Sabtu, April 20, 2024

Natal, Perang, dan Kemanusiaan

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Akram Abu al-Foz decorates a Christmas tree with empty shells which he painted, in the rebel held besieged city of Douma, in the eastern Damascus suburb of Ghouta, Syria December 23, 2016. REUTERS/Bassam Khabieh TPX IMAGES OF THE DAY *** Local Caption *** Akram Abu al-Foz menghias pohon Natal dengan kerang kosong yang ia warnai, di kota terkepung pemberontak Douma, di timur pinggir kota Ghouta, Damaskus, Suriah, Jumat (23/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Bassam Khabieh/cfo/16
Akram Abu al-Foz menghias pohon Natal dengan kerang kosong yang ia warnai di kota terkepung pemberontak Douma, di timur pinggir kota Ghouta, Damaskus, Suriah, Jumat (23/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Bassam Khabieh/cfo/16

Saat itu malam Natal, 1944. Pasukan Jerman dan Amerika Serikat baru saja bertempur hebat di hutan Hurtgen, Jerman. Elisabeth Vincken dan putranya, Fritz, kaget setengah mati saat membuka pintu kabin kecilnya yang terletak di pedalaman hutan. Di hadapannya berdiri tiga orang tentara Amerika yang terluka, kedinginan, dan tersesat. Mereka meminta izin untuk menginap semalam. Elisabeth adalah orang Jerman, dan jika ketahuan menolong musuh, ia bisa dihukum mati.

Namun, saat itu adalah malam Natal, malam penuh kebaikan. Dan Elisabeth pun memutuskan untuk menerima mereka.

Tak lama, pintu kembali digedor. Kali ini yang datang adalah empat orang prajurit Jerman. Sekali lagi, Elisabeth mengizinkan mereka masuk, namun dengan dua syarat: menaruh senjata mereka di luar, dan dilarang bertengkar dengan prajurit-prajurit Amerika di dalam. Para prajurit Jerman itu kaget, namun akhirnya mereka setuju. Kabin terpencil itu tiba-tiba saja menjadi sesak oleh anak-anak muda berseragam.

Para prajurit yang sejatinya tengah berperang itu kini berada dalam situasi yang unik. Namun, berkat kharisma Elisabeth, mereka semua memutuskan untuk tidak bertengkar, gencatan senjata. Hidangan santap malam pun disiapkan, dan kini para prajurit itu duduk semeja untuk makan malam dan menginap bersama layaknya sahabat.

Pada pagi harinya, mereka memutuskan untuk berpisah. Salah seorang prajurit Jerman memberikan kompas dan menunjukkan letak markas pasukan Sekutu, agar ketiga prajurit Amerika itu tak tersesat lagi. Kedua kubu itu pun saling bersalaman, mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih kepada Elisabeth yang telah menyuguhkan mereka sebuah malam Natal yang luar biasa.

Kisah ini diceritakan oleh Fritz dalam artikel berjudul “Truce in the Forest”, yang diterbitkan The Reader’s Digest edisi Januari 1973. Kisah ini pun menjadi populer, bahkan Presiden Amerika Ronald Reagan mengutipnya kala berpidato untuk mendorong rekonsiliasi politik-militer Jerman dan Amerika di kota Bitburg, Jerman, pada 1985.

Sejarawan Peter Caddick-Adams dalam Snow & Steel: The Battle of the Bulge, 1944-45 menulis bahwa Fritz, kini telah pindah ke Amerika, berhasil melacak salah seorang prajurit tersebut, yang ternyata bernama Ralph Blank dari Infrantri ke-121. Keduanya kemudian bertemu dan bernostalgia bersama-sama tentang pengalaman Natal yang tak biasa tersebut dengan penuh canda tawa.

Peristiwa di kabin keluarga Vincken itu terjadi dalam Pertempuran Bulge yang mematikan, setidaknya 80.000 prajurit Amerika dan 100.000 prajurit Jerman tewas selama 16 Desember 1944 – 25 Januari 1945, dan membuktikan bahwa kemanusiaan masih bisa hadir dalam kondisi kacau balau sekalipun. Dalam hal ini, perayaan Natal-lah yang menjadi pemicunya.

Saya percaya bahwa hari Natal bukan hanya momen perayaan penting bagi umat Kristiani di dunia, tetapi juga bagi setiap insan manusia yang percaya bahwa sisi kebaikan dan perdamaian dari semangat Natal adalah satu dari sekian banyak roda gigi penggerak kincir bernama toleransi; baik toleransi spiritual, ideologi, maupun sosial.

Sederhananya, kehadiran Natal merupakan ruang terbuka bagi setiap orang untuk menunjukkan sisi kemanusiaannya.

Hal serupa, yang skalanya lebih besar, juga pernah terjadi dalam Perang Dunia I. Kini kita lebih mengenalnya dengan nama ‘Christmas Truce’, atau gencatan senjata Natal, yang terjadi di paruh awal teater Perang Dunia pada 1914.

Ketika pasukan Jerman dan Prancis-Inggris tengah saling menerkam di front Barat, para prajurit rendahan di kedua belah pihak menjawab seruan Paus Benediktus XV untuk melaksanakan gencatan senjata demi menghormati Natal, meskipun pada umumnya atasan-atasan mereka melarang karena menganggap melakukan kontak yang bersahabat dengan musuh akan menurunkan daya bunuh para prajuritnya.

Di berbagai wilayah yang menjadi kantong-kantong pertempuran, para prajurit di garis depan secara spontan dan sporadis keluar dari garis-garis pertahanan masing-masing untuk bercengkrama layaknya sahabat. Beberapa orang menggunakan kesempatan tersebut untuk saling bertukar makanan, rokok, cinderamata, dan barang-barang logistik lainnya.

Bahkan terjadi pula pertandingan sepakbola dadakan. Para prajurit Inggris dan Jerman yang terjebak di parit-parit mereka melepaskan rasa tegang dengan keluar ke tanah tak bertuan yang tengah mereka perebutkan (no man’s land) dan bermain sepakbola dengan benda apa pun yang bisa mereka tendang dan menggelinding.

Salah satu pertandingan tersebut, yang terjadi di sektor Frelinghien, Prancis Utara, berakhir dengan skor 3-2 untuk pihak Jerman, sebagaimana disaksikan dan dilaporkan oleh Letnan Johannes Niemann dari Resimen Royal Saxon ke-133, pasukan Jerman.

Bagaimana dengan sekarang?

Dalam perang berskala global yang tengah kita hadapi sekarang ini, melawan kelompok teror yang berideologi religius, ekstrem, dan radikal (ISIS), saya melihat semangat kemanusiaan dalam Natal tidak menjadi hal yang dapat lagi dihormati. Misalnya saja belum lama ini ketika sebuah serangan truk ke sebuah pasar Natal di Berlin, Jerman, menewaskan sembilan orang dan melukai sejumlah lainnya. Dasarnya, karena mereka menganggap Islam sebagai “belang” dominan, pemenang, dan satu-satunya dalam ragam warna agama-agama di dunia ini.

Sedangkan di dalam negeri, polemik pengucapan selamat hari Natal dan razia atribut-atribut Natal seakan sudah menjadi bahan debat tahunan, dan tahun ini agaknya sedikit banyak disisipi oleh bumbu politik. Hasilnya satu: keresahan yang sejatinya tidak perlu diadakan malah beredar dan menihilkan semangat Natal itu sendiri.

Karena itu, marilah kita, umat agama apa pun, menggunakan momen Natal untuk merenungi dan mempertebal semangat kemanusiaan di dalam diri masing-masing, bukan menjadikannya ajang permusuhan.

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.