Senin, Agustus 11, 2025

Merawat Iman, Menyembuhkan Indonesia

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Deden Ridwan, alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Kategori Businessman Alumni UIN Syarif Hidayatullah---buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2004). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreatif, baik sebagai penulis, pegiat konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran (2024). Sebelumnya, dia pernah menjadi CEO Noura Publishing (Mizan Group), Presiden Direktur Exposé Communication (Mizan Group), dan Direktur Rumah Cerita & Creative Academy, Falcon Pictures. Pun pernah menjadi Staf Ahli Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila-UKP Pancasila. Kini, Deden menjadi Founder & CEO Reborn Initiative; sebuah perusahaan konten dan rumah produksi.
- Advertisement -

Indonesia sedang terluka. Bukan karena orang menjauh dari agama, tetapi karena iman kehilangan makna sebagai tempat berpulang. Di negeri yang mengaku religius ini, Tuhan kerap diteriakkan dan dikhutbahkan, namun nurani justru tenggelam. Agama dirayakan, namun kehilangan daya ubah dan gugah. Iman dikibarkan setinggi mungkin, tapi nilai-nilainya gugur di jalanan—di antara penghakiman sesama, ujaran kebencian, dan keretakan batin bangsa.

Di tengah hiruk-pikuk yang terus mengatasnamakan Tuhan, forum Kajian Titik-Temu yang digagas Nurcholish Madjid Society (9 Juli 2025) dengan tema “Beragama Inklusif, Membangun Indonesia Setara”, hadir sebagai oase sunyi: menggugah. Ia mengingatkan bahwa iman tak perlu dibenturkan agar menjadi terang, dan bahwa keberagamaan justru menemukan daya hidupnya saat dipertemukan, bukan dipertarungkan.

Tulisan ini bukan laporan sebuah kegiatan. Melainkan seruan nurani untuk bertanya ulang sekaligus bahan renungan bersama: masihkah iman menjadi cahaya yang memanusiakan, atau telah berubah menjadi bayangan yang mencemaskan dan bahkan menakutkan? Sebab jika agama tak lagi menghadirkan nilai-nilai kedamaian, keramahan, dan kemanusiaan sebagai fondasi, kita tak sekadar kehilangan iman, tapi juga arah sebagai bangsa. Sangat membahayakan!

Iman Inklusif

Iman inklusif bukan kelembutan kompromistis, melainkan kekuatan yang tercerahkan dan tersadarkan. Dalam masyarakat yang kian saling bersinggungan, keberagamaan yang menumbuhkan dialog dan empati adalah satu-satunya jalan agar iman tetap hidup, relevan, dan menyembuhkan. Dengan begitu, iman menjadi motor penggerak kehidupan yang lebih berkeadaban.

Agama hari ini tak kekurangan suara, tapi kerap kehilangan arah. Banyak yang fasih berbicara atas nama Tuhan, namun tak mampu mendengar jerit batin sesamanya sendiri secara mendalam. Tafsir menjadi keras dan kaku (tekstual), sementara kasih sayang, cinta dan kepekaan perlahan menghilang dari wajah keberagamaan. Agama tumbuh begitu pesat, namun ironisnya malah cenderung mematikan tenggang-rasa. Pun sifat rahman-rahim Tuhan hanya berhenti sebatas slogan.

Christian Smith dalam Why Religion Went Obsolete (2025) menegaskan bahwa agama akan kehilangan daya hidupnya jika gagal menjadi sumber makna moral-etis dan kohesi sosial. Pandangan ini senada dengan peringatan Nurcholish Madjid: bila agama tidak menjadi kekuatan pembebas dan pencerah, ia justru akan menjelma beban sejarah. Jika itu sampai terjadi, agama tampak hanya tinggal nama tanpa nilai, hingga kehadirannya di ruang-publik mungkin tak lagi diperhitungkan.

Agama semestinya menjadi jembatan, bukan pagar. Menyentuh manusia, bukan menghakimi. Jika iman digunakan untuk menyingkirkan yang berbeda dan memupuk curiga, maka yang tumbuh bukanlah spiritualitas (mujahadah), melainkan simbol kosong nirdaya kehidupan. Akibatnya, agama hanya berhenti di level “syariah” (nomos) tanpa menyentuh dimensi fundamental: kesadaran batin (erros).

Pandangan Ludwig Wittgenstein tentang language-game memperkuat hal ini. Setiap komunitas memiliki tata bahasa, pola komunikasi, dan sistem makna yang khas—tak bisa diseragamkan begitu saja. Begitu pun dalam keberagamaan: setiap tafsir dan ekspresi memiliki konteks sosial dan batiniah tersendiri. Maka tugas kita bukan memaksakan satu tafsir tunggal, melainkan membangun ruang saling pengertian. Empati dan dialog menjadi kunci. Karena iman sejati tak tumbuh dalam penyeragaman, tapi dalam penghormatan pada keragaman makna.

Iman yang dewasa tak resah pada perbedaan. Ia justru menjadikannya cermin untuk menajamkan cinta, memperluas kasih, dan meneguhkan kemanusiaan. Demi kepentingan melahirkan peradaban.

Jalan Pulang

Pertanyaan terpenting sekarang ini bukan siapa yang paling benar dalam tafsir, tapi siapa yang paling setia menjaga nurani. Apa gunanya beriman jika tak menjadikan kita lebih lembut dalam bersikap, lebih jujur dalam mencinta, dan lebih adil dalam menilai?

- Advertisement -

Seringkali, agama berubah menjadi menara eksklusif yang meminggirkan mereka yang tak sepaham. Padahal ia diturunkan bukan untuk membatasi, tetapi untuk membebaskan. Bukan untuk menegaskan superioritas, tapi untuk mengasuh yang terluka.

Indonesia tidak kekurangan tempat ibadah, tapi kita kerap kehilangan rumah kebersamaan. Maka tugas kita bukan memperluas syiar semata, melainkan menyuburkan cinta. Bukan menegakkan kekuasaan atas nama iman, tetapi menumbuhkan kepercayaan yang menghidupkan kemanusiaan.

Dalam konteks kebangsaan, iman yang memanusiakan adalah fondasi sosial-kultural yang kita butuhkan hari ini. Ketika publik saling mencurigai dan hidup terperangkap dalam kotak identitas, maka iman yang inklusif menjadi jembatan penting untuk menyembuhkan polarisasi dan membangun kembali rasa kebersamaan. Indonesia sedang mencari jalan untuk keluar dari kelelahan sosial akibat ketegangan identitas, dan dalam situasi ini, kehadiran iman yang membebaskan—bukan membelenggu—menjadi kebutuhan kolektif; bahkan sampai kapan pun!

Kita tak hanya membutuhkan pembangunan fisik dan ekonomi atau makan bergizi gratis, tetapi juga penyembuhan jiwa kebangsaan: rasa saling percaya, ruang aman untuk berbeda, dan kematangan dalam menyikapi pluralitas. Iman yang merawat keterbukaan terhadap the other bisa menjadi dasar etik untuk merumuskan solidaritas baru—bukan dengan menyeragamkan, tapi dengan saling menghargai. Maka, menyembuhkan Indonesia berarti juga menjaga imannya. Ya, tentu saja iman yang menjahit luka, bukan menambah sobekan.

Jika masih ada satu ruang—sekecil apa pun—di mana manusia bisa saling menatap tanpa curiga, saling menyapa tanpa prasangka, maka di sanalah harapan bisa dirawat. Di sanalah pula jalan pulang bermula: pulang ke iman yang meneduhkan, bukan mendominasi. Pulang ke keberagamaan yang menyantuni, bukan mengadili. Pulang demi meneguhkan kembali jalan cinta, bukan benci.

Karena iman bukan soal siapa yang paling nyaring menyerukan kebenaran, tetapi siapa yang paling setia menjadikan sesama merasa hidup dan dihargai sebagai manusia. Singkatnya, iman itu bermakna: memuliakan sesama manusia!

Dan jika agama tak lagi mampu memanusiakan, masihkah ia layak dijadikan cahaya?

 

 

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Deden Ridwan, alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Kategori Businessman Alumni UIN Syarif Hidayatullah---buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2004). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreatif, baik sebagai penulis, pegiat konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran (2024). Sebelumnya, dia pernah menjadi CEO Noura Publishing (Mizan Group), Presiden Direktur Exposé Communication (Mizan Group), dan Direktur Rumah Cerita & Creative Academy, Falcon Pictures. Pun pernah menjadi Staf Ahli Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila-UKP Pancasila. Kini, Deden menjadi Founder & CEO Reborn Initiative; sebuah perusahaan konten dan rumah produksi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.