Jumat, Oktober 11, 2024

Menimbang Peluang Pemimpin Masa Depan

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais

Bangsa ini memerlukan penegak dari generasi berprestasi. Para pemimpin yang lahir dari zaman berbeda. Mereka yang memahami perubahan arus global dan tantangan era kiwari. Memenuhi panggilan untuk menggerakkan bangsa besar ini menyongsong terbitnya matahari.

Dalam perjalanan menuju 2024, banyak tokoh telah mempersiapkan diri. Ada yang pasang baliho sampai ke pelosok-pelosok dusun. Ada yang sibuk menyiapkan pasukan gorong-gorong. Ada pula yang terus membuat kegaduhan.

Ganjar, Anies, RK adalah beberapa nama yang tampak menonjol. Saya memang sengaja menarik nama Prabowo, karena daya tawarnya terus melemah. Usia menjadi musuh utamanya. Kemudian dinamika politik jadi ancaman yang kedua.

Selain itu, Prabowo adalah sosok lama. Generasi yang mestinya sudah duduk manis di belakang untuk menguatkan barisan. Bukan petarung yang harus berdarah-darah di palagan.

Selain nama-nama itu, sebenarnya ada kandidat lain, misalnya Erick atau Uno. Tokoh-tokoh baru yang memiliki peluang besar untuk maju. Saya memang sengaja mengeluarkan nama AHY, karena meskipun masih muda, kepemimpinan memerlukan virtu.

Dalam bahasa Machiavelli, virtu bukan hanya soal kejantanan, tapi juga ketegasan, kegesitan, bahkan mungkin kelicikan. Segala sesuatu yang diperlukan untuk mendistribusikan power. AHY tak punya itu.

Di papan atas, tiga nama yang saya sebut itu selalu menjadi sasaran pergunjingan nasional. Tapi banyak yang lupa, nama-nama di papan bawah bisa membalikkan keadaan. Karena masih ada cukup waktu untuk berjuang.

Erick Thohir misalnya, memiliki posisi tawar yang tak bisa diremehkan. Tanpa bendera partai saja namanya menyalip Airlangga dan Puan. Bayangkan jika dia ada di posisi mereka.

Di waktu yang tersisa ini, jika saja Erick bisa memaksimalkan popularitasnya, peluang untuk bertarung di papan atas masih terbuka. Erick menjadi alternatif lain jika ada kebuntuan pada nama yang itu-itu saja.

Selama ini Erick diingat publik sebagai sosok yang positif. Namanya yang pernah menjadi pemilik klub sepak bola Inter Milan terus dikenang. Meskipun itu semata urusan bisnis, tapi kemampuan Erick dalam mengelola bisnis internasional membuat banyak orang bangga. Ia membawa nama Indonesia.

Kesuksesan penyelenggaraan Asian Games juga telah mengukuhkan dirinya dalam ingatan kolektif. Jokowi sendiri mencatatkan peristiwa itu dalam himpunan kenangan yang dibanggakannya.

Ketegasannya dalam merombak BUMN juga dikategorikan sebagai bagian dari syarat kepemimpinan. Memang sebagai menteri, apa yang dilakukan Erick sesuai arahan Presiden. Namun kemampuannya bermanuver dalam gejolak politik harus digaris tebal sebagai kepiawaian dalam mengeksekusi.

Kekuatan-kekuatan lama yang bercokol di BUMN tentu akan memberikan perlawanan. Dan itu harus dijinakkan dengan cara-cara yang cerdas. Dengan perhitungan matang, bukan asal pukul dan terabas.

Kekurangan Erick saat ini karena dia tak memiliki basis wilayah. Bandingkan dengan Ganjar yang punya Jateng, Anies dengan Jakarta dan RK dengan Jabarnya. Mereka punya akar pemilih yang kuat, kerja tinggal melebarkan popularitas ke wilayah lainnya.

Berbeda dari pemimpin wilayah, seorang menteri memang memiliki ikatan yang longgar dengan calon pemilih. Menteri selalu dipahami sebagai pembantu presiden. Bukan raja kecil yang mengatur tanah perdikan.

Tapi itu sebenarnya bukan masalah besar, jika mesin yang dimilikinya benar-benar bisa bekerja. Jangkauan seorang Menteri mestinya jauh lebih luas. Hanya saja selama ini para menteri itu terkungkung oleh lingkungan birokrasi mereka.

Jika ia berbicara, maka hanya akan jadi echo chamber. Gema yang memantul di ruang pengap. Jika ia bekerja, maka tembok-tembok birokrasi akan menghalangi pandangan orang terhadapnya. Menteri sulit untuk menyatu dengan rakyat. Jarak antara keduanya dipisahkan sekat birokratis yang rumit.

Tidak aneh jika banyak menteri yang sulit untuk merangsek keluar dari papan bawah. Mereka lupa bahwa pemilihan langsung memerlukan ikatan batiniah yang kuat dengan rakyat. Bukan hanya soal mesin politik atau memperbanyak baliho di pinggir jalan.

Pada pertarungan politik 2019, pengelolaan TKN telah menunjukkan kapasitas seorang Erick. Kepiawaian dalam memimpin TKN yang terdiri dari banyak kepentingan partai koalisi tak bisa dianggap sepele.

Ia mampu menggerakkan pasukan dalam menetralisir hoax, yang hari itu bergentayangan di mana-mana. Menyiapkan serangkaian operasi politik berbahaya untuk menembus daerah lawan.

Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam bernavigasi. Erick telah berhasil memimpin pasukan pemenangan Jokowi 2019. Kemampuan yang barangkali selama ini diremehkan dan dilupakan. Padahal, Erick sejatinya memiliki kecemerlangan yang tersimpan.

Erick harus merobohkan sekat penghalang yang membatasinya. Syarat yang diperlukan untuk menjadi kuda hitam yang menghentak di tengah kesunyian. Jika tidak, maka ia akan terlilit rantai birokrasi yang tampak gagah di permukaan, tapi tak memiliki daya ikat terhadap rakyat.

Jebakan sama yang menimpa Airlangga dan menteri-menteri lainnya. Tapi semua itu bisa ditembus. Asal tidak terpasung dengan operasi politik gaya lama.

Semua harus dipersiapkan dengan hati-hati, cerdas dan peka zaman. Tidak bisa lagi menggunakan baliho dan kata-kata yang lahir dari ruang hampa. Kata-kata yang berjarak antara komunikator dengan komunikannya.

Karena hari ini, para pemilih bukanlah boneka. Mereka memiliki kepekaan dan kecerdasan yang tidak dipahami oleh politisi salon, politisi pesolek yang gemar berpidato tentang anggur dan rembulan…

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.