Saat itu saya tengah asyik menikmati sesi diskusi dengan Jan Breman, sosiolog Universitas Amsterdam, yang kebetulan tengah bertandang ke Historia, majalah sejarah tempat saya pernah bekerja. Di hadapan redaksi, Jan dengan antusias menceritakan tentang bukunya yang baru terbit di Indonesia, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, sebuah kajian sosial dan sejarah tentang sistem tanam paksa oleh VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Priangan, Jawa Barat, pada kurun 1720-1870.
Kami melontarkan banyak pertanyaan kepada Jan terkait penelitiannya ini dan dijawab dengan apik olehnya. Ia kemudian menyinggung bagaimana tesis penelitiannya yang gamblang menyatakan bahwa “cultuurstelsel pangkal kemelaratan koloni”, tidaklah populer di kalangan sejarawan tradisional Belanda yang masih meyakini bahwa “cultuurstelsel pangkal kemakmuran koloni”.
Jan kemudian menceritakan pertemuannya dengan salah satu sejarawan kolonial (entah sesama almamaternya atau dari Universitas Leiden, saya lupa) yang juga tengah meneliti cultuurstelsel untuk mendiskusikan tesisnya. Keduanya ternyata menemukan sebuah dokumen sejarah yang sama.
Sederhananya, dokumen tersebut menyajikan data-data primer yang menguatkan tesis Jan, bahwa memang benar cultuurstelsel bukannya memakmurkan Priangan, justru menimbulkan tragedi bagi kaum pribumi yang tenaga dan tanahnya tereksploitasi oleh sistem kolonial.
Saya bertanya kenapa sang sejarawan tidak menggunakan sumber primer tersebut. “Entahlah,” ujar Jan bernada kesal. Tapi kami sama-sama tahu, bahwa sang sejarawan telah memilih untuk tidak mengindahkan eksistensi sumber yang berbahaya bagi idealismenya sebagai sejarawan pendukung citra positif sistem kolonial.
Baginya, dokumen tersebut tidak dihitung, dihilangkan dari alam pikir akademisnya untuk mendukung sejarah versinya. Hal itu cukup awam di kalangan sejarawan, karena memang sulit sekali untuk bertindak 100% objektif. Toh, sejarawan juga manusia.
Namun, apakah etis untuk bersikap tak acuh terhadap sebuah dokumen penting yang mengungkapkan fakta dan memiliki imbas terhadap pemahaman kita akan suatu masalah? Terlebih jika masalah itu bukan di masa lalu, tapi masa sekarang.
Yang saya maksud adalah masih simpang siurnya keberadaan dokumen resmi laporan dari Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir, aktivis hak asasi manusia yang tewas dibunuh di pesawat kala tengah menuju Amsterdam pada tahun 2004. Kematiannya menuai kontroversi, karena Munir adalah salah satu aktivis HAM yang paling vokal, dan terdengar isu bahwa ada keterlibatan oknum-oknum pemerintah dalam kasus pembunuhan tersebut.
Itulah alasan mengapa TPF melakukan penyelidikan. Namun berita kehilangan dokumen laporan tersebut menunjukkan keengganan pemerintah bersikap serius dalam menuntaskan kasus Munir. Mungkin benar bahwa pemerintah tengah menyembunyikan sesuatu.
Jelasnya, negara ini cukup familiar dengan masalah kehilangan, dan keengganan akut untuk mencari kebenaran dalam kasus-kasus berimplikasi sosial politik yang serius, seakan menjadi bara api yang enggan disentuh oleh para pelaku instansi negara.
Misalnya saja pencarian Surat Perintah Sebelas Maret yang perkembangannya jalan di tempat, padahal benda tersebut bukti penting untuk memahami lembaran hitam Tragedi 1965 dan mungkin dapat mempercepat proses rekonsiliasi yang seakan terjadi berlarut-larut di masa kini.
Ada pula beberapa naskah penting negara ini yang sempat hilang sebelum akhirnya ditemukan kembali dalam koleksi-koleksi perseorangan. Misalnya saja, naskah Proklamasi versi ketikan Sayuti Melik yang diselamatkan dan disimpan oleh suami istri Yuliarso dan Soejati Surowidjojo sejak tahun 1948 atas usulan Adam Malik, saat kondisi Republik tengah terdesak oleh agresi Belanda. Naskah tersebut baru diserahkan kembali kepada negara tahun 1960, 12 tahun kemudian.
Naskah Proklamasi versi tulisan tangan Sukarno justru lebih lama disimpan secara pribadi sebelum dikembalikan kepada negara. Penyimpannya adalah B.M. Diah, wartawan senior dan saksi perumusan naskah Proklamasi. Diah menyimpan naskah tertulis yang sempat dibuang oleh para perumusnya tersebut selama 47 tahun sebelum dikembalikan kepada negara tahun 1992.
Dari contoh-contoh tersebut kita dapat melihat bagaimana sistem administrasi dan pengarsipan negara ini masih jauh dari kata memuaskan. Padahal kita sering menggembar-gemborkan diri sebagai bangsa dan negara yang besar, namun untuk mengurus dokumen-dokumen kenegaraan yang vital saja masih kelimpungan. Mentalitas aparatur negara yang buruk, dan juga tendensi oknum-oknum dalam pemerintahan untuk menguasai informasi-informasi sensitif membuat keadaan menjadi jauh lebih runyam dan membingungkan publik luas.
Sikap setengah hati dan pembiaran terhadap hal-hal yang hilang ini merupakan gelagat tidak baik. Apakah pemerintah telah memutuskan untuk tutup buku terhadap kasus Munir, mengingat eksekutornya, Pollycarpus Budihari Priyanto, sudah diadili? Itu sikap yang konyol dan hanya dapat diterima oleh mereka yang berpikiran pendek. Sayang, hilangnya laporan TPF berkesan bahwa pemerintah ingin mengamini kekonyolan tersebut.
Mungkinkah pemerintah sengaja menghilangkan dokumen TPF? Yang jelas, soal hilang-menghilangkan ini bukan hal baru di Indonesia. Tan Malaka yang dieksekusi tentara pada tahun 1949 di Kediri, Jawa Timur, makamnya sengaja disembunyikan. Wikana, tokoh pemuda pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia juga menghilang setelah dijemput tentara saat huru-hara Tragedi 1965.
Belum nama-nama lain yang menjadi korban dalam kasus-kasus penculikan aktivis HAM di masa Orde Baru yang sampai sekarang tak jelas keberadaannya. Sejarah membuktikan bahwa negara kita memang berpengalaman dalam urusan “menghilangkan”, baik benda maupun nyawa.
Terakhir, saya berharap pemerintah tidak sekadar membangun opini di sekitar masalah kehilangan dokumen laporan TPF ini, namun benar-benar fokus menuntaskan misteri pembunuhan Munir demi keadilan dan catatan positif sejarah penegakan HAM Indonesia.