya? Lagi lagi rujukannya HRS sendiri.
Sang imam besar lari dari RS Ummi Bogor, tatkala dirawat, 28 November 2020. Padahal ia tengah menunggu hasil test swab Covid-19.
HRS pun tak mau memberikan catatan riwayat kesehatan dari RS Umi dan hasil test swabnya. Sikap HRS tersebut jelas membahayakan karena bisa menjadi contoh buruk untuk massa FPI bila menghadapi hal sama.
Selama ini, publik menganggap HRS sangat berani. Pantang nenyerah. Bahkan mencaci maki Presiden Jokowi dan aparat keamanan tanpa merasa bersalah. Kedatangannya dari Saudi Arabia pun membawa missi revolusi akhlak. Sebuah misi yang melecehkan pemerintah.
Tapi sebelum missi itu dijalankan, ia telah menunjukkan sikap suul akhlak. Menentang seluruh aturan pandemi. Terutama larangan kerumunan.
Lalu HRS pun ditahan polisi sebagai terdakwa, 14 November 2020 di Jakarta. Terus, 46 hari kemudian, FPI pun dibubarkan melalui SKB super jumbo, melibatkan 10 institusi negara. Ya, pandemi telah merontokkan FPI dan imam besarnya.
Negara tak boleh dikalahkan oleh ormas, kata Presiden Jokowi. Dan ternyata, melalui pandemi negara “menang” melawan FPI — sebuah ormas brutal yang 37 anggotanya terlibat aksi terorisme itu.