Rabu, Oktober 9, 2024

Mengukur Eskalasi Konflik Azerbaijan-Armenia

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi

Konflik terbuka Armenia-Azerbaijan kembali terjadi dan memakan korban jiwa di kedua belah pihak. Perang disebabkan sengketa perbatasan kedua negara di wilayah Nagorno-Karabakh. Kedua negara tidak menemukan titik temu atas perseteruan perbatasan tersebut dan menjadikan konflik bersenjata sebagai pilihan.

Secara resmi dan diakui dunia, Nagorno-Karabakh adalah wilayah kekuasaan Azerbaijan. Namun, domisili etnis Armenia di wilayah ini menyebabkan etnis Azeri tersingkir. Sekian waktu konflik perbatasan kedua negara telah menelan puluhan ribu korban di kedua belah pihak.

Armenia dan Azerbaijan mewarisi konflik kewilayahan di Nagorno-Karabakh semenjak runtuhnya Kekaisaran Rusia pada 1918. Setelahnya, kemunculan Uni Sovyet disertai dengan kebijakan membagi wilayah di berbagai kawasan. Nagorno-Karabakh menjadi wilayah yang dari awal kemunculan Uni Sovyet sudah menyimpan konflik. Etnis Armenia tetap ingin mendiami kawasan ini, malah pada perkembangannya mengklaim wilayah ini sebagai bagian dari Armenia.

Pada tahun 1994, ditandangani kesepakatan Bishkek yang dilakukan di Baku, Yerevan, dan Stepanakert. Kesepakatan damai ini diinisiasi oleh Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Minsk Group. Tiga daerah yang dijadikan tempat penandatanganan damai adalah daerah yang mewakili wilayah yang berkonflik dan satu wilayah netral. Pada kenyataannya, sepanjang konflik perbatasan berjalan berpuluh tahun, berkali kesepakatan damai telah diteken. Namun, sejauh itu pula kesepakatan tersebut gagal dijalankan.

Etnis Armenia di Nagorno Karabakh mengembangkan sendiri klaim mereka atas wilayah tersebut dan menyebutnya sebagai “Republik Artsakh” dengan mengangkat Presiden Arayik Harutyunyan sebagai kepala pemerintahannya. Dengan menjadikan Armenia sebagai kiblat, Republik Artsakh terlihat ingin menjadikan Armenia sebagai Rusia, dan Republik Artsakh selayaknya anggota Federasi Rusia. Keinginan separatis ini tentu saja tidak bisa diterima Azerbaijan.

Konflik perbatasan Armenia-Azerbaijan bisa jadi mengundang perhatian dan keterlibatan negara-negara lain. Dengan posisi strategis kedua negara dan, terutama, perdagangan minyak dan gas Azerbaijan yang sangat besar, banyak negara yang punya kepentingan masing-masing.

Potensi eskalasi konflik

Semua pihak  patut mewaspadai potensi eskalasi konflik Nagorno-Karabakh. Azerbaijan dan Armenia adalah wilayah yang telah melakukan konsolidasi militer secara signifikan beberapa tahun terakhir. Selain itu, keduanya sangat penting dalam kaitan perdagangan energi dunia.

Kekuatan militer Azerbaijan terlihat dari jumlah impor persenjataannya yang merupakan kedua terbesar di Eropa pada tahun 2015 dengan total belanja 3.7 Miliar USD. Azerbaijan juga telah membelanjakan 5 Milyar USD untuk pesawat tidak berawak buatan Israel, dan 1,6 Milyar USD untuk membeli peralatan perang buatan Israel Aerospace Industry. Stockholm International Peace Reseacrh Institute melaporkan bahwa pada tahun 2017 Azerbaijan membelanjakan setidaknya 127 Juta USD untuk membeli teknologi militer, juga dari Israel.

Di pihak lain, Armenia, meski tidak sekaya Azerbaijan, pada tahun yang sama juga telah memperkuat persenjataan mereka dengan membelanjakan setidaknya 200 juta USD. Dari sisi militer, Armenia “diuntungkan” selaku salah satu pihak  yang tercatat sebagai bagian dari Collective Security Treaty Organization (CSTO), organisasi traktat kemanan bersama bentukan Rusia. Salah satu tujuan CSTO adalah membentuk dukungan bersama dari kemungkinan agresi atau serangan negara lain. Anggota CSTO lainnya adalah negara-negara dalam Federasi Rusia, Belarusia, Kyrgystan, Kazakhstan, dan Tajikistan.

Dengan potensi demikian, Armenia jelas memiliki kedekatan khusus dengan Rusia dan CSTO. Rusia juga menempatkan basis militer ke 102-nya di perbatasan Armenia. Hal ini dilakukan Rusia untuk memperkuat pengaruh mereka di Armenia dan mengawasi teritori Kaukasus Selatan-Laut Kaspia.

Artinya, berbeda dengan konflik tahun 2016 yang menewaskan ribuan warga kedua belah pihak, “kesiapan” sarana perang kedua negara telah jauh menguat saat ini. Dampak destruktif dan daya rusak sebagai akibat dari peningkatan kekuatan militer masing-masing dengan sendirinya akan lebih membesar.

Dengan posisi geografisnya, Azerbaijan dan Armenia adalah titik persimpangan perdagangan energi Barat dan Timur. Dari Baku, Azerbaijan, terdapat tiga jalur besar pipa minyak yang menghubungkannya ke Supsa di Georgia, Ceyhan di Turki, dan Kaukasus Selatan. Jalur minyak ini menghubungkan dan menjamin pasokan minyak ke Eropa, Turki, Rusia, dan Israel.

Ketiga jalur pipa ini melewati Georgia sebelum sampai ke pelabuhan yang dituju. Masalahnya, sebelum memasuki Georgia, jalur pipa minyak ini melewati titik daerah sengketa Armenia-Azerbaijan, terutama Nagorno-Karabakh.

Dengan posisi demikian, keberadaan dan keamanan jalur pipa minyak tersebut bisa terganggu dan mengkhawatirkan karena kemungkinan eskalasi perang perbatasan kedua negara.

Peta Kepentingan        

Turki bisa jadi adalah negara yang sangat berkepentingan dengan konflik Armenia-Azerbaijan. Dari sisi sentimen emosional, keduanya terkait dengan tuduhan genosida yang dilakukan pemerintah Turki pada rakayt Armenia saat Perang Dunia I berkecamuk. Tuduhan genosida rakyat Armenia itu sampai sekarang masih sering didengungkan dan diperjuangkan diaspora Armenia di berbagai belahan dunia. Salah satu yang kerap bersuara tentang hal ini adalah pesohor Kim Kardashian dan keluarganya.

Dengan pendekatan glorifikatif khas Erdogan, Turki langsung bereaksi begitu konflik bersenjata meletup lagi. Disampaikan oleh Erdogan, Azerbaijan bisa memanfaatkan peralatan perang Turki, yang belum terangkut semua setelah latihan perang kedua negara belum lama ini, untuk melawan Armenia.

Sebelumnya, banyak diberitakan Turki memobilisasi para petempur di Suriah untuk melawan Armenia di Nagorno-Karabakh. Para petempur tersebut banyak berasal dari Dagestan dan Chechnya. Jika sinyalemen ini terbukti, eskalasi konflik Nagorno-Karabakh bisa makin runyam dan tak terkendali.

Meskipun demikian, dukungan Turki bisa saja dilematis. Dalam upaya menekan para pendukung lawan politiknya,  Erdogan mengindikasikan banyak etnis Azerbaijan yang mendukung Fethullah Gulen. Perlawanan Gulen pada 2016 masih berdampak hingga kini.

Terakhir, penangkapan Mubariz Mansimov Gurbanoglu  pada bulan awal tahun ini menjadi puncaknya. Miliuner kapal tanker keturunan Azeri-Turki ini memiliki banyak simpatisan di Turki maupun Azerbaijan. Namun, tuduhan sebagai pendukung Gulen telah ditolak Gurbanoglu.

Israel adalah pihak selanjutnya yang sangat berkepentingan dengan Azerbaijan. Belanja besar militer dan peralatan perang Baku ke Tel Aviv menjadikan Israel tidak ingin kehilangan muka dengan derajat kecanggihan peralatan perangnya. Menariknya, dukungan Israel ke Azerbijan bersandingan dengan dukungan Turki ke negara yang sama. Sementara, di Suriah, Irak, dan Libya yang tak seberapa jauh dari Nagorno Karabakh, Turki dan Israel terlibat konflik militer meski tidak begitu terbuka.

Peta konflik ini jelas mengkhawatirkan. Semua pihak yang terlibat eloknya bisa saling menahan diri dari kemungkinan eskalasai masalah lebih jauh.

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.