Rabu pagi, 16 November 2016, Irfan Bachdim mengunggah foto skuat timnas senior Indonesia lengkap dengan foto sang pelatih Alfred Riedl di laman akun Instagram miliknya. Bachdim juga menuliskan caption agak panjang di sisi bawah foto sekaligus sebagai ungkapan perasaannya setelah batal memperkuat timnas di AFF Cup 2016 akibat cedera.
Ungkapan kecintaan dan kebanggan terhadap timnas, perasaan kecewa, serta sikap lapang dada menerima kenyataan pahit dituliskan Bachim dengan nuansa penghayatan yang kental. Dan Bachdim menutup tulisan itu dengan dua kalimat yang membuat wajah kita muram sejenak lalu tersenyum kemudian.
“Mimpi saya hancur, tapi kalian dapat mewujudkan mimpi saya. Berjuanglah dan bawa piala itu ke Indonesia!”
Insiden memilukan yang menimpa Bachdim sejatinya bukan baru dalam sepakbola. Periode persiapan jelang turnamen penting memang acapkali menelan korban. Kenyataan pahit yang menimpa Bachdim juga sempat dirasakan beberapa pemain kelas wahid. Marco Reus misalnya. Di saat Reus berada dalam form permainan terbaiknya, mimpi buruk itu datang secara tiba-tiba. Bahkan tidak hanya sekali. Reus terpaksa absen di dua hajatan akbar sepakbola, Piala Dunia 2014 dan EURO 2016. Penyebabnya sama, cedera.
Cedera dan sepakbola adalah dua hal yang punya keterikatan kausalitas yang kuat. Jika Anda tak siap menanggung risiko cedera, ada baiknya jika Anda urungkan niat untuk bermain bola sekarang juga. Sesederhana itu.
Tapi tak perlu juga buru-buru bermuram durja. Karena level cedera dalam sepakbola juga bermacam-macam. Dari yang sekedar lecet sampai cedera parah yang berujung pada keputusan gantung sepatu. Cedera yang bersifat fatal dalam sepakbola lambat laun juga semakin minim terjadi seiring dengan semakin ketatnya peraturan yang melindungi keselamatan pemain.
Jadi, bagi Anda yang merasa punya ketertarikan khusus pada sepakbola, teruslah bermain bola sembari memahami metode-metode khusus meminimalisasi terjadianya cedera. Karena adagium lebih baik mencegah daripada mengobati juga berlaku dalam sepakbola.
Mari kembali ke insiden yang menimpa Irfan Haarys Bachdim. Ada sisi yang menarik yang patut juga mendapat perhatian khusus selain cedara itu sendiri dan kepastian absennya Bachdim di AFF Cup 2016.
Selain Bachdim, ada satu nama lagi yang banyak disebut dalam insiden itu, Hansamu Yama Pranata. Banyak kalangan memposisikan mantan palang pintu timnas U-19 era Indra Sjafri ini sebagai sosok antagonis dalam kasus cederanya Bachdim. Komentar bernada kritikan bahkan menjurus hujatan mengalir deras kepada centre back yang dulunya sempat dipuji setinggi langit kala dirinya bersama Evan Dimas cs berhasil mempersembahkan piala AFF U-19 2013 silam.
Memang, kenyataannya, di lapangan Yama adalah aktor utama yang mengubur mimpi Bachdim berlaga di AFF Cup 2016. Tapi kalau kita mau berbebasar hati dan menganggap insiden itu adalah murni sebuah kecelakaan, maka berhentilah menghujat Yama. Karena perlu juga diingat jika sosok yang ramai dihujat sejak dua hari terakhir ini adalah aset berharga bagi sepakbola kita.
Derasnya hujatan yang diarahkan kepadanya tentu bakal berpengaruh signifikan secara psikologis bagi Yama yang notabene adalah pemain muda. Saya khawatir jika hujatan itu akan terus berlanjut, terlebih jika timnas kita gagal bersinar di AFF nanti. Bukan tidak mungkin jika label kambing hitam kegagalan timnas bakal disematkan pada diri Hansamu Yama Pranata. Jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi, saya sukar membayangkan apa yang akan terjadi pada karir sepakbola si Yama.
Lalu siapa yang sebenarnya patut disalahkan dalam insiden cederanya Irfan Bachdim? Dengan lantang saya akan menjawab jika kultur sepakbola kita lah yang paling layak disalahkan.
Anda masih ingat dengan tackle dua kaki dari sisi belakang ala Benny Wahyudi ketika timnas uji coba lawan Myanmar? Saking terbiasanya dan terlampau sering kita jumpai di beberapa pertandingan Liga Indonesia, tindakan berbahaya semacam itu kemudian muncul istilah Indonesian tackle. Pada level pertandingan internasional, tindakan brutal semacam itu sangat sulit dimaklumi. Wasit akan berlaku tegas dan tak jarang akan langsung berbuah kartu merah. Beruntung, Benny kala itu hanya mendapat kartu kuning.
Dan, celakanya, di Liga Indonesia hal-hal mengerikan seperti itu kerap mendapat banyak pamakluman. Jarang sekali kita menjumpai wasit secara tegas langsung mengganjar sang pemain dengan kartu merah. Hukuman paling maksimal mungkin hanya kartu kuning. Paling sering hanya berbuah peringatan. Terpujilah wasit-wasit di negeri ini.
Pemakluman-pemakluman semacam itu memberi peluang bagi pengulangan-pengulangan tackle serupa di pertandingan-pertandingan berikutnya. Tanpa disadari, kelakuan membahayakan lawan itu kemudian menjadi kebiasaan yang kerap muncul secara spontan. Ketika sudah telanjur menjadi spontanitas, hal serupa tidak lagi hanya tersaji di pertadingan resmi belaka. Dalam sesi-sesi latihan, tak jarang juga kita menjumpai hal serupa. Jika Anda ragu, sesekali coba mampir ke venue latihan tim lokal kesayangan Anda.
Indonesian tackle hanya satu jenis tindakan berbahaya dalam sepakbola di negeri ini. Kita masih bisa menemui beberapa adegan semi tarung drajad di atas lapangan hijau Liga Indonesia. Karena selama pemakluman-pemakluman itu masih ada, selama itu juga tindakan-tindakan brutal dalam sepakbola kita pasti akan tetap eksis. Dan, sekali lagi, ketika sudah menjadi kebiasaan, tindakan itu punya potensi muncul secara spontan.
Saya tidak berada di sisi lapangan saat Yama terlibat insiden dengan Bachdim. Tapi kalau boleh menduga-duga, saya curiga jika tackle Yama pada Bachdim adalah sebuah spontanitas. Karena dalam sesi persiapan yang hanya tinggal hitungan hari, pelatih biasanya secara lantang rajin meneriakkan no tackle no tackle saat game internal. Jika tackle itu benar-benar terjadi secara spontan, maka unsur kesengajaan untuk mencederai tentu sudah gugur dengan sendirinya.
Hansamu Yama sudah meminta maaf. Irfan Bachdim juga sudah berbesar hati memaafkan sembari tak mau menyalahkan siapa-siapa. Bachdim berkata, “ini adalah sepakbola dan hal seperti ini bisa terjadi. Ini bukan kesalahan pemain lain atau siapa pun.”