Ia berguling dan berguling dan berguling. Sampai jauh, sangat jauh, sangat-sangat jauh. Setelah ditebas di garis lapangan oleh pemain Swiss, ia mengerang dengan kaki jumpalitan, terpental dan terpental, menggelinding di jalan tol yang sibuk, bergulir di antara truk-truk besar, jatuh berdebam di lintasan balapan, terlontar melintasi taman, melindas orang-orang yang sedang jalan, melewati lembah, menuruni bukit, lalu berakhir di sarang laba-laba, jadi pejantan yang disantap betina. Begitu meme-meme di dunia maya menampilkan Neymar.
Para pendukung tim-tim besar yang telah pulang ikut tertawa—sebagian tentu saja karena menghibur kepedihan hatinya sendiri. Para moralis sepakbola mengecamnya, menyayangkannya, menasihatinya. Pokoknya, membahasnya berbusa-busa.
Saya, seorang pendukung Argentina yang traumatik, mengingat Jurgen Klinsmann dan gulingannya dan erangannya di Piala Dunia 1990 Italia. Dan gelar juara yang mereka rebut dari Diego Maradona.
Seorang teman dengan sedikit rasa gentar mengatakan bahwa Brasil, dan terutama Neymar, telah sembuh dari luka 1-7-nya. Lawan mereka untuk meraih gelar dunia keenamnya hanya diri mereka sendiri, begitu nujumnya. Saya tidak menyukai nujuman itu, terutama karena ia tampak meyakinkan. Piala Dunia memang penuh kejutan. Tapi, sejujurnya, tak semengejutkan itu sebenarnya. Itu kenapa, sejauh ini, cuma ada delapan tim yang pernah memenangkannya.
Neymar akan membawa Brasil berguling—dan bergulir, dan melindas apa pun dan siapa pun—sampai jauh, sangat jauh. Jika bukan dia, mungkin Paulinho yang akan melakukannya. Sepuluh tahun lalu, pemain terbaik Barcelona musim lalu itu pulang dari negeri bekas Soviet dengan membawa rasa putus asa. Setelah belajar ke Cina, lalu diajak Lionel Messi ke Katalunya, ini jelas saat terbaik untuk kembali dari Rusia dengan cinta. Dan piala. Jika keduanya tak sanggup melakukannya, kalian pikir Jesus akan tinggal diam?
***
Para pembenci dominasi yang tetap memelihara optimisme pasti berharap Belgia menyingkirkan Brasil, tim yang tepat berada di atas mereka di ranking FIFA. Hal itu juga yang barangkali dipikirkan oleh Gareth Southgate dan para pendukung Inggris ketika mereka kalah (atau mengalah?) di pertandingan ketiga babak grup, dan memilih jalur ke final yang lebih empuk.
Belgia, tim Eropa terbaik di turnamen, punya sangat banyak hal untuk bisa mengalahkan Brasil. Mereka bahkan punya yang semua tim tak punya: Marouane Fellaini—dan sikunya. Tapi, apakah mereka punya sedikit keberuntungan serupa yang mereka punya saat menggulingkan Jepang?
Berharap kepada Perancis mungkin jauh lebih mantap dibanding sekadar harapan dan optimisme. Mereka pernah melakukannya 20 tahun lalu, jadi kenapa tidak mengulanginya lagi? Didier Deschamps pasti belum lupa manisnya kemenangan atas Brasil di Saint-Denis itu, dan tahu bagaimana membaginya kepada para pemainnya.
Mungkin para pendukung Perancis, dan seluruh penggemar sepakbola, tak akan pernah memperoleh seseorang yang bisa memadani Zinedine Zidane, tapi punya Paul Pogba dan N’Golo Kante di satu tim jelas jauh dari sekadar lumayan. Lagi pula, ia punya Lilian Thuram dan Bixente Lizarazu pada diri Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez. Orang jelas bisa melupakan Thierry Henry dan david Trezeguet jika melihat Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann. Jadi, kenapa tidak?
Sedikit masalah, Perancis mungkin membutuhkan Ronaldo-nya Brasil (kalian pasti tahu siapa yang saya maksudkan) kena sawan di Rusia 2018. (Demi sepakbola, mari berdoa semoga ini tak terjadi lagi). Namun, masalah mereka yang lebih besar adalah: Uruguay.
Uruguay memang tak punya Messi, tapi mereka punya hal yang tak dimiliki Lionel Messi dan Argentina-nya: rencana. Yang lebih penting, mereka adalah sebuah tim. Tim yang mantap, lebih tepatnya; tim yang dalam 12 tahun ditangani oleh orang yang sama, guru yang sama, El Maestro Oscar Washington Tabarez. Delapan tahun lalu, di Afsel, tim ini meninggalkan Perancis di dasar klasemen di babak grup. Dengan rencana—dan belajar dari kenaifan sang tetangga Argentina—mereka bisa saja mengandaskan tim yang sama di delapan besar Rusia. Lalu, mereka akan menggigit Brasil—seperti yang mereka lakukan 68 tahun lalu—di semifinal.
Setelah Othman Bakal, Branislav Ivanovic, dan Giorgio Chiellini, Luis Suarez akan menggigit bahu semua orang Brasil, sebagaimana dulu Alcides Ghiggia membungkam seluruh Maracana. Atau, kenapa tidak Edinson Cavani malih rupa jadi Gabriel Batistuta, sebagaimana yang menjadi impiannya di usia sembilan tahun, saat ia dipanggil si gundul?
***
Di edisi Piala Dunia 2018, majalah Four Four Two menyandingkan Harry Kane dengan Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Neymar. Jadi, nalarnya, jika Messi dan Ronaldo sudah pulang, maka tinggal Kane dan Neymar yang akan saling berhadapan. Tapi, kenapa saya tak banyak menyebut kemungkinan bahwa Inggrislah yang mungkin mengalahkan Brasil di final?
Dengan segala respek dan ketertarikan kepada tim Gareth Southgate yang muda dan menjanjikan, saya memang memikirkan mereka akan sampai semifinal. Tapi, sepertinya hanya akan sampai situ saja. Mereka belum akan melebihi capaian Paul “Gazza” Gascoigne dkk di Italia 1990. Tidak juga mereka akan kembali membawa pulang sepakbola.
Setelah melewati pertandingan yang sulit dan merepotkan dengan Swedia (mungkin kembali dengan adu penalti), mereka tak akan kemana-mana lagi saat menghadapi Kroasia. Henderson akan kembali berhadapan dengan Modric, seperti di Kiev enam pekan lalu. Siapa yang menang? Mohon maaf, itu pertanyaan yang mudah.
Harry Kane sepertinya akan membawa sepatu emas yang dulu didapat Garry Lineker di Meksiko 1986. Tapi sepakbola belum akan pulang bersamanya.