Saya tidak setuju apabila hasil Mukernas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menekankan bahwa calon presiden Indonesia harus Indonesia asli beberapa waktu lalu dikritik keras karena kurang bhinneka. Buat saya, pernyataan salah satu rekomendasi dari Mukernas partai Islam (yang tidak pernah menang pemilu sejak Indonesia berdiri sampai sekarang karena setia pada Islam konservatifnya) ini justru membuka peluang kebhinnekaan.
Bagaimana tidak, berarti PPP mendukung orang Papua, Sunda, Dayak, Bugis, Melayu untuk menjadi pemimpin dengan syarat harus Muslim karena memang ideologi partai mereka adalah Islam, kita tidak bisa protes dengan itu.
Pernyataan PPP untuk mengusung calon presiden Indonesia asli berarti membuka peluang yang besar sekali bagi kelompok-kelompok beridentitas luar Jawa untuk menjadi pemimpin. Karena kita semua sama-sama tahu presiden yang selama ini memimpin Indonesia tak ada yang berasal dari luar Jawa, itu pun Syafruddin Prawiranegara sudah dihitung sebagai presiden darurat pada rentang waktu 22 Desember 1948–13 Juli 1949.
Mempertanyakan Kembali Warga Negara Indonesia
Sebenarnya selama ini siapa yang dimaksud dengan warga negara Indonesia asli? Siapa yang dianggap sebagai warga negara Indonesia? Selama ini warga negara Indonesia sebagai subjek hukum dan memiliki privilege paling tinggi (karena punya peluang paling besar untuk menjadi presiden Indonesia) adalah beragama Islam, orang Jawa, dan laki-laki. Dengan tambahan, Islam yang dimaksud harus Sunni bukan Syiah, apalagi Ahmadiyah.
Orang Jawa tidak termasuk Jawa Barat dan harus laki-laki. Walaupun Indonesia pernah memiliki pemimpin perempuan, tentu saja perempuan tersebut bukan perempuan yang mendapat pulung* tetapi mendapat trah keturunan pendiri bangsa Indonesia.
Ketika kita menolak usulan PPP tentang warga Indonesia asli, kita juga menunjukkan bahwa imajinasi kita soal pemimpin Indonesia terbatas. Tanpa ada embel-embel “asli” sudah terjadi eksklusi sosial bahwa untuk menjadi pemimpin di Indonesia mensyaratkan identitas, yakni laki-laki, Muslim dan Jawa (tambahan lain, heteroseksual).
Identitas ini kemudian menjadi norma utama dan norma utama ini menjadi ukuran bagi pemimpin di wilayah-wilayah lainnya dan turun lagi menjadi subjek hukum. Perempuan belum menjadi warga negara karena tidak ada jaminan bagi keamanan tubuhnya. Tindak perkosaan masih dianggap sekadar perbuatan asusila dan bukan kriminal.
Jika kita mau membaca buku ataupun jalan-jalan keliling Indonesia, kita bisa melihat bahwa Indonesia tidak terdiri dari laki-laki, Jawa, Muslim, dan heteroseksual saja. Ketika kita menyebut “asli”, kita tidak boleh menolak kenyataan bahwa teman-teman di Papua adalah warga negara Indonesia asli; orang Dayak juga warga Indonesia asli; Bissu di Sulawesi juga orang Indonesia asli, walau tidak mengikuti sistem gender biner (perempuan/laki-laki).
Bissu adalah asli Indonesia, walau gender dan preferensi seksualnya tidak heteronormatif dan karenanya ia berhak menjadi calon presiden. Justru ketika embel-embel agama Islam dimasukkan, kita kehilangan identitas Indonesia asli.
Kalau mau konsisten terhadap syarat calon presiden/calon wakil presiden Indonesia asli, PPP seharusnya menolak syarat Muslim karena agama Islam jelas-jelas tidak berasal dari Indonesia tapi dari Arab. Bahkan kalau anggota PPP mau benar-benar membaca sejarah, PPP akan mengetahui bahwa penyebar agama Islam di Nusantara itu justru orang-orang Cina.
Budaya Politik Identitas
Kita tidak bisa memungkiri bahwa politik Indonesia dibangun oleh politik identitas sejak pendirian Sarekat Islam, yang berawal dari Sarekat Dagang Islam yang tujuan berberdirinya untuk menjadi sarikat pesaing pedagang batik orang-orang Tionghoa. Apabila riuh politik identitas memenuhi ruang virtual kita kini mungkin budaya politik kita memang begitu. Susah sekali buat kita untuk fokus berdebat pada program kerja yang diusung atau berdiskusi seluas-luasnya untuk membuka kesempatan bagi perempuan dan waria, misalnya, untuk punya peluang yang sama maju menjadi presiden Indonesia.
Harus dilihat pula bahwa syarat untuk menjadi presiden Indonesia ataupun pemimpin lainnya, menurut Indonesianis asal Jerman Timo Duile, memiliki tiga dosa: identitas (Jawa dan Muslim), gender (harus laki-laki heteroseksual), dan bisnis/perusahaan media serta basis militer di belakangnya.
Politik kita ramai berdebat soal representasi simbol sebagai pelengkap karena kita tidak mampu melihat pemimpin sebagai pegawai pemerintahan yang menjamin kelangsungan hidup warganya, melainkan status agung yang harus dilengkapi dengan simbol. Kita masih melihat pemimpin bersumber dari pandangan tradisional-karismatik.
Jika kita tidak beranjak dari seleksi pemimpin berdasarkan kharisma-tradisional, saya curiga kita juga akan mewarisi kemampuan menyelesaikan masalah yang buruk. Ambil contoh kasus-kasus guru spiritual yang ternyata penipu, pemerkosa, dan pembunuh akhir-akhir ini.
Di satu sisi, kita menertawakan pengikutnya tapi di sisi lain sebenarnya kita masih punya imajinasi pemimpin yang hampir sama. “Nyerempet” mistis dan berharap pada simbol-simbol, khususnya identitas, yang diharapkan mampu menyelesaikan segala masalah negara seperti kemiskinan, sampah, tata kota yang tidak jelas, dan lingkungan hidup.
PPP adalah representasi imajinasi kita sendiri yang sempit dan belum mempunyai kesadaran tentang ide keindonesiaan dan budaya politik yang lebih rasional. Ketidakmampuan kita membaca sejarah dan terjebak dalam belenggu pikiran tradisional membuat pemimpin adalah seseorang yang kejatuhan pulung dari langit yang berisi program kerja.
Kita tidak mampu melebarkan kriteria keindonesiaan dan menyadari bagaimana mengakhiri eksklusi kesempatan mepimpin di Indonesia.
*pulung adalah cahaya yang melesat di langit, pada sejarah kerajaan Asia Tenggara merupakan berkah atau wangsit. Pertanda bahwa siapa pun yang mendapat pulung akan menjadi seorang pemimpin.