Masa penantian panjang pada kepastian bergulirnya liga sudah berakhir. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sudah memastikan Liga 1 akan bergulir pada 15 April dan Liga 2 pada 18 Apri nanti. Pecinta sepakbola lalu bersorak, meski hanya sejenak. Karena kepastian bergulirnya liga ternyata tidak dibarengi dengan regulasi yang sesuai harapan. Situasi kemudian berbalik arah. Aksi protes belakangan semakin marak.
Ada tiga poin penting dalam regulasi PSSI untuk Liga 1 dan Liga 2 yang layak menuai protes. Pembatasan usia pemain, jumlah pergantian pemain, dan jadwal pertandingan untuk Liga 2 menyulut sumbu protes dari banyak pihak.
Khusus untuk dua poin pertama, PSSI jelas salah kaprah dalam menerjemahkan upaya peningkatan kualitas pemain muda. Memberi jalan pintas pada pemain muda jelas bukan cara elegan. Kesempatan bermain yang diperoleh semata-mata karena regulasi tentu sangat tidak mendidik. Sepakbola tidak pernah mengajarkan cara instan macam itu. Harus ada kerja keras, persaingan ketat, dan proses panjang mengingat sepakbola tidak hanya butuh skill individu bagus, tapi juga butuh mental bertanding yang kuat.
PSSI seharusnya juga tidak boleh abai pada konsekuesni logis aturan pembatasan usia. Melabeli kompetisi sebagai liga profesional tapi masih memaksakan regulasi pembatasan umur adalah kekonyolan. Memaksa pemain pensiun lebih cepat, bagi saya, adalah pelanggaran level paripurna dalam sepakbola.
Sukar membayangkan bagaimana sedihnya Mat Halil yang terpaksa mengubur impiannya kembali tampil di bawah teriakan puluhan ribu Bonek. Kesedihan mendalam juga menimpa Ugik Sugianto. Peraih penghargaan pemain terbaik ISC B ini terancam gantung sepatu lebih cepat hanya gara-gara regulasi menggelikan itu. Halil dan Ugik hanya dua dari sekian banyak pemain yang bernasib serupa.
PSSI pasti paham jika sepakbola juga tidak semata-mata tempat menyalurkan gairah. Di sepakbola juga ada roda perekonomian yang digantungkan. Regulasi pembatasan usia adalah bentuk PHK massal pada mereka yang kebanyakan merupakan tulang punggung keluarga.
Untuk urusan ini, saya jadi teringat pada isak tangis Eva Gonzales di sebuah acara televisi swasta. Padahal waktu itu Cristian Gonzales hanya terancam menganggur dalam beberapa bulan ke depan karena PSSI dibekukan. Tangisan yang lebih menjadi-jadi mungkin sudah mewabah di luar sana. Pada istri, anak-anak, dan orangtua meraka yang dipaksa pensiun lebih cepat oleh regulasi.
Tinggalkan sejenak hal-hal yang mengharu biru. Mari kita ramai-ramai tertawakan kekonyolan berikutnya.
Entah dapat bisikan gaib dari mana, para petinggi PSSI di sana tiba-tiba bersikukuh mengubah aturan paten tentang kuota maksimal pergantian pemain. Dari kuota maksimal 3 pergantian pemain menjadi 5 pergantian pemain. Lagi-lagi jalan pintas atas jaminan dimainkannya pemain muda di bawah usia 23 tahun menjadi alasan utama munculnya aturan ini. PSSI mencoba mengakomodir perubahan taktikal secara besar-besaran di paruh kedua laga dengan asumsi semua tim akan menarik tiga pemain mudanya setelah menunaikan kewajiban tampil selama 45 menit.
Tapi begini. Taruhlah memang ada jaminan pertandingan lebih menarik di babak kedua mengingat semua tim kemungkinan tampil dengan skuat terbaiknya, apakah ada jaminan juga jika tim-tim itu tidak akan memanfaatkan kuota 5 pergantian pemain untuk hal-hal menyebalkan semacam menurunkan tempo permainan dan menghabiskan waktu?
Peluang itu sangat terbuka lebar dan pasti akan dimanfaatkan sedemikian rupa. Kuota maksimal 3 pergantian pemain saja sudah seringkali memunculkan itu, apalagi 5 pergantian pemain. Menggelikan? Memang.
Jika hal itu benar-benar terjadi di lapangan, bisa dibayangkan betapa menyebalkannya menjadi pendukung tim yang sedang tertinggal di menit-menit akhir. Perasaan tidak nyaman itu tentu berpotensi jadi amarah. Peluang terjadinya situasi chaos di dalam stadion semakin besar. Langkah melamban pemain yang ditarik keluar bisa menjadi komondo otomatis atas lemparan botol air mineral setengah terisi dan benda-benda lainnya ke lapangan. Apakah hal-hal semacam itu tak pernah terpikirkan, Jenderal?
Tak Ada Liga 2 di Akhir Pekan
Di saat tim-tim kontestan Liga 1 mulai mengemis perihal pemerataan jadwal siaran langsung, tim-tim Liga 2 berduyun-duyun melayangkan protes atas ketidakadilan jadwal pertandingan. Keputusan PSSI menjadwalkan pertandingan Liga 2 pada hari Senin sampai Kamis tentu sukar diterima akal sehat. Bagimana tidak, sepakbola yang sejatinya identik dengan hiburan akhir pekan seenak jidat dipaksa pindah jam tayang pada hari kerja. Sekali lagi, PSSI jelas tidak peka dan kembali mengecewakan.
Puluhan ribu pendukung PSS Sleman terancam tak akan pernah menyaksikan langsung tim kesayangannya di Liga 2 nanti karena terikat jam kerja. Belum lagi puluhan ribu suporter Persebaya yang terancam tak bisa meneruskan euforia kebangkitan tim kesayangannya karena berstatus sebagai buruh pabrik. Tak berlebihan kiranya ketika puluhan ribu pendukung Persis Solo juga punya kekhawatiran yang sama lalu mereka membentangkan spanduk bernada protes bertuliskan “Menolak Laga Senin-Kamis. Sepakbola Milik Rakyat!”
Jenderal, jangan pula Anda melupakan kondisi neraca keuangan tim-tim Liga 2. Hampir semua tim Liga 2 masih mengandalkan penjualan tiket pertandingan sebagai pemasukan utama. Menjadwalkan pertandingan di hari kerja tentu berpengaruh signifikan pada nominal pemasukan tim dari penjualan tiket pertandingan.
Tim-tim Liga 2 bukan tidak mungkin akan kehabisan bensin di tengah jalan. Dan imbasnya akan semakin panjang. Ada kemungkinan gaji pemain yang tak terbayar lunas. Bahkan dampak lebih parah dari itu bisa saja terjadi, semisal tim akan memilih gugur lebih cepat di tengah kompetisi.
Dana subsidi awal sebesar Rp 500 juta untuk tim Liga 2 pastinya relatif sangat kecil untuk mengarungi babak penyisihan grup dengan sistem home away. Angka segitu bahkan mungkin tidak akan cukup untuk sekadar membayar gaji pemain. Jenderal juga pasti paham betapa sulitnya tim-tim kecil dengan basis massa suporter terbatas dalam urusan mencari sponsor. Jangankan tim-tim Liga 2, tim-tim Liga 1 saja masih ada lo yang kesulitan mencari sponsor.
Sudahlah, Jenderal. Ada baiknya PSSI berpikir ulang. Tak ada salahnya juga merevisi hal-hal yang telanjur diputuskan demi kebaikan bersama. Karena kekecewaan pemain, keluarga pemain, dan suporter tak akan pernah impas oleh capaian media emas di Piala Dunia sekalipun.