Kamis, Maret 28, 2024

Momen Puitis El Chapo

Hamid Basyaib
Hamid Basyaib
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.

Joacuin ‘El Chapo’ Guzman sedang dalam pelarian ke El Salvador melewati Kolombia; ia diburu oleh seluruh aparat hukum Meksiko karena membunuh kardinal (ia tidak membunuhnya; tentara pun tahu, dan mereka hanya ingin mengambinghitamkan Guzman, bandar narkotik ambisius yang juga diburu oleh para bos dan rekan-rekannya sendiri).

Di kamar motelnya yang agak kumuh, El Chapo (Si Pendek) terbangun tengah malam. Ia gelisah. Ia takut tertangkap. Ia tahu bagaimana nasibnya jika tertangkap tentara, karena penangkapannya merupakan perintah langsung Presiden. Tapi mungkin ia lebih takut jika tertangkap oleh anak buah Aventanudos bersaudara; atau oleh Amado, seniornya di kerajaan bisnis narkotik; atau oleh Don Ishmael yang sudah kehilangan kesabaran terhadap ulah El Chapo.

Ia bangkit dari tempat tidur dan meraih gagang telepon. Dalam kesepian dan kecemasan akut, satu-satunya sandaran emosional bos kartel Sinaloa yang sangat kejam itu adalah ibunya — bukan salah satu dari tiga isterinya, bukan orang lain manapun. Ibunya, yang tetap tinggal di desa, yang dijauhi dan menjauhi El Chapo karena aksi-aksi jahatnya.

El Chapo memutar nomor telepon rumah ibunya. Sang ibu dengan agak mengantuk mengangkat telepon. Tapi El Chapo hanya terdiam. Haruskah ia menangis dan mengaku betapa takutnya ia saat ini? Bahwa ia sekadar ingin mendengar suara kasih dari orang yang melahirkannya?

Apakah ibunya akan berkomentar sinis seperti biasa? Adilkah jika ia meratap kepada ibunya, sedangkan selama ini nasihat sang ibu yang selalu tak berkenan dengan segala perilakunya, tak pernah digubrisnya? El Chapo buru-buru menutup telepon. Ia tak tahu harus berkata apa.

Di ujung sana, sang ibu mendengar tututututut nada putus. Tapi ia tetap berkata, “Hati-hati, Nak..”

Momen puitis itu membuat saya terpana. Betapa kuat adegan di serial Netflix “El Chapo” itu, sebuah kronik tentang jatuh-bangunnya seorang raja bisnis narkotik Meksiko yang paling kontroversial, yang mungkin lebih dramatis dibanding legenda Kolombia, Pablo Escobar.

Sang ibu tahu: penelepon tengah malam itu pasti anaknya. Ia tahu batin si anak sedang rusuh; ia bisa merasakan anaknya yang pemberani itu sedang dicekam rasa takut yang luar biasa. Segala nasihatnya yang selama ini tak digubris kini terbukti.

Tapi Joacuin adalah anaknya. Anak pertamanya. Mungkin ia memang membunuh kardinal dengan keji, membuat sang kardinal terkapar di pelataran bandara dengan tubuh penuh lobang peluru. Tapi anak gempal itu adalah anak kandungnya.

Maka, di gagang telepon kosong itu ia, yang tak tahu anaknya sedang berada di mana, berucap: “Hati-hati, Nak…”.

Hamid Basyaib
Hamid Basyaib
Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.