Kamis, April 25, 2024

Menyambut Halloween: Agama Versus Kepercayaan di Indonesia

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.

Sejak pekan lalu, saya dan teman-teman sibuk menyiapkan sebuah pesta Halloween. Ketika saya kabari pacar saya yang berasal dari Eropa Barat bahwa saya sedang sibuk menyiapkan pesta Halloween, dia mencibir, “buat apa kalian bikin pesta Halloween? Itu, kan, budaya Amerika.”

Alasan kami hendak menyelenggarakan pesta adalah agar kami bisa menjadi hantu, selain untuk menjadi ajang penunjukan diri bahwa kami dari sisi belahan bumi merayakan kebudayaan milik belahan bumi satunya.

Saya melanjutkan saja rencana pestanya. Perdebatan yang muncul antara saya dan teman-teman adalah kebingungan siapa mau jadi hantu apa. Mulai dari teman yang mau jadi penyihir bintang karena dia sudah hampir 24 tahun menjomblo (ada sebuah kepercayaan yang populer bagi pemain video game apabila ada teman yang hingga usia 30 tahun masih melajang dan tidak pernah having sex, maka dia akan menjadi penyihir bintang/wizard); seorang teman lagi mau menjadi peri hutan karena peri hutan adalah perempuan yang dekat dan melindungi alam (asumsi dasar ekofeminisme). Teman saya satunya lagi ingin menjadi penyihir/witch karena untuk mengingat pembantaian penyihir perempuan di Salem pada abad kegelapan.

Saya mungkin akan menjadi kuntilanak, karena saya sendiri meneliti tentang mitos kuntilanak. Karena pesta Halloween, saya jadi kepikiran tentang nasib hantu sepanjang sejarah peradaban manusia Indonesia

shutterstock_156863897

Hantu-hantu dan Modernisasi
Ketika membandingkan hantu-hantu, kita hanya membayangkannya dari film yang kita tonton. Ketika saya meneliti kuntilanak, saya bertanya kepada beberapa orang yang mengaku pernah melihat kuntilanak. Beberapa orangtua menolak untuk menggambarkan kuntilanak karena mereka bilang itu adalah sebuah “kepercayaan”.

Kuntilanak dianggapnya adalah sebuah hantu/penunggu yang tidak punya intensi untuk menjahati. Penunggu akan bersikap baik apabila manusia baik dan akan bersikap sebaliknya tergantung dengan tindakan manusia.

Tidak seperti yang digambarkan di film-film, temuan saya atas cerita rakyat tentang kuntilanak menghadapkan saya pada kisah kuntilanak dengan selain beda perspektif tapi juga punya beragam gender dan profesi.

Dalam Religion of Java (1960) yang ditulis Clifford Geertz, hantu dan kepercayaan dijelaskan pada bab-bab awal dalam buku. Animisme yang muncul sebelum masuknya agama Kristen dan Islam menjadi sebuah kebudayaan yang diwariskan turun-temurun melalui mulut ke mulut. Tuyul, Sundel Bolong, dan Nyi Blorong disebut dalam penelitiannya tapi tidak dengan kuntilanak.

Lebih menarik lagi, dedemit yang disebut ditulis tidak berpakaian. Ini sesuai dengan keadaan penduduk asli Asia Tenggara pada masa pra-kolonial yang kebanyakan belum memakai kain dengan jahitan.

Hantu-hantu yang visualisasinya tidak menggunakan pakaian atau telanjang, seperti saya temukan dalam catatan Geertz maupun beberapa teks kuno dan Tarikh Melayu, kini kita temukan menggunakan berbagai pakaian dan pekerjaan yang sesuai dengan kehidupan kita masa kini. Kepercayaan tentang hantu hidup melalui mitos mulut ke mulut dan dituangkan dalam film. Film bisa menjadi sarana untuk melihat bagaimana realitas kepercayaan masyarakat sebagai sebuah teleskop.

Hantu selalu dilihat sebagai jiwa/roh yang meninggalkan tubuh yang mati. Kepercayaan dualisme antara jiwa-tubuh tidak bisa dilepaskan dalam kepercayaan akan hantu-hantu. Kemudian hantu, selain membawa ide tentang seseorang yang mati di masa lalu atau roh leluhur, juga menjadi semacam norma untuk mengatur melalui rasa takut.

Semakin hari jenis hantu semakin beragam seiring perkembangan peradaban kita. Ada Suster Ngesot, seorang perempuan yang berprofesi sebagai suster. Ada pula hantu pastor yang memegang kepalanya dengan pakaian pastor; pocong sebagai hantu yang beragama Islam. Orang beragama Kristen, Katolik, atau Hindu tentu tidak bisa menjadi hantu pocong.

Sundel Bolong tidak lagi telanjang tetapi memakai seragam sama dengan kuntilanak. Upaya kita memberikan pakaian pada hantu-hantu adalah bentuk kita mencoba untuk membuat hantu-hantu bisa hidup dalam dunia modern melalui pakaian. Walaupun, di sisi lain, seksualisasi terhadap hantu perempuan tak bisa hilang. Lihat saja bagaimana Si Manis Jembatan Ancol yang meninggal dengan pakaian kebaya bisa bangkit kembali menggunakan dress pendek dan ketat.

kuntil

Hantu dalam Kepercayaan dan Agama
Kepercayaan akan hantu bisa dilekatkan dari budaya animisme yang datang sebelum datangnya komunitas penyebar agama Islam dan misionaris Kristen. Kita melihat bagaimana norma memberikan stratifikasi terhadap kepercayaan tentang hantu dan roh dan agama “Allah”.

Jika Prof. Mun’im Syirri dalam kolom-kolomnya di Geotimes sering berbicara tentang agama-agama, khususnya Islam sebagai bagian dari peradaban modern, membandingkan agama dengan kepercayaan akan roh-roh leluhur, maka kepercayaan menjadi liyan.

Jeannette Marie Mageo dan kawan-kawan memberikan analisis gender perihal perbedaan God (Tuhan) dan Spirits (Roh-roh leluhur) dalam buku Spirits in Culture, History and Mind (1996). Menurut mereka, kebanyakan roh leluhur atau spirits adalah perempuan, sedangkan Tuhan diwujudkan sebagai laki-laki. Hantu tentu saja masuk dalam klasifikasi roh-roh. Ini menjawab mengapa lebih menakutkan hantu perempuan dan hantu perempuan lebih sering muncul di layar perak.

Tuhan mempresentasikan sebuah struktur dalam masyarakat. Sedangkan roh dan hantu-hantu seringkali menggambarkan masyarakatnya sendiri dengan beberapa kenyataan hidup pahit yang berusaha diingatkan dalam sejarah melalui mitos lisan dari generasi ke generasi. Hantu memiliki masa lalu pahit sebagai manusia dan beberapa hal yang dianggap tidak selesai di masa hidupnya.

Fakta sosial yang tragis dan menimpa minoritas tertentu, seperti perempuan dengan perkosaan, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, keamanan berkendara dan perang, memunculkan sebuah imaji tentang hal-hal yang belum selesai. Sebuah masalah masyarakat yang dianggap tabu untuk dibicarakan dan direpresi dalam bentuk ketakutan: hantu.

Orang-orang tua menganggap hantu, roh, dan penunggu tidak memiliki intensi jahat. Tapi dalam penyebaran agama, baik Kristen ataupun Islam, yang berusaha memberikan dan menyusun pengetahuannya sendiri, kepercayaan yang dianggap liyan mengubah roh yang tidak memiliki intensi menjadi jahat dan sejajar dengan setan seperti yang dijelaskan dalam kitab suci.

Peminggiran kepada kepercayaan disertai dengan ketakutan dan kebencian itu dituangkan dengan praktik mengusir hantu dengan doa-doa agama. Dan untuk itu, visualisasi akan roh/hantu/penunggu menjadi penting untuk mengetahui yang liyan. Hebatnya, kapitalisme mampu menangkap ini menjadi sebuah tontonan yang meraup uang.

Dan kami, kelompok dewasa muda, melalui tulisan ini berusaha memahami mengapa kami mau membuat pesta Halloween, berpikir ini bagian dari budaya populer yang membuat kami lupa pada kejamnya hidup barang sebentar.

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.