Jumat, Oktober 4, 2024

Nawa Cita, Sampai Di Mana?

Tarli Nugroho
Tarli Nugroho
Penulis tinggal di Jakarta
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (kanan) melakukan kunjungan ke rumah warga Desa Tanjungrejo, Margosoyo, Pati, Jawa Tengah, Minggu (11/10) yang berhak menerima Program Keluarga Harapan (PKH). PKH merupakan Progran Perlindungan Sosial yang memberikan Bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang bertujuan untuk mengurangi beban RTSM sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi. Mensos juga menyisir kemasyarakat secara langsung Kartu Perlindungan Sosial (KPS). ANTARA FOTO/Tisna
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (kanan) berkunjung ke rumah warga Desa Tanjungrejo, Margosoyo, Pati, Jawa Tengah, Minggu (11/10) yang berhak menerima Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah Progran Perlindungan Sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin yang bertujuan mengurangi beban warga. ANTARA FOTO/Tisna

Sembilan agenda prioritas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, alias Nawa Cita, di atas kertas sejak awal sebenarnya sulit untuk bisa disebut sebagai agenda, karena tidak punya target dan indikator capaian yang jelas. Ia lebih merupakan daftar keinginan masa kampanye semata. Apalagi poin-poin yang tersusun di dalamnya juga tidak menggambarkan gagasan yang sistematis, yang jelas mana ujung dan mana pangkalnya.

Pilihan Jokowi untuk mengubah nomenklatur kabinetnya juga telah membuat pemerintahnya terlambat bergerak cepat, baik untuk merealisasikan janji kampanye maupun merespons gejolak ekonomi dunia yang segera menyerbu. Perubahan nomenklatur tadi telah berimbas pada perubahan serta penyesuaian anggaran yang terbukti memakan waktu tak sebentar. Kalau kita cermati, rendahnya serapan anggaran belanja hingga kuartal ketiga tahun pertama pemerintahan Jokowi, yang di bawah 40 persen, salah satunya adalah karena efek perubahan nomenklatur tadi.

Dari sembilan poin Nawa Cita, empat di antaranya terkait dengan soal ekonomi, yaitu pada poin membangun Indonesia dari pinggiran, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Kini, sesudah berumur setahun, bagaimana kita akan menilai Nawa Cita?

Pembangunan ekonomi, menurut Dudley Seers (1973), pada dasarnya menuju tiga sasaran pokok, yaitu mengurangi kemiskinan, memberantas pengangguran, serta mengatasi ketimpangan ekonomi. Tiga sasaran itu merupakan indikator dari kesejahteraan.

Jika diukur menggunakan tiga indikator tersebut, pertama, dalam setahun terakhir angka kemiskinan terus naik. Menurut data BPS (2015), antara periode September 2014—Maret 2015, jumlah orang miskin bertambah hingga 860 ribu orang, sehingga kini jumlahnya menjadi 28,59 juta, atau sekitar 11,5 persen dari jumlah penduduk.

Kedua, dilihat dari jumlah pengangguran, saat ini tingkat pengangguran kita 7,5 persen, lebih tinggi dari angka tahun lalu yang 6,25 persen. Angka ini sepertinya akan terus memburuk, mengingat target dan realisasi pertumbuhan ekonomi terus-menerus berada di bawah 5 persen sepanjang tahun ini. Belum lagi jika memperhatikan jumlah PHK di sejumlah sektor terus meningkat.

Ketiga, tingkat ketimpangan ekonomi, yang diukur dengan indeks gini (gini ratio), angkanya terus membesar, kini mencapai 0,42. Ini adalah angka yang rawan, karena menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi yang sangat besar.

Dengan ukuran tersebut, dalam satu tahun umur Nawa Cita, indikator kesejahteraan kita jelas tidak menggembirakan. Sayangnya, menghadapi fakta semacam ini, pemerintah masih gemar menyalahkan faktor eksternal. Tak bisa dimungkiri, sesudah booming harga komoditas berakhir pada 2013 silam, program Nawa Cita memang mengalami tantangan eksternal yang kuat. Sekitar 60 persen pendapatan Indonesia masih mengandalkan komoditas, di mana sepanjang tahun ini, di luar minyak dan gas (migas), harga komoditas sudah turun hampir 20 persen. Untuk migas, penurunannya sejak 2014 silam bahkan sudah lebih dari 55 persen.

Hanya saja, faktor eksternal, jika tak ditingkahi oleh faktor internal yang buruk, sebenarnya tidak akan terlalu memukul kita. Tapi persis di situlah persoalannya. Seiring dengan melemahnya perekonomian global, sejak awal kekuasaannya, pemerintah Jokowi telah melakukan sejumlah blunder kebijakan yang membuat internal perekonomian kita berada pada posisi rentan.

Setidaknya ada tiga problem internal kita yang bersumber dari blunder pemerintah sendiri. Pertama, rendahnya faktor stimulus pemerintah. Hingga semester pertama tahun ini, misalnya, realisasi penyerapan anggaran pemerintah masih di bawah 30 persen. Akibatnya, kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi tergerus. Apalagi konsumsi pemerintah secara umum hanya naik 2,8 persen.

Besaran serapan anggaran ini baru merupakan indikator kasar, yang belum memperhitungkan faktor outcome dan impact dari anggaran tadi. Rendahnya penyerapan anggaran ini adalah karena kelambanan pemerintah sendiri, yang salah satunya disebabkan oleh perubahan nomenklatur kabinet tadi.

Kedua, tergerusnya daya beli masyarakat. Dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat sejak awal pemerintahan Jokowi, terutama subsidi energi, telah memukul daya beli masyarakat. Sejauh ini sektor konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,9 persen. Padahal konsumsi rumah tangga ini merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi.

Itu sebabnya, rendahnya angka inflasi dalam satu tahun terakhir bukanlah indikator yang menggembirakan, karena di baliknya ada faktor penurunan daya beli tadi. Kontributor inflasi paling besar memang berasal dari harga pangan dan transportasi. Selama ini biasanya angkanya hanya berkisar di 1 persen, namun sesudah pencabutan berbagai subsidi energi tadi, kontribusi harga pangan dan transportasi terhadap inflasi kini bobotnya melonjak menjadi 2,2 persen. Artinya, pendapatan masyarakat tersandera oleh biaya kebutuhan pokok, yang membuat daya beli mereka atas keperluan lainnya menjadi berkurang.

Ketiga, macetnya sektor riil. Sejak awal 2015, industri manufaktur hanya tumbuh 3,8 persen, alias di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar di angka 4,6—4,7 persen. Kondisi ini kian diperburuk oleh rendahnya kredit pembiayaan. Kita tahu, suku bunga acuan masih tetap bertengger di angka 7,5 persen. Di satu sisi, tingginya suku bunga acuan ini memang ditetapkan untuk mencegah terjadinya capital outflow. Namun di sisi lain telah menyebabkan ekspansi kredit menjadi tersendat, investasi akhirnya mandek, karena biaya modal jadi demikian mahal.

Belum lagi jika kita memperhatikan struktur kredit perbankan kita. Pelaku usaha kita 99 persen masuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), di mana mereka hanya menyerap kurang dari 20 persen kredit perbankan. Delapan puluh persen sisa kredit perbankan, yang nilainya lebih dari Rp 5 ribu triliun, diserap oleh para pelaku usaha besar yang jumlahnya hanya 1 persen saja.

Sayangnya, tiga problem internal itu tak cukup di-cover oleh empat paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah sejak awal September 2015 lalu. Paket-paket kebijakan itu dimensinya masih terlalu makro dan tidak menukik ke persoalan-persoalan jangka pendek dan jangka panjang yang bersentuhan dengan kehidupan ekonomi rakyat banyak.

Jangan lupa, berangkat dari titik pandang tiga persoalan tadi, dalam jangka pendek, soal utama perekonomian kita adalah rendahnya daya beli masyarakat. Ini yang seharusnya diselamatkan lebih dulu oleh pemerintah. Adapun dalam jangka panjang yang harus diperhatikan adalah kemampuan dan kapasitas produksi nasional. Persis di situ, kita tahu bahwa Nawa Cita belum sampai kemana-mana.

Tarli Nugroho
Tarli Nugroho
Penulis tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.