Jumat, April 26, 2024

Madrid, Juventus, dan Takhayul-Takhayul Itu

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[Sumber: gilabola.com]
Minggu dini hari, 4 Juni 2017, Stadion Millenium Cardiff, Wales, akan menjadi saksi sejarah: Real Madrid ataukah Juventus yang akan menjadi jawara Liga Champions 2017. Pegila bola di seluruh dunia pasti sudah menunggu-nunggu klub mana yang akan ditahbiskan sebagai yang terbaik di kawasan benua Eropa tersebut.

Keterbelahan publik sudah pasti. Seperti halnya dalam dunia politik, keterbelahan publik bisa sedemikian ekstrem: antara pendukung dan penentang; antara yang pro dan kontra; atau antara yang suka dan benci. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 yang belum lama usai, keterbelahan publik yang demikian gamblang merupakan contoh paling nyata.

Demikian pula dalam dunia bola. Para Madridista dan Juventini sudah terbelah sedemikian rupa. Dukungan terhadap masing-masing klub pujaannya mengental sangat kuat. Tak heran, perang urat syarat (psy war) bukan hanya terjadi antar pemain, melainkan juga antar suporter “Los Blancos” dan “La Vehiccha Signora”. Di berbagai media, terutama media-media sosial, perang itu terus berlangsung sampai saat ini.

Menyerang Versus Bertahan

Dalam peperangan, strategi dan taktik memainkan peran yang sangat penting. Seorang jenderal perang yang paham strategi dan taktik peperangan kerapkali tampil sebagai pemenang. Ia mengerti betul kapan waktunya melakukan serangan dan kapan saatnya tetap bertahan.

Salah seorang ahli strategi perang pada masa Cina klasik yang sangat terkenal, Sun Tzu, misalnya, mengungkapkan bahwa strategi pertama berperang adalah menentukan penilaian atas kekuatan lawan. Kekuatan lawan harus diukur dengan berbagai segi, setelah itu barulah serangan dilancarkan dengan cepat, maka hasilnya pun benar-benar sesuai dengan yang diharapkan.

Tampaknya dalam dunia sepakbola hal ini juga berlaku. Saling mengukur kekuatan lawan pasti dilakukan oleh setiap klub yang akan bertanding, demikian pula Real Madrid dan Juventus.

Pertandingan “Si Putih” versus “Si Nyonya Tua” tentu akan menjadi pertandingan sangat menarik. Dua mazhab sepakbola dengan filosofi yang sangat berbeda: menyerang dan bertahan akan saling menguji ketangguhan masing-masing. Mazhab manakah yang akan tampil secara lebih mangkus dan sangkil sehingga pada akhirnya akan memenangkan pertandingan.

Dari sisi produktivitas gol, Madrid yang mengandalkan sepakbola menyerang mencatatkan rekor mentereng. Di bawah asuhan mantan playmaker terbaik dunia asal Prancis berdarah Aljazair, Zinadine Zidane, yang memang penganut filosofi menyerang, Madrid sudah menorehkan catatan impresif. Dari 12 pertandingan di Liga Champions ini Los Blancos telah melesakkan 32 gol, yang artinya mereka mampu membuat 2,67 gol per laga.

Sebaliknya, “Si Nyonya Tua”, sebagai penganut filosofi bertahan khas Italia, juga mencatatkan rekor yang fantastis terkait sedikitnya jumlah bola yang mampu merobek gawang yang dikawal Gianlugi Buffon. Kiper paling pengalaman di Liga Champions itu tampil menjadi palang pintu terakhir yang kerap membuat frustasi para striker lawan.

Selama perhelatan Liga Champions ini gawang Juventus baru kebobolan tiga kali. Ini menunjukkan betapa kuatnya barisan pertahanan klub yang dilatih oleh Massimiliano Allegri. Bahkan klub seagresif Barcelona yang dikomandoi pemain terbaik dunia lima kali, Lionel Messi, pun tidak berdaya menembus gawang Juventus.

Oleh karena itu, strategi dan taktik bermain akan menjadi penentu kemenangan pertandingan nanti. Madrid yang kemungkinan akan tetap memainkan sepakbola menyerang, dengan algojo-algojo mematikan seperti Christiano Ronaldo, Karim Benzema yang disokong Gareth Bale mesti pandai-pandai mengatur irama permainan. Terkadang keasyikan menyerang bisa meninggalkan bolong-bolong di lini pertahanan. Itulah yang kerap dimanfaatkan oleh lawan melalui serangan balik. Bianconeri kemungkinan besar akan mengeksploitas celah tersebut.

Tetapi Zidane akan memperhitungkan kemungkinan itu. Dalam hal ini, pelatih yang baru menukangi Madrid selama kurang lebih 18 bulan itu diuntungkan oleh pengalamannya sebagai pemain. Ia cukup lama membela Juventus, bahkan di sinilah ia menemukan jati dirinya sebagai pesepakbola modern dan profesional. Tentu ia mengerti betul sepakbola gaya bertahan Italia yang dikenal dengan catenaccio, dan secara khusus gaya permainan Juventus.

Karena itu, Zidane tentu akan memperhatikan masalah pertahanan tersebut. Jelas ia tidak mau melihat terciptanya “neraka” di mulut gawang klub asuhannya hanya karena keasyikan menyerang. Pola pengaturan irama permainan mungkin akan dimainkan Zidane dengan menguasai lapangan tengah. Lagi-lagi skill-nya sebagai playmaker saat masih menjadi pemain akan ditularkan kepada anak asuhnya di lini ini.

Pada sisi lain, pengalaman Zidane merumput di Italia juga bisa menguntungkan Juventus. Setidaknya mereka memahami bagaimana karakter Zidane sebagai pemain yang juga dicerminkan dalam kepelatihannya di Madrid. Dengan kata lain, gaya bermain Madrid saat ini merupakan tipikal klub gaya permainan yang disukai Zidane.

Alhasil, adu taktik dan strategi antara dua klub terbaik tersebut akan berjalan alot. Dalam hal ini, persoalan-persoalan detail biasanya akan menentukan akhir pertandingan. Siapa yang paling memperhatikan hal-hal detail tersebut, dialah yang bakal tampil sebagai pemenang.

Sebagai publik tentu kita berharap permainan yang disajikan Madrid dan Juventus adalah permainan yang atraktif. Madrid sebagai penganut permainan menyerang tetap dengan jati dirinya. Tidak mengubah pola hanya karena ingin mendapatkan hasil positif. Karena sepak bola, seperti ditegaskan Sir Alex Ferguson, dalam kritiknya terhadap Jose Mourinho baru-baru ini atas pola permainan Mancester United yang cenderung bertahan, sesungguhnya adalah olahraga yang memberikan hiburan. Dan hiburan itu didapatkan antara lain dari peragaan sepak bola menyerang.

Balutan Takhayul

Takhayul agaknya sulit dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak manusia masih berada pada, meminjam istilah sosiolog terkemuka Auguste Comte, fase teologis di mana mitos dan takhayul begitu lekat dengan kehidupan mereka, ternyat sampai fase positivistik pun takhayul masih juga tidak beranjak pergi. Ia hadir dalam berbagai bentuknya bahkan di kehidupan manusia-manusia yang mengklaim dirinya modern atau pos modern.

Gelaran Liga Champions 2017 di Cardiff juga tidak lepas dari takhayul. Para pemain dan tim official tampaknya masih memiliki kepercayaan pada tuah takhayul. Sehingga sepak bola modern yang sesungguhnya memuja skill dan teknik mengolah si kulit bundar pun menjadi tidak cukup diandalkan sebagai bekal untuk memenangi laga. Entah bisa disebut ironis atau tidak, tetapi demikianlah yang kita saksikan di dunia bola modern.

Klub Juventus, misalnya, berangkat ke Cardiff dengan menggendong takhayul di pundaknya. Mereka memesan sebuah hotel mewah di Wales, yaitu Vale Resort Hotel di daerah Hensol. Selain menghadirkan berbagai pernak-pernik yang serba berbau Italia, yang paling menarik adalah kepercayaan yang mereka pegang bahwa klub mana pun yang menyewa hotel tersebut akan dinaungi keberuntungan sehingga tampil sebagai pemenang.

Takhayul semacam ini agaknya bukanlah sesuatu yang aneh dalam sepakbola. Tim nasional Jerman pada Piala Eropa di Portugal, misalnya, menolak untuk ditempatkan di lantai ke-13 hotel bintang lima Corinthia Alfa Lisabon. Angka 13 diyakini mereka sebagai pembawa sial sehingga harus dihindari. Jerman yang telah melahirkan filosof-filosof terkenal, seperti Imanuel Kant, Jurgen Habermas, dan lain-lain ternyata masih juga tidak bisa melepaskan diri dari takhayul semacam itu.

Klub Los Blancos sendiri datang ke Cardiff dengan belitan takhayul pula. Salah satunya “kutukan” bahwa tidak ada klub yang mampu mempertahankan gelar sejak kejuaraan sepakbola paling bergengsi itu berubah format menjadi Liga Champions pada 1992/1993. Madrid yang notabene paling banyak menjuarai Liga Champions memang belum pernah berhasil juara secara berturut-turut.

Namun demikian, terlepas dari berbagai takhayul yang ikut mewarnai perhelatan kejuaran sepakbola paling ditunggu-tunggu itu, Liga Champions tetaplah Liga Champions. Ia pasti akan menyajikan pertandingan yang seru, panas, dan menarik. Gengsi bakal dipertaruhkan, karena siapa pun yang menang akan menjadi pembuktian atas kehebatan mereka. Los Merengues yang tengah mengejar la duodecima (gelar kedua belas) atau La Vecchia Signora yang bernafsu menggenggam treble winner.

Laga ini pasti dinanti-nantikan publik sejagat. Selamat menyaksikan!

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.