Lanskap politik Nepal kini diselimuti kabut ketidakpastian, di mana kekacauan baru saja mereda dan berganti dengan kebingungan yang mencekam. Sebuah pertanyaan monumental menggantung di udara, menjadi fokus pembicaraan setiap warga negara: Siapa yang akan melangkah maju sebagai pemimpin sementara untuk menavigasi kapal negara ini keluar dari badai krisis yang melanda?
Meskipun militer Nepal masih memegang kendali penuh dan memberlakukan jam malam ketat hingga Kamis malam, ketegangan di jalanan terasa lebih tenang. Protes besar telah mereda, dan laporan kekerasan serius hampir nihil. Namun, ketenangan ini hanyalah permukaan dari perpecahan yang lebih dalam. Sebuah insiden kecil namun signifikan—bentrokan di luar markas militer—terjadi bukan antara pengunjuk rasa dan aparat, melainkan di antara para pengunjuk rasa Gen Z itu sendiri. Mereka berselisih, tidak bisa sepakat tentang sosok yang layak memimpin negara.
Peristiwa ini menyingkap masalah inti dari gerakan ini: ia lahir dari kemarahan kolektif, tetapi tidak memiliki struktur dan pemimpin yang terorganisir. Sebuah gerakan yang tanpa arah jelas, meski memiliki semangat membara, bisa menjadi resep untuk kegagalan. Tanpa seorang pemimpin yang diakui, energi perubahan yang begitu kuat berisiko tercerai-berai, membuat Nepal berada di persimpangan jalan yang penuh dengan ketidakpastian.
Di tengah kekacauan, Presiden dan militer berupaya meredakan situasi dengan mengadakan pertemuan langsung bersama para demonstran, memohon agar mereka bersabar. Namun, permintaan ini menghadapi tantangan besar: kesabaran memang ada, tetapi persatuan tidak. Gerakan yang awalnya bersatu dalam kemarahan kini terpecah menjadi tiga faksi berbeda, masing-masing mengusulkan kandidatnya sendiri untuk mengisi posisi pemimpin sementara. Perdebatan ini bukan hanya tentang siapa yang layak, tetapi juga tentang visi masa depan Nepal.
Pertama, Sushila Karki: Kelompok pertama memandang Sushila Karki, seorang mantan Ketua Mahkamah Agung yang dikenal non-partisan, sebagai sosok ideal. Dengan rekam jejaknya yang adil dan etis, ia dianggap sebagai pilar moral yang mampu mengembalikan kepercayaan publik pada sistem. Para pendukungnya percaya bahwa kepemimpinannya akan membawa stabilitas yang sangat dibutuhkan.
Kedua, Kulman Gizing: Di sisi lain, ada kelompok yang mengagungkan Kulman Gizing, mantan kepala otoritas listrik Nepal. Gizing bukan politisi; ia adalah teknokrat yang efisien dan bersih. Namanya melejit setelah berhasil mengakhiri krisis listrik yang melumpuhkan Nepal selama bertahun-tahun. Keberhasilannya ini menjadikannya pahlawan di mata kaum muda, yang melihatnya sebagai simbol perubahan nyata dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Ketiga, Balen Shah: Nama ketiga yang muncul adalah Balen Shah, seorang rapper yang sukses menjadi Walikota Kathmandu. Ia menjadi simbol pemberontakan terhadap elite politik tradisional. Namun, dalam sebuah langkah mengejutkan, Balen secara terbuka mengundurkan diri dari pencalonan. Keputusannya ini secara efektif meninggalkan Kulman Gizing sebagai kandidat terdepan.
Dengan mundurnya Balen, persaingan kini menyempit. Akankah Kulman Gizing, dengan rekam jejaknya yang terbukti, menjadi pilihan yang akhirnya menyatukan semua pihak, atau akankah perpecahan terus berlanjut? Masa depan Nepal tampaknya bergantung pada jawaban dari pertanyaan ini.
Di tengah ketegangan, sebuah narasi yang beredar luas di media sosial mengklaim bahwa protes di Nepal bukanlah gerakan otentik, melainkan hasil rekayasa asing, khususnya CIA. Memang benar, sejarah mencatat intervensi CIA di Asia Selatan. Namun, jika kita melihat lebih dekat kasus Nepal, ada argumen kuat yang menolak teori konspirasi ini dan mengarahkan kita pada kenyataan yang lebih kompleks dan menyakitkan.
Pertama, mari kita tinjau prioritas kepemimpinan Amerika Serikat saat ini. Kepemimpinan AS kini cenderung fokus pada isu-isu domestik atau persaingan geopolitik yang lebih besar. Sosok-sosok seperti Peter Navaro dan Howard Lutnik—yang dikenal karena fokus mereka pada ekonomi dan persaingan global—kecil kemungkinan akan mencurahkan sumber daya untuk mengintervensi urusan internal Nepal. Terlalu naïf untuk berpikir bahwa mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik Nepal, apalagi berencana untuk memicu kekacauan di sana.
Kedua, dan yang paling krusial, adalah kemarahan rakyat Nepal yang tulus dan mendalam. Gerakan ini bukan sekadar tangisan kosong, melainkan letupan dari dekade-dekade frustrasi yang terpendam. Statistik berbicara: satu dari lima pemuda di Nepal tidak memiliki pekerjaan, menjadikannya salah satu tingkat pengangguran pemuda tertinggi di Asia Selatan. Puluhan ribu orang terpaksa meninggalkan tanah air mereka setiap tahun untuk mencari nafkah di luar negeri. Di dalam negeri, korupsi sudah menjadi kanker yang menggerogoti setiap lapisan masyarakat, dan stabilitas politik hanyalah ilusi. Nepal telah mengalami 15 pergantian pemerintahan dalam 17 tahun, sebuah bukti nyata dari kekacauan kronis.
Kemarahan ini mencapai puncaknya pada bentrokan brutal hari Senin yang menewaskan 19 pengunjuk rasa. Ini adalah insiden paling mematikan dalam beberapa dekade, sebuah tragedi yang memicu gelombang kemarahan publik yang tak terbendung. Oleh karena itu, mengklaim bahwa protes ini adalah konspirasi asing sama saja dengan meremehkan penderitaan dan kemarahan otentik yang dirasakan oleh para pemuda ini.
Mungkin di masa depan, ada pihak yang mencoba membajak atau memanfaatkan gerakan ini. Namun, saat ini, masalah Nepal tidak akan terselesaikan jika perhatian hanya terfokus pada upaya mendiskreditkan protes. Solusi sejati hanya dapat ditemukan dengan mengakui dan memperbaiki kerusakan yang ada. Ingatlah, dalam demokrasi, rakyat adalah kekuatan yang sesungguhnya. Ketidakpuasan merekalah yang menjadi bahan bakar perubahan.