Beberapa orang bereaksi atas olok-olok netizen yang agung terhadap Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kebanyakan dari mereka adalah alumni HMI. Mereka kebakaran jenggot dan merasa berkepentingan menjaga marwah organisasi. Tapi masalahnya, apa yang terjadi di Riau memang hal-hal bodoh dan memalukan untuk HMI, sehingga pembelaan mereka rasanya seperti memukul angin, konyol, dan dalam taraf tertentu sekaligus menjijikkan.
Seharusnya para pembela itu tahu bahwa netizen yang agung tak pernah salah. Tidak sekalipun.
Daripada bengak-bengok bahwa HMI punya jasa besar bagi Republik ini, mengajak melihat sisi lain HMI, para pembela HMI sebaiknya sowan dulu ke Ahmad Dhani dan belajar darinya bagaimana menyesaikan masalah dengan netizen yang agung.
Entah bagaimana menyambungkan kabel jasa-jasa besar HMI mencetak kader-kader hebat dengan pembelaan terhadap naik kapal tidak bayar, habis makan langsung kabur, atau protes kepada panitia kongres dengan memblokade jalan di Pekanbaru. Apakah Anda ingin bilang kalau Bapakmu punya jasa tak terhingga lantas Anda boleh memperkosa siapa saja di jalan raya?
Lihatlah bagaimana Ahmad Dhani menyelesaikan kasus tabrakan maut anaknya, Abdul Qadir Jaelani, yang menewaskan tujuh orang. Dhani nggak pernah tuh ngomongin jasa-jasanya di blantika musik Indonesia. Dhani sadar betul apa yang dilakukan Dul, sapaan Abdul Qadir Jaelani, adalah sebuah kesalahan, tak ada gunanya jungkir-balik mencari pembenaran, yang ada malah tambah jadi bahan tertawaan.
Ingatlah, netizen yang agung itu serupa Tuhan, kadang mereka lebih kejam daripada Tuhan ketika mendapati objek serangan mereka ngeyel. Maka berhati-hatilah, jangan ngeyel.
Dhani dengan elegan mengakui bahwa mobil yang dibawa Dul benar mobilnya. Namun ia juga menambahkan bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai perjalanan anaknya, bahkan katanya ia tak pernah tahu sebelumnya kalau anak bungsunya itu sudah bisa menyetir mobil. Selanjutnya adalah sejarah, proses peradilan, kebaikan hati menanggung ganti rugi, dan netizen yang agung pun lupa. Tamat.
Alih-alih berbusa-busa bahwa HMI-sebenarnya-begini HMI-sebetulnya-begitu, mengapa senior-senior kebakaran jenggot itu tidak mengakui saja kekonyolan-kekonyolan para adindanya, lalu menyelesaikan persoalan dengan cantik. Melawan gelombang hujatan netizen yang agung lebih dekat dengan bunuh diri daripada perbaikan citra.
Melihat pembelaan-pembelaan di atas, saya jadi berpikir lebih jauh: kalau beradaptasi menghadapi tantangan remeh seperti pemberitaan dengan tone negatif begitu saja HMI kalang-kabut, bagaimana HMI mengahadapi tantangan-tantangan lain di era digital ini. Tak hanya HMI, pertanyaan ini juga selayaknya ditanyakan kepada organisasi-organisasi ekstra kampus lainnya: Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan lain-lain.
Apakah organisasi-organisasi ekstra yang punya sejarah panjang itu masih relevan untuk menjawab tantangan zaman? Bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan segala yang serba digital?
Mari kita tengok kantong-kantong kreatif untuk penciptaan segala sesuatu yang berhubungan dengan internet di Indonesia, adakah yang mucul dari organisasi-organisasi mahasiswa tradisional? Pembangunan startup, minim. Pembuatan aplikasi, nyaris nihil. Mengingat kader dan simpatisan mereka yang lintas disiplin, tentu mudah saja untuk bergerak di sana, asal ada kemauan dan kemampuan organisasional. Tapi sayangnya tidak.
Baiklah, startup segala macam itu bukan isu seksi untuk gerakan mahasiswa. Aplikasi-aplikasian itu cuma mainan mahasiswa cupu di kampus, aktivis mahasiswa bicaranya yang hebat-hebat dong, dasar dan arah negara, jalannya pemerintahan, keberpihakan kepada yang papa, dan sebagainya dan sebagainya. Agent of change, gitu loh.
Aktivis mahasiswa ya harus turun ke jalan, bukan sibuk di depan laptop, tidak main petisi-petisian online. Perkara menguasai isu atau tidak, itu urusan nanti. Pokoknya harus demonstrasi.
Lalu di mana suara organisasi-organisasi mahasiswa ketika buruh menggalakkan aksi dalam beberapa tahun terakhir, baik online maupun offline? Ke mana suara para aktivis mahasiswa ketika kelas menengah ngehek menghujat demo buruh, (sekali lagi) baik offline maupun online? Oh, mahasiswa sibuk demonstrasi untuk hal-hal yang lebih mendasar, mengenai roda pemerintahan, menuntut Jokowi mundur dengan menggunakan simbol kutang.
Dalam hal manajemen isu, sebutkan satu isu saja yang organisasi mahasiswa memimpin di depan. Pemberantasan korupsi? Hak asasi manusia? Perlindungan terhadap minoritas? Pengelolaan sumber daya alam? Lingkungan? Penangkalan ekstremisme agama? Atau apa?
Kalau tidak ada, dan hanya memimpin dalam hal menodongkan proposal kegiatan, mending bubar saja.