Selasa, April 16, 2024

Olimpiade dan Rasa Merdeka

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.

Go to hell with IOC! Kita negara-negara berkembang sudah punya ajang olahraganya sendiri, yakni the Games of the New Emerging Forces (Ganefo),” ujar Sukarno merespons keputusan International Olympic Committee (IOC) yang menjatuhkan sanksi pelarangan keikutsertaan Indonesia dalam Olimpiade Tokyo 1964. Alasannya, karena sikap Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 1962 yang menolak memberikan visa bagi atlet-atlet dari Israel dan Taiwan.

Presiden Joko Widodo (tengah) berdialog dengan peraih medali Olimpiade Rio 2016 Tontowi Ahmad (dari kiri-kanan), Liliyana Natsir, Sri Wahyuni, dan Eko Yuli Irawan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (24/8). [ANTARA FOTO/ Yudhi Mahatma]
Presiden Joko Widodo (tengah) berdialog dengan peraih medali Olimpiade Rio 2016 Tontowi Ahmad (dari kiri-kanan), Liliyana Natsir, Sri Wahyuni, dan Eko Yuli Irawan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (24/8). [ANTARA FOTO/ Yudhi Mahatma]
Bagi Indonesia di paruh awal tahun 1960-an, politik adalah panglima. Mempolitisir segala hal adalah ciri khas Orde Lama: mulai dari pendidikan, seni, sains teknologi, ekonomi, sampai olahraga. Sukarno menganggap olahraga adalah sarana pengejawantahan semangat revolusi Indonesia yang sosialis, juga antagonis terhadap neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme (Nekolim). Bagi Indonesia, Israel dan Taiwan tak lebih dari antek Nekolim.

Karena itulah, selain front Irian Barat dan Malaysia, Indonesia juga menggelar perang urat syaraf terhadap IOC yang juga dianggap telah menjadi antek Nekolim. Dengan semangat populis ala Negara Dunia Ketiganya, Sukarno memasang badan. Jika Avery Brundage, Presiden IOC saat itu, punya gelaran Olimpiade, maka Sukarno juga punya Ganefo untuk kawan-kawan seidealismenya.

Terlaksanalah Ganefo I pada 10-22 November 1963 di Jakarta. Sekitar 2.700 atlet dari 51 negara bertanding dalam 20 cabang olahraga. Sejatinya, Ganefo ini meniru Olimpiade dalam segala hal, terutama cabang-cabang olahraga yang dikompetisikan. Perbedaannya hanya soal tafsir terhadap prinsip Olimpisme.

Sukarno menganggap IOC sudah menanggalkan prinsip Olimpisme, solidaritas dan kemerdekaan, kala IOC saat itu secara politis memusuhi kekuatan-kekuatan garis kiri, seperti Tiongkok, Republik Persatuan Arab, Korea Utara, dan Vietnam Utara. Sebaliknya, IOC juga melemparkan tuduhan serupa kepada Indonesia dalam memperlakukan Israel dan Taiwan.

Kedua pihak saling berdalih bahwa gelarannya masing-masing membawa panji-panji “kemerdekaan untuk berolahraga dan berkompetisi” yang lebih bebas merdeka. Sayang, konfrontasi Sukarno di front ini berakhir dengan kekalahan. Seiring dengan kelengseran dirinya dari tampuk kepresidenan pada tahun 1967, Ganefo pun bubar jalan.

Konflik Ganefo-Olimpiade adalah contoh episodik bagaimana sebuah gelaran olahraga terjebak dalam dinamika politik, setidaknya jika ingin dibedah dalam sudut pandang yang lebih luas. Dan seperti tercatat dalam sejarah, olimpiade modern memang tidak selalu murni soal kompetisi semata.

Sudah umum diketahui bahwa olimpiade berasal dari tanah Yunani, tepatnya di Olympia. Ia pertama kali digelar pada tahun 776 Sebelum Masehi. Negara-negara kota di Yunani saling mengirimkan atlet-atlet terbaiknya tidak hanya untuk berkompetisi, tetapi juga untuk beribadah kepada Zeus.

Kala Yunani dikuasai bangsa Romawi dan Kaisar Theodosius I berkuasa, sejak tahun 393 Masehi olimpiade dilarang karena asal-usul tradisi pagannya dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Kristen yang saat itu sang kaisar tengah promosikan.

Olimpiade, atau lebih tepatnya ajang-ajang serupa Olimpiade, baru dihidupkan kembali bersamaan dengan renaissance Eropa, kala dominasi gereja mulai memudar. Misalnya di Inggris, Costwold Olimpick Games (1612-1642) digelar sebagai bentuk protes terhadap puritanisme Inggris. Sedangkan di era Revolusi Prancis, kaum revolusioner menyelenggarakan L’Olympiade de la République (1796-1798) sebagai ekspresi kemerdekaan dari monarki Prancis dan pengaruh Katoliknya.

Jika kedua gelaran di atas merupakan asa simbolik untuk merdeka dari dogma Kristen yang ratusan tahun menyelimuti Eropa, maka kelahiran apa yang kita sebut sebagai olimpiade modern lekat dengan tumbuh kembangnya nasionalisme sekuler.

Olimpiade modern pertama dilaksanakan pada 1859 di Athena, Yunani, masih berskala nasional dan diselimuti sentimen nasionalisme yang kuat untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Yunani yang belum lama merdeka dari Turki Ottoman. Terinspirasi, Baron Pierre de Coubertin lalu membentuk IOC pada 1894, berujung dengan pelaksanaan Olimpiade Athena 1896. Dari situ, olimpiade akhirnya berskala internasional, semua negara bebas mengikutinya.

Kristine Toohey, profesor Universitas Griffith, Australia, menyebutkan dalam bukunya, The Olympic Games: A Social Science Perspective, bahwa ajang olahraga seperti olimpiade berkontribusi dalam merawat perdamaian dengan cara menyerap tendensi agresif seseorang. Baik dalam konteks luas seperti Perang Dingin, kala olimpiade menjadi arena tempur tanpa senjata bagi Amerika Serikat dan Uni Soviet, atau bahkan hal yang lebih sederhana, yakni sisi agresif seorang manusianya. Saya melihat hal itu benar adanya.

Lalu, bagaimana dengan kita? Keberhasilan ganda campuran Ahmad Tontowi dan Liliyana Natsir membawa pulang emas dalam cabang olahraga badminton di Olimpiade Rio 2016 tepat pada Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2016, adalah sebuah hadiah manis bagi bangsa Indonesia yang memang tengah haus akan kejayaan. Nasionalisme membuncah seketika.

Ya, kejayaan. Indonesia memang telah merdeka 71 tahun lalu, tetapi tiadanya rasa percaya diri dan perasaan inferior terhadap dunia luar membuat bangsa ini lebih senang bertengkar antar sesamanya. Kemerdekaan belum terisi dengan rasa merdeka, padahal olahraga amat baik untuk menghimpun tendensi agresif bangsa ini. Tetapi sampai sekarang, sektor olahraga justru masih tertatih-tatih.

Mungkin itulah yang dulu Sukarno rasakan kala dirinya menafsirkan Olimpisme melalui Ganefo. Ia tahu bahwa bangsa Indonesia yang masih hijau itu butuh pelampiasan, membangun identitas kolektif kebangsaan mereka dalam panggung yang megah dan diakui dunia. Saya rasa semangat ini harus ditiru.

Olimpiade Rio 2016 telah usai, kini waktunya Indonesia menatap Olimpiade Tokyo 2020. Semoga olahraga kita terus menjadi bumbu manis yang membuat rasa merdeka ini lebih pantas untuk dinikmati.

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.