Senin, Oktober 7, 2024

Menguji Keangkuhan Institusi Agama atas Kritik Ilmu Pengetahuan

Iman Permadi
Iman Permadi
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM. Peneliti InSID.id

Institusi agama seringkali tidak hanya digunakan sebagai alat justifikasi teologis-politis hasil disposisi dari pertimbangan pemerintah pusat: kekuasaan. Akan tetapi juga alat mempertahankan falsifikasi (kekeliruan) kebijakan atas kritik ilmu pengetahuan demi mempertahankan status quo di dalam suatu tatanan masyarakat.

Misalnya pada sidang uji materi terhadap Undang-Undang Adminduk (Administrasi Kependudukan), khususnya terkait pasal pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan—yang diajukan sejak September 2016 dan saat ini memasuki tahap kesimpulan/keputusan oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi RI—didasarkan pada pertimbangan hukum bahwa negara Indonesia hingga saat ini masih terus melanggengkan pembedaan dan diskriminasi terhadap beberapa kelompok warga negara, terutama penganut agama leluhur. (lihat di sini)

Dalam sidang tersebut, hampir semua hakim mengajukan pertanyaan. Di antara satu yang paling krusial adalah pertanyaan mengenai kompatibilitas agama dan kepercayaan. Menurut hakim yang mempertanyakan hal ini, agama perlu dipahami secara teologis dan eskatologis, bukan sosiologis, dan karena itu agama bukan sekadar persoalan administrasi (selengkapnya lihat di sini).

Agaknya, institusi agama sudah merasa mapan dengan hanya melihat dari kacamata disiplin ilmu teologi yang “subjektif” nan “sempit” sehingga dengan mudah mengkategorikan ini agama dan yang lain bukan. Di kalangan para teolog, tentu sudah lumrah menyadari makna “sempit” tersebut. Dalam ranah publik, sekat teologi jelas akan membatasi masing-masing pemeluk agama karena merasa bahwa agamanya adalah yang paling benar, dan agama lain harus “diselamatkan”. Inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu konflik yang menggurita di akar-rumput.

Bagaimanapun, kedua draft: UU Adminduk dan draft uji materi yang diajukan di atas adalah sama-sama berangkat dari konstruksi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, standar teologis dan eskatologis yang dijustifikasi oleh institusi agama tersebut ternyata berimbas pada diskriminasi dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, pencatatan perkawinan, kelahiran, bahkan kematian bagi pemeluk agama yang “tidak diakui”.

Pertanyaan penting dalam tulisan ini adalah: apakah institusi agama menjadi alat legitimasi atas kekuasaan tertentu sehingga merasa “terusik” ketika ilmu pengetahuan mengkritik hasil legitimasinya?

Ilmu pengetahuan dan status-quo

Dewasa ini, ilmu pengetahuan terus memperbaiki berbagai aspek kehidupan manusia dan non-manusia. Termasuk juga memperbaiki dirinya sendiri. Seiring perbaikan tersebut, disiplin ilmu yang lain merasa bahwa teologi dan eskatologi saja tidak cukup untuk menjadi sumber kajian dari kebijakan institusi agama, khususnya di Indonesia yang begitu kompleks dalam pengelolaan keberagama(a)nnya.

Pasca polemik persidangan MK atas kasus penghapusan kolom agama di KTP pada tahun 2016, persoalan masyarakat adat dan rekognisi agama leluhur (indigenous religion), yang sampai hari ini belum juga menemui titik terang.

Sejatinya, tanah kita adalah tanah mereka: masyarakat adat beserta agama lokalnya yang sudah ada jauh sebelum 6 agama yang ‘diakui’ datang di Nusantara. Tapi justru di kemudian institusi agama mempolitisasi kewarganegaraan dan keberlangsungan hidup mereka. Mengeksklusi mereka, mempersekusi keberadaan mereka, dan merusak makhluk yang hidup bersama mereka dengan penuh kesalingan: pohon, hutan, sungai, danau, waduk, dan entitas lain yang tak bisa lepas dari masing-masing mereka. Hanya dengan mengukur dengan standar tertentu dan menganggap mereka adalah kelompok sesat, terbelakang, dan layak dialienasi.

Dalam ranah publik yang sangat beragam, agar tidak terperangkap dalam sekat teologi tersebut, institusi agama perlu melihatnya secara kritis tanpa menggunakan agama mainstream untuk menjadi alat ukur. “Dalam hal ini, unsur-unsur agama harus meliputi Tuhan, nabi, kitab suci, organisasi/lembaga, tempat ibadah, dan pengakuan pemerintah. Hal ini berbeda dengan kelompok non-mainstream yang merumuskan kriteria agama tidak harus memiliki unsur-unsur tersebut, tetapi hal terpenting sebagai agama adalah memiliki sistem kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki sistem ritual atau praktik-praktik keagamaan, memiliki lembaga keagamaan yang formal, dan pengakuan masyarakat dengan cara mendaftarkannya ke lembaga pemerintah” (Sulaiman, 2016).

Disiplin ilmu yang lain kemudian mencoba mengajak mendiskusikan dampak dan agenda apa yang ada dibalik pengakuan 6 agama—yang pada akhirnya masyarakat menganggap sebagai sebuah kelaziman—dalam hal ini, institusi agama mempunyai peran untuk membentuk world view warga negara terhadap agama.

Bagaimanapun, keberadaan ilmu pengetahuan dan sains akan selalu mengusik zona nyaman status quo. Sehingga ketika ada yang mengusiknya, akan mempengaruhi tatanan kekuasaan yang telah dominan.

Ilmu pengetahuan dan sains yang berpihak pada kepentingan atau sebaliknya

Tulisan Ini bukan berarti ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan juga sains adalah sumber dari segalanya. “Pernyataan bahwa segalanya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan sains itu sama sekali tidak sama dengan menyatakan bahwa keduanya adalah sumber dari segalanya” (H. Bagir, Ulil. A, 2020).

Pada konteks ini, institusi agama berfungsi sebagai jembatan dari hasil hipotesis mutakhir ilmu pengetahuan dan sains. Tidak justru malah membangun benteng kepentingan di tengah konstruksi keduanya. Hipotesis ilmu pengetahuan dan sains memang tidak akan pernah final. Namun sekali lagi, syarat ilmu pengetahuan dan kajian saintifik mutakhir adalah memposisikan relasi antara manusia dan non-manusia secara kesalingan. Setidak-tidaknya, hasil kebijakan yang ditempuh dengan penuh kebijaksanaan bersama keduanya akan menjadi jalan yang sangat efektif untuk mendekati kebenaran, ketimbang memisahkannya.

Hasil interpretasi dominan yang masih sarat dengan antroposentris; untuk tidak mengatakan ekonosentris, adalah akibat dari terbatasnya sudut pandang yang digunakan. Ketika teologi dan eskatologi menemui kegagalannya dalam kebijakan tersebut, berbagai disiplin ilmu seperti: studi agama, politik, ekologi, antropologi, sosiologi, sejarah dan lainnya merasa bahwa mereka perlu melibatkan diri dalam pembuatan kebijakan ini. Lagi, selama institusi agama belum menerapkan pendekatan multidisiplin (multidisciplinary approach), selama itu pula kebijakannya masih belum dekat dengan holistik dan sarat konflik.

Pada era renaisance misalnya, institusi keagamaan yang berkuasa pada saat itu memaksa para saintis yang telah menemukan hipotesis baru melalui jalur ilmu pengetahuan dan sains; kemudian pada saat yang sama bertentangan dengan definisi dan kebijakan yang dimiliki oleh kekuasaan dominan untuk memilih antara bertaubat atas “dosa besar” yang telah dilakukannya dan tidak mengulanginya lagi atau mempertahankan hipotesisnya dan dihukum mati: seperti Galileo. Kepentingan tertentu memaksa ilmu pengetahuan dan sains agar bebas nilai untuk berpihak padanya. Tujuannya hanya satu: kekuasaan.

Akankah institusi agama akan merendahkan hatinya—ketika dalam perjalanannya, ilmu pengetahuan dan sains menemukan falsifikasi dalam kebijakannya? Atau dengan kata lain, rela berbagi kursi dengan keduanya?

Iman Permadi
Iman Permadi
Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM. Peneliti InSID.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.