Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menunjukkan taringnya memberantas korupsi dengan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) lagi. Kali ini dilakukan dua OTT sekaligus, di dua tempat berbeda, untuk tindak pidana korupsi yang berbeda, meski sejenis (suap).
Perbedaan lainnya adalah, pada OTT terhadap anggota DPRD DKI Jakarta, pihak pemberi dan penerima sama-sama dicokok. Sementara pada OTT lainnya, KPK hanya menangkap pemberi. Penerimanya? Wallahuallam. Biarlah KPK yang menjawabnya.
Terlepas dari beberapa perbedaan yang ada, peristiwa tersebut, menegaskan (kembali) dua hal yang sama: korupsi memang merupakan extra ordinary crime dan kewenangan menyadap adalah extra ordinary instrument yang memang dibutuhkan.
Korupsi Bukan Kejahatan Biasa
Pernyataan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa ditemui dalam Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999). Frasa ini kemudian dikutip oleh banyak penulis dalam buku atau artikel tentang (pemberantasan) korupsi maupun para pemimpin negeri ini ketika diwawancarai atau dalam berbagai talk show di televisi.
Namun, meski semua orang bicara tentang korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tidak semua orang memahami mengapa kejahatan ini disebut demikian, dan apa konsekuensinya jika dia diterima/disepakati sebagai demikian.
Berbeda dengan beberapa kejahatan lain yang juga serius dan berdampak besar, seperti terorisme atau tindak pidana narkotika/psikotropika, korupsi menimbulkan kerugian besar terhadap negara dan bangsa. Kerugian materil dalam bentuk keuangan negara dengan jumlah yang fantastis, Rp 5,29 triliun menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) selama tahun 2014 saja, hanya salah satu contoh kecil yang nyata.
Kerugian yang besar adalah korupsi menggerogoti nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang sah. Korupsi menyebabkan kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya atas pendidikan dan kesehatan, apalagi hendak mewujudkan janji pendiri negara ini sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Bagi Indonesia, korupsi sudah menjadi bagian dari budaya masyarakatnya. Tak ada aktivitas yang steril dari korupsi, bahkan seorang anak yang baru dilahirkan pun sudah dihadapkan dengan korupsi (melalui orangtuanya), ketika mengurus akta kelahiran.
Korupsi akan terus berlanjut dihadapi sang anak ketika dia harus mendaftar ke sekolah dasar, sekolah menengah, bahkan mencari pekerjaan setelah tamat kuliah. Untuk memperoleh surat-surat penting seperti KTP, SIM, bahkan surat keterangan berkelakuan baik (pun), seseorang harus mengeluarkan biaya tak resmi, salah satu wajah korupsi di negeri ini.
Korupsi terjadi di semua institusi (pemerintah maupun swasta, bahkan kolaborasi keduanya) dan di semua kalangan (baik kelompok atas yang berpendidikan dan berkemampuan secara ekonomi maupun kelompok bawah, seperti kelompok masyarakat penerima bantuan dana sosial atau dana bencana). Di Padang, sudah ada 2 kasus ketua kelompok masyarakat (Pokmas) penerima bantuan gempa yang diputus bersalah karena korupsi.
Korupsi juga beregenerasi, karena terdakwa koruptor di berbagai pengadilan tipikor bersifat lintas generasi. Tidak hanya mereka yang mewarisi cara-cara koruptif di zaman Orde Baru, tapi juga mereka yang belajar korupsi setelah Orde Reformasi dimulai. Pengadilan Tipikor Jakarta bahkan pernah mencatat sejarah, mengadili ayah dan anak bersama-sama dalam satu perkara korupsi, kasus pengadaan al-Qur’an di Kementerian Agama.
Dalam beberapa tingkatan tindak pidana korupsi juga bersifat sistematis, karena dilakukan secara terstruktur dan melibatkan pihak-pihak, yang hanya berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini menyebabkan korupsi menjadi kejahatan yang sulit dijangkau oleh penegak hukum, kecuali hukum memberikan kemudahan bagi aparatnya untuk menembus dinding-dinding penghalang, yang menutup rapat perilaku korupsi beberapa pihak yang berkolaborasi secara simbiosis mutualis.
Dengan kata lain, hukum (yang dibuat pemerintah) perlu menyediakan cara-cara dan instrumen luar biasa bagi upaya pemberantasan korupsi tersebut.
Extra Ordinary Instrument = Suatu Keharusan
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sekarang berlaku memberikan beberapa kemudahan dimaksud, dengan mengatur beberapa instrumen hukum yang sifatnya luar biasa pula. Di antaranya, konstruksi delik formil bagi tindak pidana korupsi, pengadilan in absentia, pembalikan beban pembuktian, bahkan gugatan perdata bila tersangka atau terdakwa meninggal dalam proses peradilan sementara kerugian negara jelas nyata.
Kosntruksi delik formil, misalnya, mengakibatkan seseorang sudah dapat dituntut, meski kerugian negara belum nyata. Sedangkan peradilan in absentia memungkinkan pengadilan mengadili pelaku korupsi, meski yang bersangkutan melarikan diri atau tidak ditemukan.
Namun, di antara berbagai instrumen luar biasa tersebut, masih diperlukan kewenangan lain yang lebih untuk mengungkap korupsi yang bersifat tertutup dan sistematis tadi. Salah satunya adalah kewenangan penyadapan.
Kewenangan ini diperlukan untuk mengungkap transaksi suap, yang melibatkan pemberi dan penerima. Konstruksi hukum yang ada saat ini adalah melarang perbuatan memberi dan menerima suap. Dengan kata lain, baik pemberi maupun penerima, sama-sama diancam dengan pidana (penjara dan denda). Dengan konstruksi hukum demikian, tidak mungkin mengharapkan kerja sama salah satu pihak untuk mengungkap bentuk korupsi ini. Karena itu, kewenangan penyadapan menjadi suatu keharusan.
Dalam hukum pidana positif saat ini, terkait dengan pemberantasan korupsi, kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh KPK. Hal ini memang merupakan amanat yang diberikan oleh UU kepada KPK sebagai lembaga yang lahir di masa reformasi, untuk menjadi trigger mechanism upaya pemberantasan korupsi.
KPK telah membuktikan efektivitas kewenangan tersebut, dengan menangkap beberapa pelaku korupsi ketika melakukan transaksi suap. Dalam sejarah penegakan hukum pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK, untuk tindak pidana korupsi dalam bentuk suap (baik pemberi maupun penerima), hampir seluruhnya diungkap dengan operasi tangkap tangan (OTT).
Sepanjang tahun ini, yang baru berjalan tiga bulan, KPK telah beberapa kali melakukan OTT, baik terhadap anggota DPR, DPRD, maupun pihak lainnya sebagaimana terjadi pekan lalu. Keberhasilan ini seharusnya membuka mata para legislator dan pemerintah, yang hingga awal bulan lalu, masih berkeras hendak membatasi kewenangan penyadapan KPK melalui revisi UU KPK.
Memberi kewenangan untuk menyadap, tapi harus dengan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun, tidak dapat membuahkan hasil yang optimal. Mengapa? karena perbuatan menyadap bersifat rahasia, yang harus dilakukan dengan sesedikit mungkin pihak yang mengetahui.
Sebagai tindak pidana yang luar biasa, korupsi memang membutuhkan instrumen dan cara-cara yang luar biasa pula untuk diberantas. Kewenangan penyadapan termasuk instrumen luar biasa tersebut. Jika memang serius hendak memberantas korupsi, pemerintah harus mendukung KPK untuk terus mengungkap kasus korupsi, dengan mengoptimalkan kewenangan menyadap tersebut, bukan malah mempretelinya dengan berbagai dalih.