Minggu, Oktober 13, 2024

Menunggu Jawaban Partai Nasionalis

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Nama Michael Buehler menjadi percakapan politik luas, isu Perda Syariah kembali menyita perhatian publik. Ini semua gara-gara pidato politik Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie. Buehler sendiri sekarang adalah pengajar senior dalam bidang Comparative Politics di dalam departemen Politik Asia dan Kajian Internasional di SOAS, University of London.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah respon atas tulisan teman Facebook saya, saudara Yustinus Prastowo, yang mengomentari pidato Ketua Umum PSI tersebut. Secara ringkas, Yustinus menyebut bahwa pidato itu hanya memenggal sepotong kesimpulan dan gagal memberikan gambaran utuh tentang apa yang ditulis Buehler dalam The Politics of Shari’a Law: Islamist Activists and State in Democratizing Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2016.

Setelah membaca buku itu, ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan, terkait pidato Grace dan komentar saudara Yustinus.

Buehler membuat studi tentang Islamisasi politik di Indonesia dengan argumen yang menarik. Dua argumen utama yang dijadikan sebagai dasar atas studinya adalah pertama, perubahan dalam relasi kuasa di kalangan elite yang mendominasi aparatus negara berkontribusi pada proses Islamisasi politik, bukan merupakan gerakan dari bawah. Di sini pernyataan Grace Natalie menjadi benar adanya, di mana yang disebut elit di atas adalah elit dari partai politik yang sudah menduduki kekuasaan di daerah.

Hal ini menurut Buehler berbeda dengan sistem Orde Baru di mana Suharto menentukan secara otoritarian atas komposisi elite-elite di daerah. Karena situasi politik yang sudah berubah, maka elite partai yang sudah berkompetisi dalam pemilu bebas inilah yang menduduki kuasa di daerah-daerah. Mereka ini oleh Buehler dianggap sebagai joki atas dukungan rakyat (popular support).

Argumen kedua, elite yang mengontrol negara memiliki dominasi untuk menjembatani perubahan kelompok-kelompok kemasyarakatan. Dinamika kekuasaan baru di kalangan elite ini menjadikan mereka cukup “receptive” untuk menuruti tuntutan kelompok tersebut, terutama kelompok yang membantu atau menyediakan sumber daya yang menyebabkan elite tersebut memperoleh dan dan menjaga kekuasaan (h. 24). Sumber daya yang dimaksud oleh Buehler ini adalah hal-hal yang menurut para elite itu bernilai termasuk dalam hal ini adalah modal sosial (social capital), modal ekonomi dan modal kebudayaan seperti simbol-simbol dan barang-barang kultural.

Menurut Buehler, partai-partai Islam tidak memiliki modal jaringan yang cukup kuat di daerah-daerah. Parahnya, pada masa Orde Baru, partai-partai Islam tidak boleh memiliki organisasi dan struktur di bawah provinsi. Menurut dia, pada masa sekarang, hanya PKS lah yang memiliki jaringan baik di tingkat perkotaan, namun mereka belum bisa merambah ke tingkat pedesaan.

Menurut Buehler, justru yang memiliki kekuatan di daerah-daerah adalah organisasi-organisasi Islamist –dia memakai istilah Islamist dalam konotasinya yang agak halus untuk semua organisasi yang berorientasi pada gerakan politik keislaman—dibandingkan dengan partai Islam. Elite politik yang mengontrol kekuasaan inilah yang memiliki jaringan dengan organisasi-organisasi Islamist ini.

Pada musim politik, para elite ini menggunakan gerakan-gerakan keisalaman –Islamist, pemaknaan positif—untuk menjangkau masjid, mushola dan jaringan-jaringan keagamaan di daerah. Pada argumen kedua inilah, pernyataan Grace justru relevan, dan sebaliknya pendapat Yustinus yang memposisikan diri sebagai pengamat, ironisnya justru terdengar sangat kompromistis, sangat “memahami” prilaku elit partai nasionalis yang mendorong lahirnya Perda Syariah.

Lebih lanjut, Buehler menulis, kelompok-kelompok Islamis yang berada di luar struktur politik formal merupakan aliansi yang sangat berguna bagi elite politik untuk mencari uang secara tidak langsung. Adopsi hukum Syariah dalam hal ini menurut Buehler memberikan kesempatan bagi elite kekuasaan untuk mengakumulasi modal ekonomi misalnya para pemimpin lokal tersebut membuat Perda Syariah tentang pajak keagamaan dlsb.

Para pemimpin menggunakan uang daerah untuk mengikat kesetiaan jaringan lokal, makeler kekuasaan dan pemilih termasuk dalam hal ini adalah kelompok-kelompok Islamis.

Lalu bagaimana dengan Perda Syariah menurut Buehler? Dia mengatakan bahwa Perda Syariah adalah Perda yang memuat tiga kategori sebagai berikut. Pertama, Perda Syariah yang mengatur tata publik (public order) dan masalah social (social problems). Kedua, Perda Syariah yang mengatur soal penguasaan dan kewajiban keagamaan. Ketiga, Perda Syariah yang mengatur soal simbol-simbol keagamaan.

Buehler, dalam studinya, menyimpulkan jika hubungan maraknya Perda Syariah dengan partai Islam itu sangatlah lemah. Buehler menegaskan bahwa para penganjur Perda Syariah itu memiliki keterkaitan dengan Suharto (h. 187), bukan dengan partai Islam. Hal yang sangat menarik dalam pernyataannya: “In addition, secular parties controlled a majority of seats in all the parliaments that backed shari’a regulations between 1998 and 2013. Finally, an analysis of all localities with above-average support for Islamist parties outside the shari’a clusters showed that 80 percent of such localities had not adopted any shari’a regulation between 1998 and 2013” (h. 187-188).

Berdasarkan pernyataan Buehler ini, pertanyaan atau semacam tantangan Grace Natalie atas partai-partai nasionalis sebagai penopang gerakan Perda Syariah bukan merupakan ungkapan tanpa bukti akademis.

Lebih lanjut Buehler menyatakan jika adopsi Perda Syariah itu terjadi dalam dua variasi, temporal variance dan spatial variance. Temporal variance itu berarti bahwa masa yang paling tinggi pengadopsian Perda Syariah (bulk of sharia regulation), itu terjadi pada era yang tidak terlalu setelah kejatuhan Suharto pada tahun 1998. Pada masa Seharto sendiri sangat sedikit regulasi Syariah itu ditegakkan. Para pimpinan daerah yang berasal dari partai sekuler ini biasanya menerapkan Perda Syariah pada periode pertama kepemimpinan mereka. Spatial variance berarti bahwa pelaksanaan regulasi Syariah itu hanya terjadi di tempat-tempat tertentu, misalnya, dari 34 provinsi hanya ada 6 yang menerapkannya.

Dalam studinya dia mengatakan bahwa Islamisasi politik, terutama dalam bentuk Perda Syariah disebabkan lebih banyak bukan oleh partai Islam, sebab partai Islam sudah ada sejak Orde Baru di seluruh provinsi, namun Islamisasi politik hanya terjadi pada beberapa provinsi saja. Buehler menyatakan jika Islamisasi politik lebih banyak dihantarkan oleh gerakan-gerakan Islamist, yakni gerakan di luar politik formal (h. 188).

Buehler menyatakan jika 443 regulasi Syariah yang diadopsi pasca 1998 itu banyak terjadi di Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Hanya Jawa Timur yang tidak memiliki akar kuat dalam gerakan Islamis (h. 193). Terjadinya regulasi Syariah inipun kebanyakan di Kawasan kabupaten/kota. Pengadopsian Perda Syariah di Indonesia sejak 1998, menurut Buehler itu lebih banyak terjadi karena kapasitas negara yang lemah, tidak adanya keinginan politik atau gabungan dari keduanya.

Setelah menamatkan buku ini, saya justru melihat apa yang disampaikan Ketua Umum PSI adalah sebuah pertanyaan valid dan harus dijawab dengan jujur oleh partai-partai nasionalis. Sebagai seorang Islamic Scholar, saya merasa pendapat ketua umum PSI sebagai sebuah tawaran diskusi yang simpatik dan sangat menarik.

Sebaliknya, saya heran kalau ada pengamat yang justru melihat fenomena yang diungkapkan oleh Buehler itu dengan cara yang sangat kompromistis, yang mencoba memahami sikap partai nasionalis yang aktif merancang dan mendukung Perda Syariah.

Kini kita semua menunggu, apa jawaban para elite partai nasionalis terkait pernyataan PSI?

Sebagai akademisi, saya betul-betul menantikan perdebatan bermutu, dan PSI sudah memulainya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.