Setelah pertandingan Chelsea melawan Everton, Minggu (27/09), para penggemar Chelsea boleh merasa lega. Keraguan yang dimunculkan oleh media dan komentator bola di awal musim ini ternyata berhasil dijawab dengan gemilang dalam dua pertandingan terakhir Liga Inggris. Everton dilibas dengan dua gol tanpa balas, dan sebelumnya, rival sekota, Tottenham Hotspurs, dipaksa tunduk di kandangnya sendiri dengan skor 2-1.
Klub yang sering disebut sebagai “Si Biru” (The Blues) itu memang sempat kelihatan guncang dalam beberapa bulan terakhir. Mengakhiri musim lalu dengan perkasa dan gelar juara, Chelsea justru guncang jelang dimulainya musim 2017/2018. Diego Costa, top skor tim di musim lalu, ngambek karena merasa dizalimi oleh pelatihnya, Antonio Conte. Romelu Lukaku, yang ditarget menjadi pengganti Costa, secara mengejutkan diserobot Manchester United.
Rival perebutan gelar juara Chelsea ini juga kemudian mendapatkan Nemanja Matic, salah satu pilar lini tengah Chelsea di musim lalu. Belum lagi godaan dari klub-klub besar lain pada pemain-pemain bintangnya, seperti Hazard dan Willian. Hubungan manajer dengan dewan pimpinan klub pun sempat dikabarkan memanas. Oleh bursa taruhan, Conte telah dijagokan sebagai salah satu pelatih pertama yang bakal dipecat di musim ini.
Segala kekacauan itu membuat para fans “Si Biru” seakan bernostalgia dengan apa yang terjadi di musim 2015/2016. Perkasa di musim sebelumnya (2014/2015), Chelsea diprediksikan bakal meningkatkan lagi level permainannya dan mengembalikan kejayaan wakil Inggris di pentas sepakbola antarklub Eropa. Kenyataannya, tim yang waktu itu diasuh Jose Mourinho justru melempem baik di Eropa maupun di liga.
Tanda-tanda deja vu sempat membuat para fans Chelsea waswas ketika laga Community Shield melawan Arsenal dan pertandingan pertama Premier League melawan Burnley berakhir dengan kekalahan. Ditambah lagi, kartu merah untuk Gary Cahill membangkitkan kenangan pahit hukuman serupa yang ditimpa Thibaut Courtois dalam pertandingan melawan Swansea, dua musim sebelumnya, yang mengawali rentetan hasil buruk di awal musim.
Sama seperti di era Mourinho, hasil-hasil buruk ini disertai dengan ketidakpuasan manajer terhadap aktivitas transfer klub di bursa musim panas.
Namun, dua pertandingan terakhir seolah menjadi jawaban tegas dari Conte dan timnya bahwa mereka bukanlah pengulangan sejarah dua musim lalu. Pertandingan melawan Tottenham adalah masterclass dari Conte. Peracik strategi asal Italia ini menunjukkan kualitasnya sebagai pewaris tradisi catenaccio khas negeri Pizza.
Berhadapan dengan pesaing utamanya musim lalu yang sukses menghabisi mereka 2-0 dalam pertemuan terakhir di Liga Inggris, Conte belajar dari pengalaman. Christian Eriksen dan Delle Alli, dua motor serangan Spurs, dimatikan di tengah dengan menumpuk tiga gelandang petarung di tengah: N’Golo Kante, Tiemoue Bakayoko, serta David Luiz.
Formasi 3-4-3 yang biasanya digunakan di Chelsea diadaptasi menjadi 3-5-2, seperti yang sering digunakannya di Juventus dulu. Bedanya, jika tiga gelandang tengah Conte di Juventus dulu berkarakter flamboyan seperti Pirlo atau hobi menyerang dan berteknik tinggi seperti Pogba, kali ini semuanya bertipikal petarung. Tidak heran jika selama 90 menit, Alli dan Eriksen praktis berhasil diamankan.
Cederanya Danny Rose dan dijualnya Kyle Walker, serta belum kelarnya transfer Serge Aurier membuat Mauricio Pochettino, pelatih Tottenham, tak punya amunisi yang mumpuni untuk menggedor sisi sayap ketika serangan dari tengah mati.
Solid di belakang, penyerangan Chelsea juga punya taji. Alvaro Morata, yang sempat dipertanyakan kecepatan adaptasinya di Liga Inggris, ternyata mampu memberi bukti. Baru tiga pertandingan kelar, ia telah mencatatkan rekor baru, menjadi pemain pertama dalam sejarah Liga Inggris yang selalu berhasil menciptakan gol sekaligus assist dalam dua pertandingan pertamanya di kandang.
Marcos Alonso, yang oleh banyak pengamat disarankan agar dicari penggantinya untuk musim ini, ternyata makin yahud. Dua gol ke gawang Tottenham semuanya berasal dari kaki kirinya.
Kemenangan beruntun melawan Tottenham dan Everton ini jelas signifikan. Keduanya bukan tim sembarangan. Tottenham adalah salah satu pesaing utama perebutan gelar musim ini, selain juga rival sekota, sementara Everton telah menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk membeli banyak pemain di musim ini.
Minggu lalu, mereka berhasil menahan imbang tim favorit juara musim ini, Manchester City. Padahal, Chelsea juga belum bermain full team. Bintang utama tim, Eden Hazard, masih dalam masa pemulihan setelah mengalami cedera. Pemain-pemain tambahan yang diincar juga masih belum semuanya didatangkan.
Mampukah Chelsea mempertahankan mahkotanya di musim ini? Tentu tidak mudah. Tim terakhir di Premier League yang berhasil melakukannya adalah Manchester United pada musim 2008/2009. Hampir satu dekade yang lalu. Situasi telah banyak berubah. Klub yang bersaing semakin banyak. Kekuatan skuad tim-tim yang ada semakin merata.
Musim lalu Chelsea amat diuntungkan dengan kosongnya jadwal tengah minggu karena absen di kancah Eropa. Musim ini partisipasi di Liga Champions bakal menambah beban, keletihan, serta potensi cedera. Belum lagi faktor transfer jorjoran yang dilakukan dua klub asal Manchester untuk mengejar ketinggalan mereka. Tantangan berat bagi Conte dan “Si Biru”.
Sanggupkah mereka menjawabnya lagi? Kita tunggu.