Selasa, Desember 3, 2024

Menyelamatkan Demokrasi dari Demoralisasi

- Advertisement -
ahok-djarot
Pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat di RSAL Mintohardjo, Jakarta, Sabtu (24/9). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/

Banyaknya aktor politik yang diduga, didakwa, bahkan dipenjara karena tindakan korupsi membuat wajah politik dan demokrasi kita semakin buruk. Ada proses demoralisasi dalam demokrasi. Adakah jalan keluar dari situasi yang buruk ini?

Istilah demoralisasi demokrasi pernah dikemukakan oleh Busyro Muqoddas pada saat memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menggambarkan banyaknya aktor-aktor yang seharusnya menjaga moral demokrasi justru merusaknya dengan tindakan amoral seperti korupsi. Aktor-aktor yang dimaksud adalah para politisi, terutama yang menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Berbicara tentang perilaku para politisi, tidak bisa terlepas dari institusi politik yang telah mengantarkannya menjadi pejabat publik, yakni partai politik. Kita sepakat bahwa partai politik merupakan pilar utama demokrasi. Artinya, demokrasi tidak bisa dibangun tanpa adanya partai politik. Pada saat di suatu negara partai politiknya rusak, maka akan rusak pula demokrasinya.

Karena pentingnya partai politik, pada masa pembentukan Indonesia dulu, Mohammad Hatta, pada 3 November 1945 mengeluarkan Maklumat yang antara lain berisi pemberian hak seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik.

Hatta mengeluarkan Maklumat itu karena menurutnya hanya dengan berdirinya partai-partai politik, Indonesia bisa membangun demokrasi. Partai-partai adalah lembaga politik yang didirikan oleh segenap rakyat yang dengan syarat-syarat tertentu diberi hak untuk mengikuti Pemilihan Umum yang pertama kali digelar tahun 1955. Dari pemilu inilah, terpilih para pemimpin yang berhak mewakili rakyat dalam parlemen atau badan perwakilan rakyat (konstituante).

Anggota konstituante adalah utusan partai-partai yang dipilih dan dipercaya rakyat untuk menyusun dan menetapkan undang-undang yang berlaku bagi segenap rakyat. Dengan melalui proses seperti inilah demokrasi bisa terbangun.

Sayangnya, Soekarno cenderung mengabaikan Maklumat itu hingga (antara lain) mendorong Hatta mundur dari kursi Wakil Presiden karena merasa sudah tidak lagi memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya membangun demokrasi. Seperti kita tahu, Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan partai-partai politik dan konstituante.

Demokrasi yang dibangun di atas fondasi partai-partai runtuh dengan sendirinya. Sistem politik Indonesia bergeser dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin merupakan pseudo demokrasi, yakni demokrasi seolah-olah yang hanya diatasnamakan karena pada hakikatnya bukanlah demokrasi.

Pseudo demokrasi itu kemudian berlanjut hingga era Orde Baru di bawah Soeharto yang secara formal menjalankan sistem politik berdasarkan demokrasi yang ciri-cirinya, antara lain, adanya partai-partai politik dan  pemilu yang dilaksanakan secara berkala. Tapi secara substantif, demokrasi yang dibangun Soeharto bukanlah demokrasi yang sebenarnya karena semua proses politik terpusat pada (kemauan) dirinya.

Gerakan reformasi Mei 1998 yang berhasil memaksa Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden yang sudah didudukinya selama lebih dari 32 tahun menjadi titik awal upaya mengembalikan substansi demokrasi. Demokrasi kembali menemukan momentum, partai-partai politik kembali hadir seperti mengulang pada era demokrasi liberal sebelum Pemilu 1955.

- Advertisement -

Membangkitkan kembali demokrasi yang sudah lama “mati” memang bukan perkara gampang. Mungkin karena terlalu lama terkungkung, kebebasan rakyat dalam mengekspresikan berbagai tuntutan politik cenderung tanpa kendali sehingga keadaban politik pun mewujud dalam wajahnya yang buruk.

Demokrasi kembali memasuki era kritis, bukan lantaran otoritarianisme kekuasaan, tapi karena kebebasan yang cenderung tak terkendali, dan karena kebebasan yang inheren dalam demokrasi (ternyata) juga memberi peluang yang luas bagi para aktor politik untuk melalukan korupsi.

Proses demokrasi yang berlangsung dalam perumusan dan penetapan anggaran, misalnya, telah dijadikan peluang untuk korupsi melalui timbal balik kepentingan, antara pihak politisi yang merumuskan dan menetapkan anggaran, dengan pemerintah (baik pusat maupun daerah) yang menerima kucuran anggaran, dan pihak swasta yang menjalankan proyek untuk memanfaatkan anggaran.  Maka, moral demokrasi sebagai sistem yang diyakini paling baik menjadi tereduksi karena tindakan korupsi para politisi. Moral demokrasi terseret dalam zona degradasi.

Yang menjadi tantangan besar kita saat ini adalah bagaimana menyelamatkan demokrasi dari zona degradasi ini? Kita menyadari sepenuhnya fakta demoralisasi demokrasi. Namun kesadaran ini tidak bermakna signifikan pada saat tidak dibarengi upaya untuk memperbaikinya. Di antara cara yang paling efektif untuk menanggulangi demoralisasi demokrasi adalah dengan memaksimalkan tranparansi. Semua proses politik yang terjadi harus bisa dikontrol oleh publik.  Rapat-rapat pengambilan semua keputusan politik tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Saya kira pola transparansi seperti inilah yang selalu diupayakan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Rapat-rapat pengambilan keputusan direkam dan di-upload di Youtube sehingga publik bisa menyaksikannya. Jika ada hal-hal yang dirasa kurang tepat, publik bisa langsung merespons melalui berbagai layanan pelaporan yang tersedia.

Aplikasi Smart City yang diberi nama QLUE juga menjadi sarana yang sangat efektif untuk transparansi dan akuntabilitas semua kebijakan politik yang dijalankan di DKI Jakarta. Dengan aplikasi ini, selain bisa digunakan warga untuk melaporkan segala jenis ketimpangan, atau segala hal yang dinilai tidak layak di tengah-tengah masyarakat Jakarta, Basuki juga bisa mencermati dengan lebih jeli kinerja aparat di bawahnya.

Bagi kalangan yang berpikir ideologis dan rumit tentang demokrasi, bisa saja berpendapat bahwa transparansi yang dilakukan Basuki terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai upaya untuk menyelamatkan demokrasi dari demoralisasi. Pendapat ini sah-sah saja, tapi menurut saya, serumit apa pun tugas yang kita hadapi, langkahnya harus dimulai dari yang sederhana.

Sejarah mengajarkan pada kita, tidak sedikit sesuatu yang kita anggap sederhana ternyata memiliki efek yang luar biasa.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.