Pada Senin-Selasa (23-24 Mei) ini Muhammadiyah menyelenggarakan Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan di Yogyakarta. Mengambil tema “Jalan Perubahan Membangun Daya Saing Bangsa,” acara ini berupaya untuk membuat formulasi dan strategi menyelesaikan berbagai problematika sosial yang terjadi di negeri ini.
Demi kepentingan itu, ada banyak politisi, pejabat pemerintah, ilmuwan dan profesional di bermacam bidang yang diundang untuk urun rembug dan menuangkan gagasan kebangsaannya.
Inisiatif mengumpulkan para pakar dan mencari jalan keluar bagi masalah-masalah kebangsaan itu sekali lagi menegaskan komitmen Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Islam yang memiliki kepedulian terhadap realitas sosial. Sebagaimana sejak kelahirannya (18 November 1912), ia telah menghadirkan jawaban-jawaban bagi berbagai bentuk tantangan modernitas yang muncul di era kekinian.
Sebab itu, tak salah bila Moeslim Abdurrahman menyebut Muhammadiyah lebih dari sekadar gerakan Islam. Cendekiawan muslim yang populer dengan gagasan “Islam Transformatif” tersebut menggolongkan Persyarikatan ini juga ke dalam gerakan sosial karena dianggap berhasil menggeser orientasi gerakannya dari yang sebelumnya anti-bid’ah, anti-takhayul, dan anti-khurafat menjadi sangat praktis anti-kemungkaran sosial.
Jika pada awal-awal berdiri, jalan pembaruan (tajdid) dimunculkan dalam bentuk pembangunan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, namun seiring dengan problem modernitas yang semakin pelik, maka upaya yang lebih transformatif pun dilakukan Muhammadiyah, seperti turut andil mengadvokasi kebijakan hukum (jihad konstitusi), penanggulangan bencana (Muhammadiyah Disaster Management Center/MDMC), dan gerakan filantropi Islam (Lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah/Lazismu).
Akhir-akhir ini juga Muhammadiyah aktif menyuarakan pembelaan hak asasi manusia (HAM), deradikalisasi agama, serta mengawal negeri ini agar terbebas dari persoalan korupsi. Akan tetapi, keterlibatan Muhammadiyah bersama pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah negeri yang semakin bertumpuk itu tidak cukup bila hanya bergerak sendiri-sendiri. Semua elemen publik perlu ikut campur, berpikir, dan mengeluarkan tenaga karena problem kebangsaan saat ini telah meliputi seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan.
Problematika sosial yang bertumpuk tersebut sangat disayangkan karena pada dasarnya bangsa ini memiliki banyak sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya masing-masing. Apalagi dari sisi kuantitas kelompok menengah produktif, Indonesia cukup dipandang karena mempunyai sekitar 130 juta jiwa kaum muda. Mereka berpendidikan tinggi dan senantiasa terhubung dengan internet, yang berarti para generasi Y ini punya kecenderungan berpikir terbuka dan suka terhadap perubahan.
Tetapi kenyataan yang sesungguhnya tidak demikian adanya. Kemiskinan tetap membelenggu, korupsi “membudaya”, ketidakadilan sosial merajalela, serta kriminalitas terhadap anak dan perempuan terus bertambah. Tak pelak, bila problem-problem sosial ini memiliki andil besar terhadap terpuruknya daya saing negeri.
Sebagaimana dilaporkan World Economic Forum (WEF) 2015, bahwa daya saing Indonesia berada di peringkat ke-37 dari 140 negara, turun 3 peringkat dari tahun 2014. Dibanding dengan negara tetangga, Indonesia masih kalah dengan Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (18), dan Thailand (32).
Untuk menggenjot daya saing bangsa, pemerintah perlu kerja keras dan fokus memperbaiki banyak hal. Di antaranya membersihkan birokrasi dari korupsi, perbaikan infrastruktur, menjaga stabilitas ekonomi, pasar finansial dan lingkungan bisnis, menjamin pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan baik, mencetak sebanyak mungkin tenaga kerja terampil dan inovatif, serta menghubungkan kinerja pembangunan dengan kecanggihan teknologi.
Beban berat yang diemban pemerintah tersebut akan mudah ditangani bila organisasi-organisasi civil society bergerak secara aktif dan tidak pragmatis. Berani menjauhi pikiran pragmatis ini sangat perlu dikemukakan. Sebab, saat ini mudah ditemui lembaga-lembaga sosial yang sengaja bermitra dengan pemerintah hanya untuk kepentingan bisnis, bukan semata-mata berperan serta menyelesaikan problem kebangsaan.
Sebagai organisasi masyarakat Islam yang memiliki keanggotaan besar, Muhammadiyah harus tetap berdiri tegak menyuarakan cita-cita kenabian (profetik). Meski terkadang apa yang disuarakannya pedas di telinga pemerintah dan tidak populis di hadapan publik, langkah dan gerak Muhammadiyah selama ini dapat menjadi bukti atas komitmennya membangun peradaban bangsa yang berkemajuan.
Menurut hemat saya, satu hal yang menjadi komitmen Muhammadiyah untuk terus menyuarakan suara keadilan, yaitu meski ayat-ayat al-Qur’an menyebut kita sebagai umat yang satu (ummatan wahidah), sesungguhnya dalam dunia nyata kita terbagi ke dalam dua kelas, yaitu umat yang kaya dan umat yang miskin. Karena prinsip itulah yang sejak awal diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan melalui teologi al-Maun.
Ke depan, ada banyak peran yang perlu terus disuarakan Muhammadiyah melalui model gerakan dan pemikiran. Salah satunya adalah dengan menjadi gerakan civil society yang menanggapi isu-isu kebangsaan seperti masalah keadilan, prinsip egalitarian, diskriminasi gender, demokrasi, HAM, nasib upah buruh, ketenagakerjaan, dan krisis kemanusiaan universal yang lain. Peran-peran yang seperti ini perlu ditumbuhsuburkan agar bangsa kita segera tersadar bahwa sesungguhnya negeri ini sedang ditimpah krisis multiaspek yang butuh penanganan dengan segera.
Akhirnya, melalui Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan ini, kita berharap ada rumusan-rumusan baru yang bisa memicu berkembangnya pemikiran pembaruan di Muhammadiyah dan menghasilkan solusi-solusi nyata dalam rangka menyelesaikan masalah kebangsaan. Dengan demikian, ini akan menjadi awal yang baik bagi masa depan Indonesia yang berdaya saing tinggi.