Kamis, April 25, 2024

Merebut Hati dan Mendapatkan Isi Dompet Milenial

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Abad ke-21 memperkenalkan Generasi Milenial, yang sering juga disebut Generasi Y, segmen demografi baru terdiri dari individu yang lahir mulai tahun 1980 hingga 1995, atau kini berusia antara 23 dan 38 tahun. Kalau ada tiga penanda generasi ini, mungkin yang paling menonjol adalah sangat beragam, berpendidikan lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, dan merupakan pengguna teknologi yang masif.

Yang juga menarik dari generasi ini adalah, banyak penelitian telah menemukan bahwa Milenial adalah yang paling banyak sadar lingkungan—yang kerap dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan beragam permasalahan lingkungan yang mereka lihat secara langsung. Di tahun 2006 saja, menurut College Explorer, 33 persen mahasiswa yang mereka survei menyatakan menyukai merek yang ramah lingkungan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa konsumen yang berpendidikan semakin khawatir tentang efek jangka panjang dari produk terhadap kesehatan mereka sendiri, terhadap masyarakat luas, dan dampak lingkungan produk yang mereka pergunakan.

Tidak mengherankan kalau kemudian banyak perusahaan melihat pergeseran tersebut sebagai peluang bisnis raksasa.  Kalau generasi sebelumnya dinyatakan tidak memiliki kepedulian yang memadai atas lingkungan sehingga memasarkan produk hijau dipandang sebagai pemasaran ceruk belaka, perhitungan di tahun 2020 saja telah menunjukkan bahwa peluang pemasaran bagi konsumen Milenial hijau diperkirakan membawa peluang bisnis USD54,3 miliar.  Dengan besaran peluang itu, perusahaan-perusahaan tentu tak bisa abai lagi terhadap kekuatan pasar hijau di kalangan Milenial.

Yang juga tak kalah manariknya, para Milenial ini adalah pemberi pengaruh yang kuat terhadap keputusan pembelian rekan dan keluarga luas mereka. Hubungan pertemanan yang dialami oleh milenial telah menciptakan tekanan lingkungan dan sosial untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, seperti preferensi merek.  Di dalam penelitian-penelitian yang dilakukan di negara-negara maju, tekanan sosial ditemukan menjadi pengaruh besar pada pembelian hijau perilaku orang dewasa—dan arah tekanan itu bukan berasal dari generasi yang lebih tua.

Selain itu, generasi Milenial adalah yang paling terdidik.  Sekitar 15 tahun lampau, Pew Research Center, menemukan kenyataan bahwa tekanan dari orang tua untuk mencapai pendidikan tingkat universitas dikombinasikan dengan kurangnya pekerjaan, lantaran resesi ekonomi telah mempengaruhi Milenial untuk tetap bersekolah.  Resesi selalu akan mempengaruhi konsumen muda untuk mengurangi pengeluaran pribadi mereka, sehingga mereka cenderung lebih pilih-pilih dalam mengambil keputusan pembelian.  Dan, tentu saja, pendidikan tersebut bertanggung jawab dalam meningkatkan kesadaran Milenial tentang isu-isu keberlanjutan.

Keputusan Pembelian Konsumen Milenial

Dengan latar belakang seperti itu, Leslie Lu, Dora Bock dan Matthew Joseph, kemudian melakukan penelitian lebih lanjut soal potensi pemasaran produk hijau kepada Milenial. Penelitian mereka, Green Marketing: What Millennials Buy, terbit di Journal of Business Strategy, Vol. 34/6 (2013). Walaupun penelitian tersebuat dilakukan terhadap Milenial di Amerika Serikat, beberapa komentator tampaknya setuju bahwa keberlakuannya bisa lebih luas daripada sekadar Milenial di sana.  Kepentingan mereplikasi penelitian sejenis juga sangat penting, agar di berbagai negara pemasaran hijau bisa lebih berkembang pesat.

Temuan mereka sangatlah menarik.  Pertama, meski beberapa korelasi dapat ditemukan di antara atribut produk dan niat untuk membeli produk hijau, tidak seluruh atribut produk itu menarik hati Milenial.  Produk hasil daur ulang, produk yang bersifat biodegradable, dan efek kesehatan yang positif, yang berasal dari pemanfaatan produk ramah lingkungan, menunjukkan hubungan yang paling kuat dengan niat pembelian Milenial.  Temuan ini menunjukkan bahwa, pemasar mungkin ingin mencurahkan lebih banyak perhatian pada ketiga atribut ini, ketika mengembangkan strategi pemasaran mereka. Khususnya, dalam promosi komitmen perusahaan dan sifat produk yang dihasilkannya.

Kedua, sama dengan hasil berbagai penelitian lainnya, para konsumen Milenial tidak mau mengorbankan atribut penting lainnya dari suatu produk hanya untuk alasan go green.  Penelitian terkenal, dari Jill Ginsberg dan Paul Bloom 2004, telah mengungkapkan bahwa kenyamanan, ketersediaan, harga, kualitas dan kinerja terus menjadi atribut penting ketika mempertimbangkan pembelian produk, termasuk produk yang dinyatakan hijau.  Apabila sejumlah atribut itu tak melekat pada produk hijau yang dipasarkan, maka sangat sulit buat pemasar untuk memenangkan isi dompet bakal konsumennya.  Ketersediaan produk di pasar dan promosi terus memiliki efek penting pada; apakah seseorang memutuskan untuk membeli produk hijau.

Ketiga, asosiasi merek memang berkorelasi positif dengan niat pembelian, namun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditemukan antara niat pembelian dengan daur ulang maupun sifat biodegradable. Dari hasil uji korelasi tersebut, kita dapat menafsirkan bahwa meskipun asosiasi merek perusahaan dengan pemasaran hijau memang terhitung penting, Milenial cenderung menempatkan karakteristik produk yang sebenarnya daripada sekadar asosiasi merek.  Temuan ini lebih lanjut menekankan bahwa, perusahaan harus mencurahkan lebih banyak perhatian untuk benar-benar menghijaukan produk mereka, serta mengimplementasikan komunikasi pemasaran yang mengartikulasikan atribut ramah lingkungan dari produk mereka secara masif.

Keempat, terdapat beberapa alasan mengapa Milenial tidak tertarik dengan produk hijau; dianggap terlalu mahal; tidak dapat membedakan antara produk hijau dan non-hijau; kurangnya kepercayaan terhadap klaim seputar produk hijau; dan kepercayaan bahwa produk hijau memiliki kualitas yang lebih rendah.  Kalau masalah pertama jelas memiliki dasar objektifnya, masalah kedua menunjukkan betapa perlunya perusahaan mengintensifkan upaya komunikasi pemasaran seperti bagaimana produk hijau perusahaan sebenarnya berbeda dengan yang non-hijau.

Menyediakan komunikasi yang jelas yang memungkinkan konsumen untuk dengan mudah membedakan antara produk hijau dan non-hijau cenderung menghasilkan peningkatan kesadaran akan perbedaan antara produk-produk ini, akibat dan pada akhirnya juga, peningkatan permintaan konsumen untuk produk hijau. Sementara, kurangnya kepercayaan seputar produk hijau kemungkinan besar berasal dari praktik greenwashing yang dilakukan sebagian perusahaan.  Karenanya, panduan untuk melakukan pemasaran hijau yang benar sangatlah diperlukan apabila perusahaan tak ingin kehilangan pasar Milenial yang skeptis.

Soal persepsi kualitas produk hijau yang lebih rendah dibandingkan dengan produk konvensional, sudah diidentifikasi dalam survei Roper di tahun 2002, sebagaimana yang dikutip oleh Ginsberg dan Bloom.  Sejumlah 41 persen konsumen menyebutkan tidak membeli produk hijau sebagai akibat dari kekhawatiran mereka terhadap kualitas yang lebih rendah.  Dengan demikian, penelitian Lu dkk, membuktikan bahwa sebelas tahun kemudian, persepsi kualitas rendah terus menghalangi konsumen membeli produk hijau.  Jelas, hal ini merupakan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan oleh perusahaan, baik lewat perbaikan mutu produk maupun komunikasi pemasaran.

Nasihat untuk Perusahaan

Di penghujung 2015, Nielsen, salah satu perusahaan strategi pemasaran paling terkenal di dunia, mengeluarkan hasil surveinya di 60 negara.  Penelitian itu, The Sustainability Imperative—New Insights on Consumer Expectations, menyebutkan kesimpulan pertamanya adalah: “Consumer brands that demonstrate commitment to sustainability outperform those that don’t.”  Tak mengherankan apabila judul yang kemudian dipilih Nielsen menunjukkan bahwa keberlanjutan sudah menjadi imperatif dalam pemasaran.

Yang juga sangat menarik adalah lima rekomendasi yang diberikan oleh penelitian tersebut.  Pertama, perusahaan yang mau sukses dalam memasarkan produknya haruslah memfokuskan diri pada minat yang tumbuh dari Milenial dan Generasi Z—mereka yang lahir mulai 1995.  Secara keseluruhan, jumlah konsumen yang bersedia membayar lebih untuk merek yang berkomitmen atas dampak sosial dan lingkungan yang positif terus meningkat, yaitu mencapai 66 persen pada tahun 2015 (bandingkan dengan 33 persen di tahun 2006). Hampir tiga dari empat konsumen berusia 34 dan di bawahnya bersedia membayar lebih.

Kedua, berfokus pada komitmen dampak sosial dan lingkungan sangatlah penting bagi suksesnya pamasaran.  Bagi 62 persen konsumen global, kepercayaan terhadap merek menempati urutan teratas faktor-faktor yang memengaruhi pembelian. Merek dapat memiliki peluang untuk meningkatkan kepercayaan dengan menunjukkan komitmen terhadap sosial dan kelestarian lingkungan, yang bahkan lebih penting lagi bagi konsumen yang bersedia membayar lebih.  Studi Reputation Institute di bulan Oktober 2018 juga menempatkan dampak sosial dan lingkungan sebagai penentu tertinggi reputasi perusahaan.

Ketiga, perusahaan perlu memiliki strategi keberlanjutan yang sesuai dengan pasar yang dibidiknya.  Konsumen di pasar negara maju lebih sulit dipengaruhi, dan sebagiannya sudah melihat keberlanjutan sebagai hal mendasar untuk keputusan pembelian. Buat mereka, perusahaan harus sudah menentukan tujuan sosial yang relevan dan kredibel serta memberikan nilai yang lebih besar kepada seluruh pemangku kepentingannya.  Sebaliknya, konsumen di negara-negara berkembang menampilkan prioritas tertinggi untuk pembelian berkelanjutan dan program-program sosial untuk masyarakat.

Keempat, pemasaran berkelanjutan adalah dukungan paling penting bagi perusahaan yang produknya berkelanjutan.  Mengkomunikasikan program-program yang baik bagi pemangku kepentingan perusahaan adalah sama pentingnya dengan menawarkan produk yang berkelanjutan.  Keduanya merupakan kunci untuk menarik dan mempertahankan konsumen. Bila seluruh kategori diukur secara global, 65 persen dari total penjualan berasal dari merek-merek yang hanya menggunakan taktik pemasaran saja untuk mengkomunikasikan upaya keberlanjutan.

Terakhir, tetap memikirkan strategi regional, kategoris dan demografis.  Untuk dapat menjadi unggul di dalam persaingan,  perusahaan harus menentukan tujuan sosial mereknya dan sepenuhnya memahami harapan konsumen.  Taktik pemasaran yang berbeda akan memiliki berbagai tingkat efektivitas berdasarkan wilayah, kategori dan kelompok umur tertentu.

There is only one thing stronger than all the armies of the world, and that is an idea whose time has come.” Demikian kata pujangga besar Victor Hugo.  Tampaknya Milenial di seluruh dunia telah menerima ide bahwa produk-produk itu tidak sekadar perlu memiliki atribut-atribut tradisionalnya. Keberlanjutan kini sudah menjadi pertimbangan penting di dalam keputusan pembelian Milenial, dan akan terus menguat pada generasi sesudahnya.  Perusahaan yang tak bisa memenuhi ekspektasi itu tampaknya akan mengalami kesengsaraan dan hanya menunggu waktu untuk menjadi catatan kaki dalam sejarah.

 

Ps: Tulisan ini adalah pengantar diskusi tentang gaya hidup dan politik berkelanjutan Milenial yang diselenggarakan di kampus Universitas Paramadina tanggal 21 November 2018.

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.