Juni mendatang akan dilangsungkan Pilkada 2018 di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Para kandidat sudah mulai mensosialisasikan visi misi dan program kerja masing-masing sebagai bahan kampanye. Tujuannya jelas, untuk menarik simpati masyarakat, mendulang banyak suara, dan menjadi jawara di Pilkada 2018.
Lalu, apakah isu kesehatan juga menjadi prioritas dari para kandidat? Untuk menjawabnya tentu membutuhkan data visi misi dan program kerja dari masing-masing kandidat. Sayangnya, belum semua website KPUD Provinsi menyediakan informasi ini. Refleksi isu kesehatan dalam Pilkada dapat kita lihat dari Pilkada 2017 lalu sebagai gambaran posisi isu kesehatan di Pilkada 2018.
Pilkada 2017 diikuti oleh 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Untuk level provinsi, dapat diketahui bahwa dari 20 kandidat hanya 18 kandidat yang menyebutkan isu kesehatan dalam visi misi mereka (1 provinsi tidak ditemukan visi misi dan program kerja). Jumlah kandidat yang menyebutkan detail program kesehatan lebih sedikit lagi, yaitu hanya 11 kandidat. Sedikit kandidat yang menyebutkan detail program kesehatan mengindikasikan bahwa tidak semua kandidat paham masalah kesehatan. Banyak kandidat yang memaknai isu kesehatan terbatas pada konsep pelayanan kesehatan.
Sebanyak 9 kandidat Pilkada 2017 mencantumkan program jaminan kesehatan sebagai salah satu program unggulan. Ironisnya, hanya 2 kandidat yang menyatakan akan melakukan integrasi dengan BPJS Kesehatan sebagai pelaku Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sisanya 7 kandidat tidak akan melakukan integrasi dengan BPJS Kesehatan. Dengan mencantumkan program layanan kesehatan gratis tanpa integrasi dengan JKN, seakan mengumumkan jika kandidat tidak paham aturan sistem kesehatan di Indonesia. Hal ini dikarenakan tahun 2019 Indonesia harus sudah mencapai Universal Health Coverage (UHC) melalui skema JKN dengan pengelola BPJS Kesehatan.
Nasib Program Kesehatan
Program kesehatan yang tidak dirumuskan dengan pertimbangan kebijakan kesehatan pada level nasional dikhawatirkan tidak akan bertahan lama bahkan tidak dapat terealisasi. Dana yang akan digunakan untuk pembiayaan kesehatan akan didapatkan dari APBD masing-masing daerah dengan jumlah yang tentu saja terbatas.
Walaupun UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 telah mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 10 persen dari total APBD, faktanya tidak semua wilayah melaksanakannya. Gambar 1 menginformasikan bahwa pada tahun 2015 saja masih ada 25 provinsi dengan anggaran kesehatan kurang dari 10 persen dari total belanja APBD.
Dilihat dari berapa banyak APBD yang dialokasikan untuk aspek kesehatan saja dapat dilihat bahwa isu kesehatan belum menjadi primadona pemerintah daerah. Lantas, sanggupkah pemerintah daerah bertahan dengan program layanan kesehatan gratis tanpa terintegrasi dengan kebijakan pusat (JKN)?
Gambar 1. Persentase Belanja Kesehatan Terhadap Total APBD, 2015
Semenjak otonomi daerah, memang pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Akan tetapi, bukan berarti kebijakan yang dibuat pada level provinsi, kabupaten, atau kota bertentangan dengan kebijakan nasional.
Bahkan hal ini sudah disebutkan dalam UU No. 23 Pasal 67 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melaksanakan program strategis nasional, termasuk mencapai UHC 2019 melalui JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Jika kebijakan yang dibuat pada level daerah bertentangan dengan level nasional, bagaimana mungkin akan terealisasi?
Pentingnya Prioritas Masalah Kesehatan
Memandang aspek kesehatan sebagai sesuatu yang remeh hanya akan berdampak negatif pada perkembangan pembangunan ekonomi. Mustahil dicapai perkembangan ekonomi tanpa dibarengi dengan status kesehatan masyarakat yang sehat.
Bagaimana mungkin masyarakat akan produktif jika sakit-sakitan? Dengan modal kesehatan, masyarakat akan lebih produktif dan secara otomatis dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara.
Bayangkan jika masyarakat Indonesia sakit-sakitan. Kondisi ini jelas akan menjadikan potential lost, baik akrena tidak mampu lagi bekerja atau pun karena pengeluaran biaya kesehatan.
Konsep ini sejalan dengan hasil penelitian tentang Analisis Pengaruh Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Kota Padang (Yuhendri, 2013). Orang yang sakit tidak akan bisa bekerja, bahkan akan cenderung mengeluarkan biaya mahal mulai untuk layanan medis sampai kebutuhan logistik mencapai fasilitas kesehatan.
Janji Kesehatan di Pilkada
Fakta-fakta lapangan tersebut adalah fakta Pilkada 2017. Masyarakat tentunya sangat berharap bahwa janji kesehatan di Pilkada 2018 akan berbeda. Para kandidat dan masing-masing tim sukses harus menyusun janji kampanye sesuai dengan permasalahan kesehatan yang ada di masing-masing daerah.
Selain menyesuaikan janji kampanye dengan permasalahan lokal, kandidat dan tim harus paham mengenai kebijakan pada level atas agar terjadi sinkronisasi program. Singkronisasi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan program dan realisasi janji kampanye itu sendiri. Jangan lupa selalu sesuaikan variasi program dengan anggaran yang tersedia di daerah.
Jangan sampai, janji kampanye kesehatan hanya bertengger dan bergaung manis sewaktu masa kampanye. Realisasikan, demi derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik.