Sabtu, April 20, 2024

Militerisme dan Nasionalisme Baris-berbaris Pendidikan Kita

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Ada fakta gawat yang sedang kita hadapi. Pertama, dalam studi Endang Turmudi (2016), peneliti senior LIPI, 21 persen siswa menyatakan Pancasila sudah tak relevan. Kedua, 84,8 persen setuju agar Pancasila ditukar. Ketiga, jauh lebih gawat, 52,3 persen siswa sepakat dengan kekerasan atas nama solidaritas agama. Kalau kita jabarkan, hasil studi serupa begitu melimpah. Penelitian Wahid Institute, misalnya, perihal indikator dan kerukunan sosial keagamaan di komunitas muda menyebutkan bahwa 37 persen anak muda mendukung praktik radikalisme.

Masih banyak lagi fakta serupa yang terkuak dari hasil studi. Terakhir, mayoritas guru, terutama guru agama, malah ikut proaktif untuk mengantar siswa ke arah radikalisme. Maka, jangan heran jika kini sekolah menjadi ladang peternak kebencian. Kita masih ingat, apalagi pada momen-momen politik, dimulai pada Pilpres 2014, memuncak pada Pilkada DKI Jakarta hingga Pilpres 2019, anak-anak sekolah dilibatkan sebagai komprador politik. Mereka tampil dengan sangat teaterikal: mengeluarkan ancaman sadis hingga membawa senjata tajam.

Menghadapi ini, pendidikan diharuskan berbenah. Sebab, hal ini semua ditengarai sebagai bukti gagalnya pendidikan, terutama dalam mengolah karakter. Pemerintah sudah berbuat. Dibuatlah, misalnya, ide full day schooll. Karakter pun dicoba dibuat matematis: SD (80 persen karakter: 20 persen pengetahuan) SMP (60:40). Di sini, karakter menjadi bahan hitungan. Padahal, karakter bukanlah sesuatu yang bisa dihitung. Karakter berasal dari bahasa Yunani, chrassein (melukis, menggambar).

Tak Benci Militer

Karena itu, karakter adalah ciri khusus. Dalam tataran praktis, karakter adalah apa yang kita lakukan ketika tidak ada orang lain melihat. Kini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat ide yang unik untuk tidak menyebut konyol: menghadirkan militer ke sekolah. Semangatnya adalah untuk menanamkan jiwa korsa. Entah apa maksudnya jiwa korsa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari era nenek moyang hingga milenial belum jua memasukkannya sebagai daftar kata. Lewat ide ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan masuk ke kelas, yang konon katanya, untuk menumbuhkan pendidikan karakter selama dua pekan.

Saya curiga, ini program penanaman karakter atau proyek penanaman karakter? Apa bisa hanya dengan modal dua pekan, maka karakter akan tertanam? Inilah mengapa saya lebih cenderung paham bahwa ini “proyek”. Atau, katakanlah program, tetapi cenderung ngawur.

Saya menuliskan ini bukan karena benci militer. Hanya saja, jika misalnya ide ini adalah penataran salah satu dari cabang karakter, yaitu disiplin, apa hanya militer yang bisa mengajarkan disiplin? Semua kelompok punya disiplinnya sendiri.

Lagipula, apakah disiplin itu soal tepat waktu, soal rapi berbaris, soal manggut-manggut ketika mendengar guru berpidato? Untuk apa hadir tepat waktu kalau tak bekerja? Untuk apa mendengar kalau tak bertindak? Sekali lagi, saya tak benci militer. Saya juga tak benci jika konsep pendidikan militer diterapkan, seperti pramuka, misalnya. Sekolah-sekolah berlabel plus bahkan sudah menerapkan pendidikan yang diampu oleh militer secara khusus, dari sekolah hingga asrama. Dan, hasilnya, sejauh ini boleh dikatakan baik.

Di Sumatra Utara, misalnya, ada SMA Unggul Del (Luhut Binsar Panjaitan), SMA Matauli Pandan (Feisal Tanjung), SMA Soposurung (T.B. Silalahi), SMA Efarina (J.R. Saragih). Saya mengajar di bimbel hampir 10 tahun. Sudah banyak siswa dari sekolah berlabel plus ini yang sudah pernah saya ajari. Hasilnya, sekali lagi, baik. Namun, jika pendidikan adalah kendaraan untuk mengantar orang dari kebodohan menjadi pintar, sekolah-sekolah ini sama sekali tak ada bedanya dengan sekolah lain, kok, bahkan dengan sekolah pinggiran.

Dengan kata lain, ini semua sama sekali bukan bukti keberhasilan sekolah “militer”. Mereka hanya unggul karena sudah mendapat bibit unggul secara superketat. Bandingkan dengan studi Tom J.Parkins (2003) bahwa sekolah yang mengandalkan kualitas pembelajaran hanya 1 persen, sisanya, sebanyak 99 persen, hanya mengandalkan best input. Jadi, tak ada istimewanya, bukan? Kita bahkan belum sampai ke pendidikan yang benar-benar menerapkan sistem militer secara sembrono, yaitu kedinasan.

Sekolah kedinasan disebut-sebut sangat berkaratker. Mereka, konon, mengedepankan disiplin dan kesopanan. Namun, bukan sekali dua kali kita mendengar kisah pilu di sekolah kedinasan tentu saja. Atas nama kesopanan, atau sebutlah jiwa korsa, senioran sering kali memperlakukan junioran secara semena-mena hingga berakhir pada kematian. Apakah karakter seperti itu? Baik, karena ini menyangkut kedatangan militer ke sekolah yang, konon, datang untuk menanamkan karakter, saya jadi tertarik membahas seseharian dari skema penddiikan yang diampu militer hingga sekolah berkonsep militer.

Umumnya sekolah seperti ini tinggal di asrama. Saya sendiri pernah mengalami pendidikan serupa, meski yang mengawas bukan militer. Saya sekolah di SMA Seminar “Christus Sacerdos” Pematang Siantar. Kami tinggal di asrama. Diizinkan pulang ke rumah hanya tiga kali dalam setahun. Dengan kata lain, pertemuan dengan orang tua benar-benar sangat minim. Apalagi, konon, orang tua secara tak langsung dilarang untuk sering-sering datang untuk berkunjung. Sesehari kami ditata dengan ketat, mulai dari bangun pagi hingga tidur malam.

Anjing Terlatih

Begitulah selama empat tahun, kami melakukan hal serupa yang berulang. Lama-lama, semua (tubuh dan jiwa kami) seperti terlatih dan fasih. Manakala mendengar lonceng, misalnya, kami seperti langsung digiring ke kapel, ke lapangan, ke ruang makan, ke sekolah, dan sebagainya. Dengan kata lain, kami sudah sangat disiplin dan teratur. Hanya saja, ini hanya penampakan luar, sebab siapa dapat menyangkal bahwa jauh di baliknya, kami hanyalah “anjing-anjing” yang nurut pada tuannya, seperti dalam percobaan Ivan Petrovich Pavlov.

Pavlov adalah seorang behaviouristik terkenal. Dia pernah mengalami sekolah yang sama dengan saya di seminari karena orang tuanya berharap ia menjadi pendeta. Namun, Pavlov tak mau dikondisikan orang lain. Dia memilih menjadi dokter terkemuka, bahkan mendapat nobel di bidang fisiologi. Teori terkenalnya adalah classic conditioning. Konon, dengan teori ini, kita bisa mengondisikan dan mengharapkan sesuatu bekerja sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Kuncinya adalah melakukan rangsangan berulang-ulang hingga pada akhirnya mendapatkan aksi yang kita harapkan, seperti bagaimana Pavlov membunyikan bel berulang-ulang selama beberapa hari agar anjing mengeluarkan air liur. Yang mau saya utarakan di sini adalah bahwa betapa orang-orang yang dilatih dengan jadwal padat selama bertahun-tahun sebenarnya bisa membuat aksi yang kita harapkan. Masalahnya adalah, siapa sebenarnya yang mengharapakan dan membutuhkan aksi? Siapa yang memegang kendali?

Entah kenapa, saya merasa, jika militer masuk semakin jauh ke dalam konsep pendidikan, yang saya kahwatirkan bukan soal militer akan meninggalkan tugas mereka. Yang saya takutkan, apalagi benar-benar semakin berkonsep militer, siswa akan menjadi anjing-anjing Pavlov. Disiplin? Sangat! Tetapi, jauh di balik sana, kita hanya anjing-anjing yang terlatih. Lalu, bagaimana dengan kegawatan seperti dibahas di awal tulisan ini? Kita bahas lain kali saja. Lagipula, sebanyak 3 % oknum TNI terpapar radikalisme, kok!

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.