Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini, kegiatan penindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap ditunggu-tunggu masyarakat. Alasannya, karena UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK sudah berlaku dan dianggap melemahkan penindakan ditambah keraguan publik terhadap pimpinan KPK terpilih sebagai sosok yang mampu menjadi pemimpin pemberantasan korupsi di negeri ini.
KPK yang saat ini dipimpin oleh Firli Bahuri memang telah dua kali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yaitu terhadap Bupati Sidoarjo dan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Namun dua OTT tersebut merupakan warisan dari era kepemimpinan pimpinan KPK sebelumnya.
Kondisi ini menjadi uji empirik terhadap UU KPK yang disebut memperlemah pemberantasan korupsi oleh banyak tokoh, aktivis hingga mahasiswa dalam menolak UU KPK beberapa waktu yang lalu. Namun bukannya menepis segala keraguan publik dengan menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi.
KPK di bawah nahkoda baru justru mempertontonkan gaya baru pula dalam pemberantasan korupsi. Padahal publik berharap dan menunggu KPK dapat menangkap buron seperti Harun Masiku, Nurhadi, Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, kemudian melanjutkan kasus bailout Bank Century, dan menuntaskan kasus pengadaan KTP elektronik.
Konferensi Pers Dengan Tersangka
Ada yang berbeda dari konferensi pers KPK pada Senin 27 April 2020 kemarin. Konferensi pers tersebut berlangsung secara virtual menampilkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersama Deputi Penindakan KPK Karyoto dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri. Di belakangnya ada orang yang merupakan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Ramlan Suryadi yang mengenakan rompi tahanan KPK tampak menunduk dengan posisi membelakangi kamera.
Dalam konferensi pers pengumuman kedua tersangka tersebut, KPK menghadirkan keduanya secara langsung. Hal ini memang tidak biasa dan menjadi kali pertama seorang tersangka yang menjalani penahanan secara perdana dipertunjukkan atau dipamerkan dalam konferensi pers pengumuman status mereka.
Gaya baru konferensi pers KPK ini tentu sangat identik dengan gaya kepolisian dalam pengumuman tersangka. Disamping itu, gaya ini berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) karena orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi belum tentu bersalah. Padahal Di era KPK sebelumnnya semua itu tidak pernah dilakukan, dimana setelah dilakukan OTT, KPK hanya memamerkan barang bukti dugaan korupsi, tanpa menyertakan para tersangka.
Penangkapan Tanpa Status Tersangka
Gaya lain yang ditampilkan KPK adalah penangkapan tanpa status tersangka, dimana Ketua KPK Firli Bahuri menyebutnya sebagai kerja senyap. Ini terjadi saat penangkapan dua tersangka baru dalam kasus dugaan suap proyek di Dinas PUPR Muara Enim. Kedua tersangka itu ditangkap pada Minggu 26 April 2020, lalu diumumkan keesokan harinya, Senin 27 April 2020.
Tersangka yang ditangkap yakni Ketua DPRD Muara Enim Aries HB dan Plt Kadis PUPR Muara Enim Ramlan Suryadi. Keduanya terlibat dalam kasus korupsi yang menjerat Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani. Dalam kasus ini, Aries dan Ramlan diduga turut menerima uang dari pengusaha Robi Okta Fahlefi, yang saat ini sudah divonis 3 tahun penjara. Aries diduga menerima uang sebesar Rp 3,031 miliar, sedangkan Ramlan diduga juga menerima uang dari Robi sebesar Rp 1,115 miliar dan telpon seluler merek Samsung Note 10 (kompas.com).
Penangkapan itu dilakukan tanpa mengumumkan penetapan tersangka terlebih dahulu padahal UU KPK memerintahkan untuk terbuka kepada publik. Pada sisi lain, bercermin pada KPK periode sebelumnya, gaya penangkapan dan pengumuman KPK periode sekarang bukan cara yang lumrah dilakukan lembaga anti rasuah ini. Pada pimpinan KPK sebelumnya, penetapan status tersangka selalu diumumkan ke publik terlebih dulu. Setelah itu, KPK melakukan pemanggilan terhadap tersangka tersebut untuk menjalani pemeriksaan.
Potensi Melanggar UU
Melihat gaya baru KPK saat ini tentu dapat berpotensi melanggar UU KPK, mengingat Pasal 5 UU tersebut tegas menyebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berpegang pada asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ini mengartikan bahwa masyarakat berhak tahu apa yang sedang dikerjakan oleh KPK.
Hal itu diketahui melalui publikasi ke media. Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK. Artinya demi kepastian hukum tentu KPK tidak seharusnya memamerkan tersangka saat konferensi pers agar terjaminnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Sementara itu, asas keterbukaan merupakan asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Sehingga setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Junaidi Abdullah:2016). Maka tidak mengumumkan status tersangka saat melakukan penangkapan tentu sebuah kekeliruan yang tidak harus dilakukan oleh KPK karena merupakan wujud keterbukaan dan pertanggung jawaban kepada publik.
Berdasarkan studi United Nation Development Program (UNDP) yang berjudul Institusi Arrangement to Combat Corruption: A comparative Study tahun 2005 menyebutkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi juga dipengaruhi oleh independensi komisi pemberantasan korupsi. Di mana indikator dari independensi dinilai dari tersedianya mekanisme yang transparan untuk menilai kinerja yang bersangkutan, sehingga dapat menjalankan fungsi tidak bias.
Untuk itulah gaya baru yang dipertontonkan KPK dengan menutup keterbukaan publik terhadap status tersangka bisa pelan-pelan mereduksi status independen KPK itu sendiri di tengah korupsi di Indonesia yang terus dianggap sebagai hypercorruption.