Rabu, Desember 4, 2024

Jokowi, Bencana Garut, dan Tindakan Karitatif Itu

Victor Rembeth
Victor Rembeth
Reader on Environmental Ethics and Philosophy – Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Board Member - Humanitarian Forum Indonesia.
- Advertisement -

jokowi-garut
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengunjungi lokasi bencana di Garut, Jawa Barat, Kamis (29/9/2016). [Dok Kementerian PUPR]
“Disaster risk reduction is everyone’s business. Disaster risk reduction includes disciplines like disaster management, disaster mitigation and disaster preparedness, but DRR is also part of sustainable development. In order for development activities to be sustainable they must also reduce disaster risk. On the other hand, unsound development policies will increase disaster risk – and disaster losses. Thus, DRR involves every part of society, every part of government, and every part of the professional and private sector”.

Banjir bandang di Garut, Jawa Barat, kembali memberi pembelajaran bahwa bencana seharusnya dikelola dengan baik dan bukan sekadar peragaan tindakan karitatif semata. Hadirnya berbagai pihak, mulai dari Kepala Staf Presiden, anggota DPR, pimpinan DPD, Menteri dan Gubernur, seakan memberikan bukti perhatian pemerintah terhadap penanggulangan bencana.

Namun, kendati patut disyukuri sebagai pemberian perhatian pemerintah, patut juga disesali karena perhatian ini akan lebih efektif bila dilaksanakan sebelum bencana terjadi.

Ketika sebuah bencana terjadi, ada banyak sekali perhatian yang melimpah di lapangan. Perhatian ini memang ditingkahi oleh semangat karitatif, yang justru mereduksi penyintas hanya sekadar menjadi penerima manfaat (beneficiaries). Dalam perspektif ini, manajemen bencana kita sering sekadar etalase pameran kebaikan para dermawan dari berbagai pemangku kepentingan terhadap penerima bantuan. Itu semua tidak menghasilkan dampak penguatan dalam setiap ranah kebencanaan yang ada.

Persoalan mentalitas karitatif ini memang erat dengan falsafah penanganan bencana yang sekadar post factum, ad-hoc, dan berwujud pada respons tanggap darurat semata. Anasir-anasir yang membelakangi perilaku manajemen bencana seperti ini memang cukup kompleks. Pandangan nilai yang kuat akan bencana sebagai takdir dan menafikan kapasitas manusia untuk bertahan kerap menjadi dalih yang berbuah pada peringkat prioritas perhatian terhadap manajemen bencana yang rendah dan seadanya.

Pembiayaan aktual penanganan bencana yang menekankan pada respons tanggap darurat ini menambah beban dalam upaya-upaya pembangunan yang berkaitan erat dengan ketidakpahaman upaya pembangunan manusia yang sadar akan siklus manajemen bencana. Oxfam mencatat, pembelanjaan bantuan kemanusiaan pada tahun 2006 mencapai angka US$14,2 miliar, dan meningkat terus menjadi US$25 miliar per tahun.

Sementara itu, Tearfund memperkirakan setiap US$1 yang ditanamkan dalam upaya mempersiapkan bencana akan mampu menghemat US$4 – 10 pembelanjaan perbaikan kembali akibat dari sebuah bencana. Lalu, mengapa kita cenderung memilih mengelola bencana ketika sudah terjadi?

Penanggulangan bencana yang cerdas adalah ketika semua pemangku kepentingan bisa membagi peran dalam sebuah orkestrasi koordinasi yang baik untuk memenuhi semua lini lingkaran pengelolaan bencana yang bertujuan pada upaya pembangunan ketahanan masyarakat berkelanjutan. Pada sisi lain, model manajemen bencana yang reaktif terbukti menghasilkan bola salju persoalan yang lebih besar ketika sebuah bencana terjadi.

Ironisnya, yang justru tampil ke permukaan adalah pemaparan karitatif para pahlawan yang “peduli” dan semakin meminggirkan peran pemegang amanat yang seharusnya menjadi pemegang kendali koordinasi.

Menghadirkan penanggulangan bencana yang cerdas dalam sebuah ranah bencana yang tidak tersiapkan memang tak sesederhana memberlakukan sebuah sistem prosedur baku dalam konteks normal yang nir-krisis. Kendati masih harus diakui adanya ketidakjelasan peran dalam upaya-upaya fase tanggap darurat sampai pada rekonstruksi dan rehabilitasi, berbagai aturan yang belum sempat dipahami oleh semua lini akan menjadikan kepanikan penanganan bencana yang khas dengan ketidaksiapan (unpreparedness).

- Advertisement -

Indonesia yang telah memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dengan kelengkapan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), memang masih harus banyak melengkapi berbagai pihak yang telah diamanatkan undang-undang untuk bisa menanggulangan bencana yang efektif dan cerdas. Manajeman tanggap darurat yang baik, dan manajemen rekonstruksi dan rehabilitasi yang baik hanya bisa dihasilkan oleh manajemen kesiapan, mitigasi, dan pengurangan risiko bencana yang baik pula.

Indonesia sudah belajar banyak dan menghasilkan perubahan paradigma manajemen bencana yang cerdas ketika mampu menghasilkan UU tersebut dengan pembalikan filosofis yang tegas. Yaitu, dari orientasi ad-hoc pascabencana semata kepada sebuah model manajemen bencana yang siklikal dan terintegrasi. Konsekuensinya, Bakornas, Satkorlak, dan Satlak telah menjelma menjadi BNPB dan BPBD.

Manajemen Bencana yang Cerdas

Tidak bisa dimungkiri bencana tsunami pada akhir tahun 2004 menjadi sebuah pemicu yang dengan baik dimanfaatkan untuk penguatan upaya-upaya manajemen bencana yang lebih baik. Sementara itu, secara internasional, pada awal tahun 2005, Konferensi Dunia Pengurangan di Kobe, Jepang, melahirkan Kerangka Aksi Hyogo (KAH) yang ditandatangani oleh 168 negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2015, setelah berakhirnya KAH, Deklarasi Kerangka Sendai menjadi lanjutan yang mengamanatkan bahwa penanggulangan bencana bukan tindakan tanggap darurat semata.

Dasar hukum yang jelas ini memberikan pijakan yang kokoh untuk sebuah model manajemen bencana yang cerdas. Kehadiran UU No. 24/2007 adalah hasil nyata dari prioritas aksi 1 KAH, yang mengamanatkan untuk “memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi prioritas lokal dengan basis kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya”.

Indikator yang paling jelas dari basis kelembagaan ini adalah adanya kerangka kebijakan dan hukum untuk pengurangan risiko bencana di tingkat nasional dengan tanggung jawab dan kapasitas yang terdesentralisasikan di semua tingkat.

Dampak dari hadirnya produk hukum penanggulangan bencana ini menyebabkan Indonesia tidak lagi melakukan manajemen bencana yang sekadar melakukan tugas pokok pada masa kedaruratan belaka. Artinya, penanggulangan bencana kemudian memiliki dasar kuat untuk bisa terintegrasi dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah.

Manajemen bencana bukan lagi sekadar berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”, tetapi terstruktur dengan jelas dalam sistem pemerintahan yang terencana dengan baik. Dengan adanya dasar hukum ini pelembagaan di tingkat daerah/lokal, khususnya di lokasi rawan bencana, akan semakin menjadi prioritas perencanaan dan implementasi pembangunan, selain kehadiran lembaga di tingkat nasional yang bersifat menyeluruh.

Pergeseran cara pandang yang jelas dalam roh undang-undang ini adalah pemikiran mengenai penanggulangan bencana yang menitikberatkan pada manajemen risiko, bukan sekadar tanggap darurat. Artinya, bencana bukan dilihat hanya sebagai suatu insiden terpisah yang berdiri sendiri, sehingga kesibukan hanya terjadi ketika bencana itu terjadi. Kesibukan manajemen bencana yang cerdas yang diamanatkan UU ini adalah justru bermula dari fase prabencana dan berlanjut pada masa pascabencana yang relatif panjang.

Dalam kaitan ini pula bencana bukan sekedar dilihat dari data kerusakan fisik, tetapi juga mencakup kerugian non-fisik dan perbaikan kondisi masyarakt terdampak secara menyeluruh. Dalam praktik yang diidealkan ini, manajemen bencana bukan lagi bersifat ad hoc, tetapi merupakan bagian integral dari program pembangunan yang ada.

Pergeseran cara pandang kedua yang nyata adalah upaya penanggulangan bencana yang baik harus dilakukan sebagai perwujudan dari perlindungan rakyat, dan ini merupakan hak asasi rakyat. Secara jelas praktik manajemen bencana dalam konsep ini bukan hanya menganggap bahwa bencana sebagai kejadian yang disebabkan oleh alam atau kejadian alamiah, tetapi juga melibatkan faktor utama yang mempengaruhi risiko bencana adalah kerentanan manusia, kerentanan sosial, dan kemampuan keseluruhan untuk mengurangi bahaya-bahaya yang ada.

Kemiskinan adalah salah satu aspek kerentanan itu. Menurut data United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), 94.25% dari keseluruhan orang yang meninggal akibat bencana pada tahun 1975-2000 adalah mereka yang miskin dan menengah ke bawah. Karenanya, manajemen bencana yang cerdas adalah manajemen yang mampu melindung rakyat miskin, yang rentan menjadi orang-orang terdampak paling buruk dari sebuah bencana.

Cara pandang ketiga yang bergeser adalah tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana yang merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, penanggulangan bencana yang dahulu ada dalam ranah pemerintah, sekarang harus diusung bersama. Dengan demikian, semua aspek penyelenggaraan penanggulangan bencana, mulai dari kebijakan, kelembagaan, koordinasi dan mekanisme harus juga menggalakkan peran serta masyarakat sipil dan dunia usaha.

Hal ini berarti juga upaya-upaya partisipatoris masyarakat menjadi asupan yang jelas dalam penentuan kebijakan. Erat kaitannya dengan hal ini adalah upaya-upaya bersama multi pemangku kepentingan untuk membangun ketahanan (resilience) masyarakat, sehingga pada saatnya masyarakat mampu menghadapi bencana dalam upaya-upaya pengurangan risiko bencana berbasis masyakat (CBDRM).

Pelibatan Semua Pihak
Cara pandang ketiga aspek di atas mengamanatkan dengan tegas bahwa “disaster is everyone business”. Semua pihak menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk masuk dalam penanggulangan bencana yang efektif dan cerdas. Tak ada lagi bagian dari negara yang hanya menjadi “penonton” atau terpinggirkan. Bahkan, untuk mereka yang terdampak pun seharusnya diberikan peran serta dalam penanggulangan bencana.

Alangkah baik, benar, dan indahnya bila semua yang hadir dalam masa tanggap darurat bisa hadir di semua fase bencana sehingga tidak lagi terjadi seperti kejadian mengenaskan di Garut.

Sudah tentu sebagai tanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana diamanatkan oleh UU diemban oleh pemerintah, terutama untuk dapat melakukan mobilisasi sumber daya yang tersedia untuk penanggulangan bencana. Bab III pasal 5 dari UU menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.”

Dalam hal inilah BNPB telah memberikan peringatan dini dengan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) di seluruh Indonesia, yang sayangnya dilalaikan oleh Pemerintah Kabupaten Garut dengan tidak melakukan tindakan apa pun untuk mengurangi risiko bencana di sekitar Sungai Cimanuk.

Anasir-anasir negara seperti DPD dan DPR/DPRD pun seharusnya bukan hanya hadir sebagai pemberi perhatian yang terlambat. Penguatan kelembagaan baik melalui aspek kebijakan maupun penganggaran seharusnya menjadi perhatian utama agar sebuah bencana bisa dikurangi risikonya. Namun, yang terjadi elemen legislasi dan penganggaran ini lemah dilaksanakan oleh para legislator.

Sudah seyogianya perjuangan para wakil rakyat bukan dilakukan dalam kondisi tanggap darurat. Akan lebih bermartabat bila itu bisa diwujudkan dalam menghadirkan kebijakan-kebijakan yang masuk dalam aspek manajemen risiko bencana.

Kemudian, aktor lain yang nampak dalam setiap tanggap darurat adalah lembaga usaha. Tentu pemberian karitatif yang diberikan bisa menolong mereka yang terdampak. Namun seandainya sektor swasta bisa masuk lebih dalam untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat, itu akan lebih bermanfaat untuk sebuah investasi mengurangi risiko bencana.

Contoh perusahaan-perusahaan konstruksi yang dapat memberikan penguatan terhadap gedung publik adalah sebuah model yang baik. Atau, perusahaan yang bergerak di bidang logistik mampu memberikan jasa kesiapsiagaan untuk menghadapi sebuah tanggap darurat.

Lembaga usaha seyogianya tidak hanya terpaku kepada pemberian natura “belas kasih” yang terjadi pada tanggap darurat. Perusahaan-perusahaan juga diharapkan bisa melakukan praktik bisnis berketangguhan. Risiko bencana, sayangnya, malah sering ditingkatkan dengan kehadiran dan operasi perusahaan yang ada di daerah rawan bencana.

Ketidakikutsertaan dalam upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan perusahaan pada gilirannya juga meningkatkan risiko keberlanjutan perusahaan yang bersangkutan, khususnya di daerah rawan bencana.

Sudah sewajarnya kita kembali kepada komitmen bersama untuk menghadirkan bangsa dan masyarakat yang berketangguhan menghadapi bencana, sebagaimana amanat UU yang kita miliki. Hal ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu pihak. Hal ini juga tidak bisa hanya dilakukan dengan tindakan-tindakan post factum yang karitatif.

Perhatian harus diberikan ketika risiko bencana ada di suatu daerah oleh pemerintah, lembaga usaha, dan masyarakat. Tindakan-tindakan pengelolaan risiko bencanapun harus diupayakan dengan porsi sumber daya negara, lembaga usaha, dan masyarakat agar kerugian dan kerusakan bisa diminimalkan, kendati terdapat bahaya bencana yang jelas.

Culture of Safety
Walaupun sudah ada kemajuan dalam penanggulangan bencana yang cerdas di Indonesia, implementasi di lapangan ketika terjadi bencana masih belum memperlihatkan output memuaskan. Indonesia adalah daerah rawan bencana, tetapi belum semua dari total wilayah rawan bencana di Indonesia yang sudah mempunyai atau melakukan rencana kesiapsiagaan bencana dan rencana kontigensi untuk menghadapai situasi darurat, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Artinya, kendati model penanggulangan bencana yang cerdas sudah ada di tangan setiap pengambil kebijakan dan pelaku manajemen bencana, implementasi sesuai dengan nilai yang diharapkan belum dapat dilakukan secara maksimal.

Karenanya, tugas dari semua pihak, sebagai pemangku kepentingan, untuk dapat melakukan sosialisasi, pendekatan multi pihak, dan usaha-usaha lain yang cerdas, agar manajemen bencana yang sudah memiliki roh yang diperbaiki dapat juga dilaksanakan dalam proses pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Hal ini hanya bisa terjadi kalau semua lini memiliki komitmen dan kesepahaman untuk menghadirkan culture of safety di negara kita yang sudah akrab dengan bencana.

Mudah-mudahan di Indonesia tidak terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Presiden Honduras Carlos Flores setelah negaranya dihancurkan oleh bencana Hurricane Mitch, “Dalam 72 jam kami kehilangan apa yang telah kami bangun lebih dari 50 tahun.” Kita, tidak terkecuali—pemerintah, lembaga usaha, LSM dan masyarakat—perlu memiliki, memahami, dan melaksanakan secara bersama-sama penanggulangan bencana yang cerdas.

Hanya dengan demikian kita bisa menghindarkan diri dari bencana seperti digambarkan oleh Presiden Honduras.

Victor Rembeth
Victor Rembeth
Reader on Environmental Ethics and Philosophy – Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Board Member - Humanitarian Forum Indonesia.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.